"Sudahlah, Mas. Aku rasa benar kata Alul. Kita sudah lebih bahagia dengan jalan hidup kita masing-masing. Sepuluh tahun terakhir ini hidupku jauh lebih berwarna. Aku jauh lebih bisa bersyukur dengan apa yang aku miliki sekarang."

"Esti, please. Apakah tidak ada lagi kesempatanku untuk memiliki keluarga yang utuh?" tanya Gunawan.

"Allah selalu memberikan kesempatan, Mas. Tergantung kita mau mengambilnya atau tidak," jawab Estini lembut.

"Alhamdulillah, berarti kamu setuju kita kembali seperti dulu?"

Senyum rekah yang terlihat di bibir Gunawan berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan Subuh. Meski demikian Estini memilih tersenyum menatap keduanya secara bergantian.

"Kamu bisa memiliki keluarga utuh tanpa perlu repot-repot kembali ke rumah ini, Mas. Dulu kamu sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan dan lebih baik demikian seterusnya," jawab Estini mantab.

Gunawan kembali menatap mantan istrinya tidak percaya. Sepuluh tahun berpisah, Estini sama sekali tidak merasakan kehilangan. Dia bahkan mengatakan semua itu dengan sangat tenang dan senyuman yang mengisyaratkan bahwa dia mengeluarkan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya tanpa beban.

"Kamu?" Gunawan berkelah.

"Esti, siapa yang akan menjagamu nanti saat Alu sudah berkeluarga?" tanya Gunawan setelah dia menyadari bahwa ekspresi yang baru saja dia tunjukkan terlalu berlebihan.

"Mengapa kamu menjadi khawatir dengan aku?" tanya Estini masih dengan senyuman yang sama.

"Wajarlah, aku ini kan sua—"

"Mantan suami," Estini mengingatkan.

"Ya apa pun itulah, tapi aku sangat tahu kalau kamu kesepian sendiri di rumah. Terlebih karena Alul memilih untuk membeli rumah dan tinggal di desa itu." Gunawan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Namanya laki-laki yang memang harus mandiri. Alul memilih seperti itu karena dia ingin berdikari. Lalu mengapa kita harus repot menghalanginya hanya karena merasa menjadi orang tua?"

Gunawan masih bungkam dengan pemikirannya sendiri.

"Kalau orang tua itu benar mendidik putra-putrinya, maka mereka tidak akan khawatir akan dilupakan oleh anak-anak mereka. Anak pasti akan tahu bagaimana membalas budi kepada orang yang telah membesarkannya. Kalau tidak melakukannya, mungkin sebagai orang tua kita salah dalam mendidik mereka." Estini mengangkat kedua bahu dan tersenyum penuh kemenangan melihat muka merah Gunawan tanpa kata.

Subuh terlihat menahan tawa melihat ekspresi papanya ketika sang mama mengeluarkan kalimat mematikan dengan sangat halus.

"Jadi kamu merasa benar atau salah dalam mendidik Alul selama ini, Mas Gun?" tanya Estini.

Serasa tertampar dengan kalimat tanya yang diucapkan Estini padanya. Gunawan yang masih setia dengan kebungkamannya kembali duduk dan mencoba mengingat apa yang pernah dia perbuat untuk keluarganya ini di masa lalu.

Sampai Estini dan Subuh memutuskan untuk meninggalkannya, suara laki-laki itu barulah terdengar untuk kembali menyampaikan keinginannya.

"Aku tidak ingin yang lain, Esti. Please, aku salah dan aku ingin memperbaiki semuanya. Beri aku kesempatan sekali lagi untuk kembali. Aku janji tidak akan mengulangi dan aku akan merestui pernikahan Alul dengan anaknya Nurita."

"Tidak perlu menyebut nama wanita itu di depanku," tegas Estini.

"Kalau itu, restu Mama sudah lebih daripada cukup, Pa. Siapa pun nanti yang akan menjadi istri Alul, yang pasti tidak akan pernah Alul sakiti seperti halnya yang pernah Papa lakukan kepada Mama." Subuh mengepalkan tangannya.

"Lul, kamu masih ingat kamu ini bicara dengan siapa?" tanya Gunawan.

"Benar, Papa adalah orang tua yang sudah selayaknya Alul hormati. Namun, sepertinya Papa memilih untuk melupakan kenyataan bahwa Gunawan Wibisono itu adalah orang tua dari Azlul Subuh." Subuh mengulurkan tangan kanannya kepada Estini dan mengajak mamanya untuk mengabaikan keberadaan Gunawan di antara mereka.

Gayung bersambut, Estini mengabulkan permintaan Subuh. Dia berdiri lalu menerima rangkulan sang putra untuk meninggalkan Gunawan di ruang tamu rumahnya.

"Eh, kalian mau ke mana?" Gunawan menyusul langkah keduanya.

Estini berbalik untuk memperingatkan mantan suami. "Maaf, Mas Gun. Sekarang kamu tamu di rumah ini. Jadi, jangan pernah menyamakan statusmu seperti dulu."

Rumah mewah yang berdiri megah di kompleks perumahan elit itu dulunya memang harta yang telah dimiliki Estini sebelum mereka menikah. Jadi setelah berpisah pun Gunawan tidak akan memperoleh haknya untuk menggugat sebagai harta perolehan gono gini.

"Sudahlah, Pa. Hormati keputusan Mama yang tidak ingin hidup bersama Papa lagi. Alul doakan Papa mendapatkan pengganti yang lebih baik dari wanita yang dulu pernah Papa sia-siakan."

"Durhaka pada orang tua kamu, Lul!" Gunawan mengepalkan tangannya.

Kembali mendengar kalimat keramat yang menurutnya sangat tidak pantas diucapkan dalam kasus hidupnya. Setidaknya kalau ingin dihormati orang lain, hormatilah mereka dengan cara yang benar. Begitulah prinsip hidup Subuh. Jika kini dia terlihat sangat menentang papanya, karena sesungguhnya dia tahu seberapa sakit hati mamanya ketika peristiwa itu terjadi.

Sejak SD dia dijejali dengan drama keluarga yang menguras air mata. Jika sekarang Subuh bisa menggenggam tangan Estini karena mamanya berhasil melewati masa-masa sulit nan suram itu, jelas saja Subuh tidak akan merelakan sang mama kembali ke pelukan laki-laki yang telah membuatnya jatuh, tersungkur bahkan tenggelam dalam kubangan duka.

"Jangan sekali-sekali kamu menghardik anakku, Mas. Kalau kamu masih ingin kami menghormatimu, keluarlah dari rumah ini. Sudah benar kita hidup sendiri-sendiri. Kalau Alul bersikap seperti ini, itu artinya seperti itulah kamu meninggalkan luka di hatinya meski aku tidak pernah menceritakan keburukanmu padanya."

Tidak ada yang patut diperbaiki, Estini sudah lebih dulu menutup semua akses untuk Gunawan kembali di kehidupannya.

Kamu bebas, Mas. Sejak kamu memilih melangkah keluar dari rumah ini. Sejak itu pula aku berniat tidak ingin membuka hati untuk siapa pun.

Estini kembali meremas hatinya, tapi tak berapa lama kemudian dia tersenyum melihat putranya tumbuh dengan baik walau tanpa sosok seorang papa.

"Bagaimana dengan Mara, Lul?" Estini mengusap pundak Subuh ketika mereka telah berada di meja makan.

Desahan napas Subuh mengisyaratkan bahwa dia belum menemukan keberadaan calon istri yang kabur dari rumah empat hari yang lalu.

"Apa tidak sebaiknya lapor ke polisi?" tanya Estini.

"Apa Mama masih mempercayai?" Subuh menggelengkan kepalanya.

"Ini bukan kasus penculikan, Ma. Mara pergi dengan sadar. Mana mungkin polisi mau capek-capek mencari orang yang memang berniat meninggalkan rumah."

"Papamu dan wanita itu memang tidak ada bedanya. Dulu mereka salah, sekarang tidak belajar dari kesalahan justru menambah masalah baru yang menyakiti hati banyak orang, termasuk Asmara."

"Alul kasihan melihat Ayah Bani, Ma." Subuh menatap mamanya.

"Mama dukung apa pun keputusan kamu untuk melindungi keluarga Mara, Sayang." Estini menggenggam tangan putranya.

"Terima kasih. Mama selalu ada untuk Alul, dan terima kasih telah menerima Mara sebagai putri Mama."

Subuh beralih tempat. Dia memilih untuk berlutut di depan mamanya lalu meletakkan kepala di pangkuannya.

"Perjuangkan yang memang pantas untuk diperjuangkan. Mungkin Allah memang sedang menguji usahamu untuk mendapatkannya."

Dengan penuh cinta Estini mengusap kepala putranya karena dia menyadari tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. mungkin dengan ini dia bisa menebus semua salahnya kepada sang putra karena sebagai seorang ibu dia telah banyak melukai perasaan Subuh atas perpisahannya dengan orang yang harusnya Subuh hormati sebagai papanya.ф

Jadi bagaimana? kalian ikut Idul Fitri kapan?

29 Ramadhan 1444H

Asmara SubuhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin