Amygdala

198 16 5
                                    

Suara erangan di tengah ruangan yang gelap terdengar begitu menggema. Ruangan yang sunyi dan kosong itu di penuhi dengan suara yang dalam, yang menyakitkan juga menakutkan.

Bau lembab menyeruak kedalam rongga hidung pria yang saat ini tengah memegang, atau lebih tepatnya meremas, menjambak kepalanya sendiri. Ia menengadah dengan berlutut, berteriak sekuat yang dia bisa, menimbulkan urat-urat kehijauan yang terjulur kencang di area lehernya. Sakit. Jika ada kata yang lebih dari itu, mungkin ia akan memilihnya untuk menggambarkan kondisinya saat ini.

Sakit yang selalu ia rasakan ketika malam tiba. Ketika semua memori masalalu berputar jelas di kepalanya. Sesak menyeruak di dadanya, nafasnya tercekit, rasa sekarat itu begitu nyata baginya. Ia selalu memilih untuk lebih baik mati jika terus seperti ini. Namun apa yang selalu terjadi ketika ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya? Semesta selalu punya cara untuk mencegahnya, semesta seolah belum puas melihatnya tersiksa.

Memori itu berputar jelas di kepalanya saat ini.

Bocah itu memeluk lututnya dengan erat, tubuhnya yang kecil, gemetar ketakutan di bawah meja. Bersembunyi.

*pranggg
Suara pecahan piring yang terlempar tiada henti ia dengarkan. Suara teriakan yang saling bersahutan memenuhi ruangan yang di terangi lampu kuning yang redup.

Lagi-lagi pria tua itu pulang dengan keadaan buruk. Tubuhnya acak-acakan, kotor dan bau alkohol. Pulang hanya untuk menghancurkan rumahnya. Menyiksa seorang perempuan paruh baya yang selalu berjuang bertahan, meski seringkali mendapat hujaman dari tangan ringan pria tua itu.

"Hentikan, Min Joo-Won!" Bentak perempuan paruh baya itu dengan sisa tenaganya.

Joo-Won, ya pria tua itu. Dia mendelik mendengar perempuan lemah itu membentaknya. Ia mengangkat sebelah bibirnya, menciptakan seringai kejam di bibirnya.

"Cih. Beraninya kau kepadaku." Dia berjalan dengan terhuyung mendekati perempuan itu.
Park Gu Mi, perempuan yang sekarang tengah terduduk di lantai, dengan wajah menunduk, dengan isakan yang tak terhentikan.

Joo-Won berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan Gu Mi. Tangan kanannya perlahan merayap ke kepala Gu Mi, lalu memegang dagu Gumi, memaksanya untuk menengadahkan wajahnya menatap wajah mengerikan Joo-won. Wajah gumi begitu basah karena air mata yang sedari tadi mengalir tidak berhenti.

Joo-won menatap perempuan yang sudah 10 tahun ini bersamanya. Menatapnya dengan tatapan yang iba dan dendam secara bersamaan.

"Untuk apa kau menangis?" Suara berat Joo-won terdengar begitu mengerika bagi Gumi. Ibu jari JooWon menyeka air mata yang mengalir di pipi Gumi.
"Untuk Dia? putri kecil hasil perselingkuhanmu yang sudah mati itu?"

"DIA PUTRIMU!" Teriak GuMi.

Dan lagi, Joo-won menyeringaikan senyumannya.
"Tidak usah membual. Lagi pula untuk apa? Dia sudah mati ku bunuh."

Kata-kata itu sukses membuat bola mata Gumi melebar. Dan dua bola mata kecil yang berada di bawah meja itu memejam kuat mengalirkan airmata dengan deras, ia menutup mulut menahan suara yang ingin sekali keluar menjerit.

"Jadi kau? Kau.." tanya Gumi terbata.

Joo won hanya menganggukan kepalanya.
"Mengapa? Mengapa kau selalu melawan dan membual kepadaku? Apa kau ingin menyusulnya?"
Joo-Won menjambak rambut pendek Gumi.

Gumi meringis kesakitan, tangannya yang lemah mencoba melepaskan genggaman kuat Joo-Won dari rambutnya. Bukan terlepas, malah semakin menjadi. Joo-won seperti orang kesetanan. Atau memang iya dia mengikuti aliran sesat?

AmygdalaWhere stories live. Discover now