21 | Memberi Perlindungan

76 8 0
                                    

Saat Dhisa akhirnya keluar dari toilet, Abi pun segera bangkit dari kursinya dan membantu wanita itu mengambil jas dan tasnya. Dhisa tersenyum tidak enak saat Abi melakukan itu untuknya, membuat Abi sadar bahwa Dhisa terlihat agak berbeda.


"Kenapa? Kamu enggak suka aku bantu ambilkan tas dan jasmu?" tanya Abi, dengan suara agak pelan.

"Iya, karena itu akan membuat Kakak terlihat buruk. Ini di depan umum, Kak. Aku enggak mau kalau Kakak sampai difitnah lagi. Laki-laki itu bisa saja mengatakan pada semua orang yang kenal dengan Kakak, bahwa Kakak sedang mengemis padaku agar tidak ditinggalkan," jelas Dhisa.

Abi benar-benar tidak kepikiran sampai di sana, sementara Dhisa sudah berpikiran jauh sekali dan melebihi ekspektasinya sendiri. Hal itu kembali membuat Abi merasa tidak habis pikir tentang Dhisa. Entah bagaimana wanita itu benar-benar bisa memusatkan pikirannya tentang hal-hal yang harus Abi jalani dan juga hal-hal yang harus Abi hindari.

"Ayo, sebaiknya kita segera membayar makanan yang kita pesan. Kakak harus segera kembali ke kantor, 'kan? Jam makan siang akan segera berakhir sebentar lagi," ajak Dhisa.

"Iya, kamu benar. Jam makan siang akan segera berakhir dan aku harus kembali ke kantor. Benar 'kan kata-kataku ... pertemuan kita itu sangat singkat setiap harinya," keluh Abi.

Dhisa pun tertawa pelan saat mendengar keluhan itu.

"Lalu Kakak maunya bagaimana? Apa aku harus memindahkan klinik ke samping Kantor Kecamatan?" tanya Dhisa.

"Bagaimana kalau kita menikah saja, Dhi? Dengan begitu intensitas pertemuan kita akan menjadi lebih banyak dan aku enggak perlu mengeluh soal waktu bertemu dengan kamu yang sangat sedikit," ajak Abi.

Dhisa menatap Abi dengan heran ketika sedang membayar tagihan makan siang mereka di kasir.

"Kita baru resmi pacaran semalam, Kak, dan Kakak sudah langsung mengajak aku menikah? Kakak yakin tidak ingin mengenalku dulu secara terperinci?" tanya Dhisa.

"Apa yang harus aku tahu lebih terperinci tentang kamu? Kamu sayang sama aku dan aku rasa satu fakta itu sudah cukup untuk aku ketahui sebagai dasar agar bisa menikah dan menjalani hidup bersama kamu. Simpel, 'kan?" balas Abi seraya tersenyum lebar di hadapan Dhisa.

Dhisa pun langsung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa bersama Abi.

"Pak Abi," panggil salah satu teman sekantor Abi.

Abi pun menoleh setelah menghentikan tawanya. Dhisa kembali fokus mengurus pembayaran di kasir.

"Iya, Pak Tito. Ada apa?" sahut Abi, sedatar biasanya.

"Sejak kemarin Pak Abi tampaknya makan siang terus dengan Ibu Dokter itu. Dia siapanya Pak Abi?"

"Dia calon Istri saya, Pak Tito. Kenapa? Apakah ada masalah kalau saya makan siang dengan calon Istri saya sendiri?" tanya Abi, setelah memberi jawaban.

"Calon Istri?" tanya teman sekantor Abi yang kali ini adalah wanita. "Berarti tidak lama lagi Pak Abi akan segera menikah? Benar begitu, Pak Abi?"

"Iya, Bu Silvi. Insya Allah begitulah rencananya," jawab Abi, jauh lebih sopan.

"Kamu mau menikahi Dokter? Berapa uang yang kamu punya, Pak Abi? Memangnya kamu bisa memberikan mahar sesuai dengan yang diminta oleh calon Istrimu itu? Dia anak orang kaya dan berprofesi sebagai Dokter, jadi jelas enggak mungkin kalau dia dan keluarganya akan meminta mahar yang jumlahnya sedikit," ejek Tomi dengan suara sangat keras.

Beberapa orang terdengar ikut tertawa setelah Tomi memberi ejekan seperti itu pada Abi. Dhisa pun berbalik setelah menyelesaikan pembayaran makan siang mereka berdua, lalu menatap ke arah semua orang yang sedang tertawa dan memperlihatkan senyum yang sangat bersahaja. Orang-orang yang tadinya menertawai Abi kini mendadak terdiam saat sadar bahwa Dhisa sama sekali tidak terlihat malu di depan mereka.

"Biaya menikah di KUA itu gratis selama pernikahannya dilangsungkan pada hari dan jam kerja para pegawainya di sana. Jika pun harus keluar uang sebesar enam ratus ribu rupiah, itu karena pernikahannya dilaksanakan pada saat di luar hari dan jam kerja para pegawainya. Jadi saya rasa, calon Suami saya ini tidak akan merasa diberatkan sama sekali jika akan menikah dengan saya. Menikah itu 'kan ibadah, bukan ajang pamer harta kekayaan melalui pemberian mahar. Dan sebagai wanita, saya tidak mau memberatkan calon Suami saya dengan menuntut mahar yang terlalu tinggi. Saya harap Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua sudah paham dengan apa yang saya katakan barusan. Silakan diteruskan makan siangnya. Kami berdua permisi dulu," tutup Dhisa, yang kemudian langsung merangkul lengan Abi seperti biasanya.

Abi berusaha mati-matian menahan tawanya, sementara semua orang yang masih ada di dalam rumah makan itu kini menatap kompak ke arah Tomi.

"Pak Tomi tadi bilang bahwa Pak Abi sedang mengemis di kaki Dokter itu, 'kan? Kok sekarang malah kami yang disudutkan sama Dokter itu karena berusaha mempermalukan Pak Abi?" tanya wanita bernama Silvi yang tadi bertanya pada Abi.

"Apakah Pak Tomi berbohong soal Pak Abi? Pak Tomi sengaja ya, ingin membuat kami malu?"

Tomi jelas tidak bisa menghindari semua kemarahan itu. Apa yang Dhisa katakan di hadapan semua orang jelas langsung mematahkan fitnah yang tadi terlanjur disebar olehnya.

"Ya Allah, Dhi, kamu kok percaya diri sekali sehingga bisa bicara dengan lantang seperti itu di depan teman-teman kantorku?" Abi kini benar-benar tertawa setelah mereka berada di luar.

"Biar saja, Kak. Biar laki-laki itu kapok dan tidak lagi berupaya menyebarkan fitnah. Orang seperti dia itu memang harus dilawan dengan penuh keberanian. Dan kebetulan aku bukan orang yang punya sifat penakut," ujar Dhisa, sambil memakai helmnya. "Ayo, kita segera kembali ke klinik, biar Kakak juga bisa segera tiba di kantor."

"Iya, ayo," tanggap Abi, tak mau membuat Dhisa berdiri terlalu lama.

Tomi mengumpat hebat setelah berada di dalam mobilnya. Ilmi jelas tidak bisa apa-apa, karena apa yang Dhisa lakukan untuk Abi tidak bisa dikontrol sama sekali oleh dirinya maupun Tomi. Itu adalah murni tindakan Dhisa untuk memberi perlindungan pada Abi.

"Kita enggak akan bisa menyerang Abi kalau Dhisa masih ada di sampingnya. Maka dari itu sebaiknya kita buat Dhisa benar-benar meninggalkan Abi. Dia pasti enggak akan mau ikutan malu kalau Abi ternyata bisa membuatnya mendapat rasa malu," saran Ilmi.

"Kalau begitu ayo pikirkan lagi rencana yang lain! Aku sudah benar-benar geram karena Abi terus saja memenangkan sesuatu dan terlihat lebih unggul dariku!" bentak Tomi.

"Ya sudah, jalan cepat! Jangan cuma ngomong saja kamu!" balas Ilmi, ikut membentak kepada Tomi.

Mobil yang mereka gunakan kini meninggalkan halaman parkir rumah makan. Mobil itu melaju dengan sangat cepat, seakan tidak ingin terdahului oleh Abi yang saat ini sedang mengantar Dhisa ke kliniknya lebih dulu.

* * *

AKHIRNYADonde viven las historias. Descúbrelo ahora