Dalam perjalanannya, Subuh hanya tersenyum kecut mengingat bagaimana Nurita mengeluarkan sumpah serapahnya. Ternyata di dunia ini masih ada seorang ibu yang tidak berpikir panjang atas apa yang keluar dari mulutnya. Padahal apa yang keluar dari mulut Ibu itu adalah doa yang paling ampuh. Namun, Subuh kembali berpikir, apakah hal itu juga berlaku untuk Ibu yang lebih memilih menelantarkan keluarganya demi sebuah ego untuk menyenangkan diri sendiri? Rasanya terlalu murah jika surganya Allah diobral untuk wanita seperti Nurita Anggraeni.

Tangan Subuh terkepal, dia bahkan sampai memukul setir bundarnya lalu berteriak. Sesaat kemudian dia menepikan mobilnya, lalu beristigfar.

"Ini terlalu menyakitkan, ya Allah. Bukan karena tidak mengerti bahwa setiap perjalanan hidup manusia itu membawa hikmahnya masing-masing, tapi dengan Asmara dan Pak Bani? Hamba tidak bisa membayangkan kesakitan yang kembali hadir setelah sepuluh tahun ingin sekali dilupakan."

Tatapan Subuh menerawang jauh. Angannya kembali mengembara mencari kemungkinan keberadaan Asmara. Menurut cerita Rabani, seluruh keluarganya tidak ada yang dihubungi Asmara. Satu-satunya yang paling mungkin dimintai tolong adalah sahabat yang selama ini selalu bersama Asmara. Namun, Rengganis pun mengatakan hal yang sama. Dia sama sekali tidak tahu di mana Asmara berada.

"Mara, kamu di mana sekarang? Mengapa kamu tega meninggalkan Ayah, sementara beliau tidak ada yang menemani di rumah. Aku pun juga masih memiliki Mama yang hidup sendiri di rumah. Alhamdulillah, ada banyak orang yang menemani beliau di rumah. Namun, tetap saja rasanya pasti berbeda."

Subuh menatap profile picture Asmara yang akan menghubungkannya melalui pesan singkat dalam sebuah aplikasi. Sayangnya, sejak kemarin nomer yang tertera di sana sama sekali tidak bisa dihubungi. Pesannya pun hanya ada gambar centang satu. Artinya telepon genggam itu memang sengaja dimatikan oleh Asmara. Atau memang kehabisan daya dan lupa mengisinya sehingga tidak bisa mengaktifkannya.

"Ya Allah, lindungilah di mana pun Mara berada saat ini." Subuh mengusap mukanya dan melajukan kembali mobilnya.

Sementara itu di sekolah, Rabani dikagetkan dengan salah satu temannya yang memanggil ke kelas saat dia mengajar.

"Mantan istri Pak Bani ingin bertemu, sepertinya ada masalah penting yang harus disampaikan."

Rabani mendesah perlahan lalu meminta izin siswanya untuk meninggalkan kelas sebentar. Menemui mantan istri bagi Rabani itu harus menyiapkan hati dan mental. Ketiadaan Nurita dalam hidupnya sungguh membuatnya lebih tenang menata hidup dan mendidik putrinya. Sayangnya, ketika dia hendak memetik buah dari apa yang telah dia tanam tiba-tiba Nurita kembali dengan sejumlah rasa yang sangat menyayat hatinya.

"Saya masih mengajar, kamu bisa tunggu setelah jam sekolah usai. Setelah itu kita bicara." Rabani kemudian meninggalkan Nurita di tempatnya.

"Mas, tunggu. Aku hanya ingin bertemu dengan Asmara. Tadi aku ke rumah tapi yang ada justru anak laki-laki itu. Mengapa kamu izinkan dia menginap di rumah. Apa kata tetangga?"

"Kamu pikir apa yang dikatakan tetangga ketika kamu memilih untuk pergi dengan laki-laki lain?" Rabani tersenyum masam.

"Hei, urusan kita telah selesai, Mas Bani. Antara aku dan kamu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi selain ayah dan mamanya Asmara." Nurita mengatakan dengan lantang.

Hanya tatapan mata Rabani sebagai jawaban, laki-laki paruh baya itu memilih untuk melenggang pergi meninggalkan mantan istrinya. Mencoba menebalkan telinga seperti halnya yang telah dilakukan 10 tahun yang lalu.

фф

Kembali berhadapan di sebuah rumah makan sederhana. Rabani membuat janji untuk bicara dengan Nurita selepas dia menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang guru. Menunggu sang mantan istri bicara bersamaan dengannya memutar otak untuk menyiapkan jawaban yang pantas untuk wanita seperti Nurita Anggraeni.

"Mengapa kamu menyetujui anak kita menikah dengan anak dari laki-laki itu?"

"Azlul itu laki-laki yang baik, tutur katanya juga baik, pekerjaan yang baik, Asmara menyukainya. Lalu salahnya di mana?" kata Rabani.

"Harusnya kamu tidak lupa, Mas. Alul itu anaknya siapa, kita tidak pernah tahu kalau seandainya anak itu dengan mamanya memiliki niatan yang buruk pada kita melalui Asmara."

"Atas dasar apa mereka punya niatan seperti itu?" Rabani masih memasang wajah yang cukup tenang.

Nurita memicing sempurna. Dia nyaris tidak percaya mantan suaminya bisa setenang itu menghadapi kenyataan bahwa malapetaka di depan mata mereka.

"Mas Bani tidak salah bertanya seperti itu padaku?" tanya Nurita.

"Memangnya kamu menyadari apa kalau kamu yang membuat salah sehingga pertanyaanku kamu anggap keliru?"

Masih dengan gaya yang sama, Rabani bertanya dengan gaya tenangnya.

"Maaf, Mas. Kamu tidak merasa sakit hati dengan apa yang dulu pernah aku lakukan?" tanya Nurita hati-hati.

"Memangnya kamu pernah melakukan apa?" tanya Rabani yang langsung membuat Nurita bungkam.

Rabani menatap mantan istrinya dalam-dalam.

"Kami berbeda denganmu dan laki-laki yang kamu anggap sebagai dewa, hingga kamu memilih meninggalkanku demi dia. Hanya kebetulan saja, laki-laki itu adalah ayahnya Azlul." Rabani membuka mulutnya.

"Kamu pikir mereka akan membalas dendam karena salah kalian?" pertanyaan Rabani membuat kepala Nurita semakin menunduk.

"Akhlak dan iman yang kami pegang tidak semurah dengan tubuh yang kamu berikan pada laki-laki itu, Rit."

Nurita mengangkat kepalanya, semua memang telah berubah. Panggilan Rabani padanya juga sudah tidak lagi sama dengan yang dulu. Tatapan yang dulu selalu terlihat penuh cinta kini sudah lenyap seiring berjalannya waktu.

"Mas, tolong, cerita itu sudah berlalu. Kenyataannya aku sekarang juga tidak bersamanya. Karena aku tahu setelah itu bahwa laki-laki itu tidak baik untuk dijadikan suami dan imam."

"Setelah kamu tahu dia bukan seorang yang bisa memenuhi kebutuhan materialmu. Karena yang kaya sebenarnya adalah mantan istrinya sehingga kamu merasa terjebak?" Rabani tertawa miris.

"Astagfirullah," gumamnya lirih.

"Kalau kamu merasa kesal dengan keluarganya, simpan kesalmu itu sendiri. Karena Mara tidak membutuhkanmu untuk memutuskan apakah dia menolak atau menerimanya."

"Aku masih mamanya Mara, Mas Bani."

"Dan aku ayahnya yang berhak untuk menikahkan dengan siapa laki-laki yang memang pantas untuk menjadi imamnya."

"Tetap saja, aku tidak akan pernah merelakan Asmara bersanding dengan anak dari Gunawan Wibisono. Heran aku, mengapa kamu tidak membalas semua kelakuan laki-laki itu."

Rabani tertawa mendengar kalimat Nurita.

"Kalau setiap mata harus dibalas dengan mata, maka dunia ini akan buta dan tidak akan pernah ada perdamaian. Kalau kamu bisa melakukan perbuatan keji itu kepada kami, bukan berarti kami akan membalasnya dengan perlakuan yang sama karena Allah pasti lebih adil untuk menghukumi hamba-Nya yang bersalah." Rabani bersiap untuk berdiri.

Tidak ada hal yang perlu dibicarakan lagi dengan Nurita saat ini. Yang terpenting kini dia bisa mengetahui di mana keberadaan putrinya dan memastikan bahwa Asmara selamat, tidak kurang suatu apa.

"Katakan padaku, di mana aku bisa menemui Asmara. Karena aku tahu dari para tetangga kalau dia pergi dari rumah," pinta Nurita.

"Ya, Asmara memang pergi dari rumah." Rabani menunduk lesu.

"Dan semua itu karena kita sebagai orang tua tidak bisa mendidiknya dengan benar. Aku malu kepada Allah, sebagai Ayah mungkin aku hanya meminta dia untuk mengerti tanpa memberikan kesempatan padanya untuk bisa dimengerti." Rabani sudah berdiri di depan Nurita.

"Biarkan dia menepi untuk beberapa saat. Mungkin dengan demikian dia bisa berpikir jernih dan tidak malu menghadapi omongan tetangga karena perangai amoral mamanya." Rabani berlalu dari hadapan Nurita.

Tidak ada kalimat bernada tinggi. Low tone milik Rabani selalu menenangkan dan membuat Nurita kembali bungkam tanpa kata. Jika dia berpikir dengan kepala yang dingin semua kalimat yang diucapkan mantan suaminya adalah kebenaran yang sayangnya dia terlambat menyadari terlebih malu untuk mengakui.ф

27 Ramadan 1444H

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang