08 - Trauma

53 10 3
                                    

Kejadian pembully-an tadi pagi rupanya memberi dampak buruk pada Edel.

Setelah diantar pulang oleh Alden, Edel langsung berlari menuju kamarnya menghiraukan sapaan bi Endah. Edel menutup pintu kamarnya. Ia memegang dadanya dengan tubuh bergetar menyandar di belakang pintu.

"Sakit.." lirihnya terisak.

Sedetik kemudian tubuh Edel merosot ke lantai, memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Pecah sudah tangisan yang sedari tadi ia tahan.

"Bunda.. Edel takut."

"Mereka jahat, Bunda."

"Tolong Edel, Bunda. Edel mau Bunda! Hikss." racau Edel diantara tangisnya.

Tokk!! Tokk!!

"Non!"

Edel membekap mulutnya menahan isak tangisnya agar tidak terdengar bi Endah.

"Non Edel gapapa?"

Edel terisak tanpa suara. Tangan kirinya sedari tadi terus memukuli dadanya untuk menghilangkan rasa sakit yang menghimpit dadanya.

Tokk!! Tokk!! Tokkk!!

"Non Edel!! Non!!" panggil bi Endah cemas.

Edel memejamkan matanya saat rasa sakit kembali menyerang kepalanya. Edel mencengkram rambutnya berniat mengurangi rasa sakit di kepalanya, namun bukannya mereda, rasa sakit itu justru semakin hebat menyerangnya.

Tak kuat menahan rasa sakit di kepalanya ditambah lemahnya kondisi tubuh Edel, tangan Edel sontak terjatuh diiringi oleh tubuh Edel yang perlahan meluruh ke lantai.

Edel pingsan.

☆☆☆

BRAKK!!

Liam membanting pintu mobil dengan keras lalu berlari memasuki rumah. Niat hati ingin memberi kejutan pada sang adik perihal kepulangannya, namun justru dirinya yang lebih dulu dibuat terkejut.

Setelah menerima telepon dari bi Endah yang mengabarkan jika Edel pingsan di kamarnya, dengan cepat Liam berlari keluar bandara menuju mobil jemputannya. Saking khawatirnya dengan kondisi Edel, Liam sampai menggantikan tugas mang Nurdin, sang supir. Seolah tak peduli dengan keselamatannya, Liam mengendarai mobil dengan kecepatan gila-gilaan. Bahkan tak jarang Liam menerobos lampu merah membuat pengendara lain marah dan meneriakinya. Jangan lupakan kondisi mang Nurdin yang sedari tadi tak ada hentinya berdoa dalam hati dengan kedua kaki gemetar lantaran takut.

'Duh, Gustii. Ini den Liam mau ngajak pulang ke rumah apa ke kuburan toh. Hutang saya masih banyak, Gustii. Saya juga belum nikah. Jadi jangan di jemput dulu.'

Liam benar-benar kalap hingga melupakan keberadaan mang Nurdin.

"Edel gimana, Bi?" tanya Liam saat berpapasan dengan bi Endah di bawah tangga. Nafas Liam masih ngos-ngosan.

"Non Edel ada di kamar, Den. Lagi di periksa sama nak Devan. Ini bibi mau ke dapur buatin bubur buat, non Edel."

Liam mengangguk. "Saya lihat Edel dulu." Dengan terburu-buru Liam menaiki anak tangga.

Baru saja Liam hendak membuka pintu kamar Edel, Devan sudah lebih dulu membuka nya dari dalam.

"Udah balik lo?" tanya Devan basa-basi.

"Gimana keadaan Edel? Gak ada yang parah, kan? Edel baik-baik aja, kan?" rentet pertanyaan Liam dalam satu tarikan nafas.

"Masuk dulu."

Devan membuka pintu kamar Edel lebar-lebar. Tanpa banyak bicara, Liam menurut, masuk ke kamar sang adik dan menghampiri gadis itu yang kini terbaring dengan wajah pucat diatas ranjangnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 16, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FIREFLIESWhere stories live. Discover now