31 | Tersebar

80 8 0
                                    

Ilmi terus saja berjalan mondar-mandir di dalam sel tempatnya ditahan oleh Polisi. Ia menempati sel yang berbeda dengan Tomi, sehingga membuatnya merasa sangat frustrasi. Meskipun sel mereka hanya berbatas dinding, tetap saja hal itu membuat Ilmi tidak bisa tenang.


"Bagaimana sekarang, Tomi? Kenapa tadi kamu harus sampai menabrak mobilnya Dhisa, sih?" tanya Ilmi, sedikit berteriak.

"Aku enggak sengaja, Ilmi! Mana aku tahu juga kalau setelah melewati tikungan tadi mobilnya Dhisa ternyata berhenti di pinggir jalan? Itu enggak sengaja, Ilmi! Aku enggak ada niatan sama sekali mau menabrak mobilnya dari belakang!" jawab Tomi, sangan memaksa agar dipercaya.

"Sial! Sial! Sial! Kamu pasti terbawa emosi saat menyetir tadi, makanya kamu sampai menabrak mobil Dhisa padahal mobilnya sedang berhenti! Kamu ceroboh!" tudung Ilmi.

"Menurutmu gara-gara siapa aku sampai menyetir dengan penuh emosi, hah? Siapa tadi yang memaksaku untuk mengejar mobilnya Dhisa yang mendadak melaju dengan cepat dari pandangan kita? Lupa ingatan kamu, hah?" amuk Tomi.

"Tapi lihat hasilnya sekarang, Tomi! Dhisa terluka parah gara-gara kamu menabrak mobilnya dari belakang! Posisi kita berdua jelas akan jadi posisi yang bersalah, karena tadi mobil Dhisa sedang berhenti di pinggir jalan!"

TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!!

"Ribut!" tegur Bina, yang sejak tadi mendengar perdebatan antara Tomi dan Ilmi.

Tomi dan Ilmi pun terdiam saat mereka menerima teguran keras tersebut. Bina menatap mereka dengan penuh kekejaman seraya berkacak pinggang.

"Berani-beraninya kalian malah berdebat di dalam sini, sementara sahabatku masih berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit! Ingat baik-baik kata-kataku, kalian berdua tidak akan lolos dari hukuman! Entah itu hukuman atas tindakan menguntit yang kalian lakukan terhadap Dokter Dhisa, ataupun tindakan penabrakan secara sengaja yang kalian lakukan hingga Dokter Dhisa mengalami pendarahan pada kepalanya! Kedua tuduhan itu ada buktinya di tanganku, lengkap! Jadi jangan pernah kalian berharap bisa menghirup udara bebas lagi di luar sana!" tegas Bina, tidak main-main.

Ancaman yang didengar oleh Tomi maupun Ilmi jelas menimbulkan rasa takut luar biasa. Tomi maupun Ilmi semakin merasa frustrasi, padahal awalnya mereka hanya ingin mengikuti Dhisa dengan tujuan mencari keburukannya agar bisa segera meninggalkan Abi. Tapi semuanya malah menjadi kacau dan Dhisa kini menjadi korban atas kecerobohan mereka yang berusaha mengejar mobilnya.

"Dan satu lagi," tambah Bina. "Wajah kalian berdua sudah menghiasi seluruh media. Baik itu media berita lokal, nasional, serta online. Dan tindakan kalian yang ingin sekali menghancurkan hidup Abiyan Mahendra, sudah dipatahkan secara langsung oleh Dhisa yang akhirnya menemukan bukti tentang niat balas dendam anak seorang koruptor serta niat balas dendam mantan teman sekolah yang tidak kompeten. Sebelum kalian menabrak mobilnya tadi, semua bukti tentang perbuatan kalian telah dia kirim pada para pencari berita. Selamat menikmati. Kalian tidak akan pernah memenangkan apa pun."

Ilmi dan Tomi sudah benar-benar hancur. Dhisa--tanpa mereka tahu--sudah bergerilya secara diam-diam untuk menjauhkan Abi dari semua fitnah keji yang mereka lontarkan. Sekarang keadaan benar-benar berbalik. Bukan Abi yang berada di dalam kubangan penuh lumpur busuk, melainkan mereka berdua yang ada dalam kubangan lumpur busuk itu tanpa ada akses untuk bisa keluar dari kubangan tersebut.

"Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Tidak!" teriak Ilmi, tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya benar-benar kalah.

* * *

"... Kedua tersangka ternyata sengaja bekerja sama untuk melancarkan aksi balas dendam terhadap AM, yang tidak lain adalah putra dari YF, sosok yang membongkar penerimaan uang suap pada tahun dua ribu lima oleh narapidana tipikor Almarhum Mirza Alauddin. Kedua tersangka selama hampir tujuh tahun berusaha terus menghancurkan kehidupan AM dengan cara memfitnahnya terus-menerus, baik itu di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan tempat kerja. Sosok Dokter yang ditabrak oleh kedua tersangka pagi tadi menemukan semua bukti yang mengarah pada tindakan balas dendam tersebut. Dokter tersebut sudah menyerahkan semua bukti yang didapatnya kepada pihak kepolisian serta kepada awak media, karena kemungkinan dirinya menyadari bahwa kedua tersangka sudah mengincarnya untuk kembali menghilangkan semua bukti-bukti tersebut. Kami akan kembali memberitakan perkembangan selanjutnya mengenai kasus pembunuhan berencana ini pada breaking news selanjutnya. Selamat siang."

Nisa, Intan, dan yang lainnya tampak tidak bisa mempercayai kenyataan baru tersebut. Mereka tidak menyangka jika selama ini Ilmi adalah anak seorang narapidana yang aksinya ditemukan oleh Yatna. Mereka juga tidak menyangka kalau Ilmi sengaja mendekati Abi dan memacarinya hanya untuk membuat hidup Abi hancur demi membalas dendam pada Yatna.

"Astaghfirullah ... astaghfirullah ... kok bisa ada manusia seperti si Ilmi dan Tomi? Kelakuan macam apa yang mereka pelihara itu? Abi hampir saja benar-benar hancur jika Dhisa tidak mempercayainya dan menelusuri semuanya secara diam-diam. Ya Allah, mana sekarang Dhisa masih di rumah sakit dengan keadaan yang belum pasti. Jahat sekali mereka! Jahat!" ungkap Sari, tidak bisa menahan rasa marahnya.

"Ibu dan Bapakku sedang menuju ke rumah sakit saat ini. Kita tunggu saja kabar terbarunya dari mereka. Dhisa sudah berusaha sangat maksimal untuk melindungi Abi, dan kecelakaan yang terjadi padanya hari ini adalah karena dendam Ilmi dan Tomi saja yang sudah menggila," ujar Nisa, berusaha menenangkan perasaan teman-temannya.

"Aku enggak sangka kalau Dhisa benar-benar serius memberi perlindungan untuk Abi. Dia itu Dokter, bukan Polisi. Tapi tindakannya jauh melebihi Polisi ketika sudah mengurus sesuatu yang menyangkut tentang Abi," Intan tampak memikirkan hal itu dengan serius.

"Begitulah kalau seseorang punya rasa sayang yang tulus. Andai Abi sadar soal tulusnya Dhisa dari dulu, maka dia enggak perlu mengalami kesulitan selama tujuh tahun terakhir," sahut Fani.

"Tapi 'kan Abi enggak sadar sama tulusnya Dhisa gara-gara Ilmi yang memang sengaja merayu Abi terus-menerus. Masa kalian semua lupa sih, kalau dulu kita pernah melihat Ilmi membuat-buat tingkahnya di hadapan Abi saat Dhisa mendadak muncul saat akan pergi bermain. Dhisa sampai harus dibujuk oleh Kak Danar untuk mengabaikan tingkah laku Ilmi waktu itu teh," Fini mengingatkan.

"Iya, sih. Kamu benar Fin. Kenapa ya, kita juga enggak sadar dari dulu dengan tingkah Ilmi yang aneh itu? Padahal kalau mau diingat-ingat lagi, cuma Dhisa yang sejak dulu memang tidak pernah terlalu mencolok tingkah lakunya, bahkan saat dia lagi suka-sukanya sama Abi," pikir Nisa.

"Kita malah sadar kalau si Ilmi jahat setelah dia berhasil menyakiti Abi dan menghancurkan hatinya. Semua sudah terlambat saat kita menyadari hal itu," tambah Sari.

"Dan Dhisa juga sudah lama pergi dari Cijanur saat itu. Sehingga Abi akhirnya tidak punya tempat bersandar yang bisa mengerti perasaannya. Bagiku, Dhisa itu hebat. Dia bisa langsung mengerti perasaan Abi yang hancur sejak pertama mereka bertemu lagi, empat hari lalu," nilai Intan, saat benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan nasib hubungan Dhisa dan Abi.

* * *

AKHIRNYAWhere stories live. Discover now