3 | Membawa Ke Rumah

85 8 0
                                    

"Kak, kita mampir ke klinik dulu, ya. Cuma sebentar, kok," pinta Dhisa.

"Kamu sakit? Mau beli obat?" tanya Abi.

"Enggak, kok," jawab Dhisa.

"Terus, mau ngapain ke klinik kalau bukan mau beli obat atau periksa kesehatan?"

"Aku cuma mau cek semua karyawanku saja dan juga memeriksa ada berapa pasien yang hari ini mendaftar untuk konsultasi kesehatan denganku besok, Kak Abi," jelas Dhisa.

Kedua mata Abi mendadak membola saat paham dengan ucapan Dhisa.

"Kamu Dokter? Dan ... itu klinik tempat kamu kerja?"

"Iya, aku Dokter. Itu adalah klinik milik aku dan aku bekerja di sana. Maka dari itulah aku kembali ke Cijanur, Kak. Aku butuh tempat tinggal permanen agar enggak perlu bolak-balik dari sini ke Jakarta seminggu sekali. Kasihan juga Ibuku kalau terus-menerus aku tinggal sendirian di rumah."

"Bapak kamu ke mana? 'Kan seharusnya Ibumu ditemani sama Bapak kamu dong, kalau kamu enggak bisa menemani," Abi tampak ingin tahu lebih jauh tentang keluarga Dhisa.

Dhisa pun tersenyum saat akhirnya mendengar pertanyaan itu dari Abi.

"Bapakku sudah meninggal, Kak. Sudah lama meninggalnya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu."

Abi mendadak terdiam setelah tahu soal meninggalnya Ayah Dhisa. Ia merasa dirinya sangat keterlaluan karena bertanya seenaknya tanpa mencari tahu lebih dulu.

"Boleh Kak, kalau kita mampir dulu ke klinik?" tanya Dhisa sekali lagi.

"Oh ... i--iya. Boleh. Ayo, kita ke sana sekarang," jawab Abi, agak sedikit gelagapan karena baru saja melamun.

Mereka berdua segera menyeberangi jalan raya, lalu segera masuk ke klinik milik Dhisa.

"Klinik Prima Medika," batin Abi.

"Assalamu'alaikum, Dokter Dhisa," sambut seseorang yang tampak sedang bertugas.

"Wa'alaikumsalam, Suster Kyara. Harusnya aku yang ucap salam barusan, tapi malah keduluan lagi sama kamu," protes Dhisa, sambil bercanda.

Kyara tertawa selama beberapa saat. Wanita itu memakaikan jas pada tubuh Dhisa yang kemarin tertinggal di klinik, sambil mengamati pria yang datang bersama Dhisa sore itu.

"Siapa itu, Dok? Calon?" tanya Kyara, sepelan mungkin.

"Eh, bukan. Dia hanya teman, kok," jawab Dhisa, sesuai kenyataan.

Kyara pun percaya-percaya saja dengan jawaban dari Dhisa. Kyara kini menyerahkan sebuah map berwarna hitam yang berisi daftar nama pasien yang sudah mendaftar untuk konsultasi kesehatan. Dhisa menerimanya, lalu segera membawa map itu ke ruangannya. Abi mengikuti langkah Dhisa seperti yang Kyara lakukan. Pria itu kini duduk di kursi tunggu dalam ruangan milik Dhisa, sementara Dhisa kini duduk di balik meja kerjanya. Tatapan Abi tertuju pada sebuah jam pasir yang ada di meja kerja Dhisa saat itu. Jam pasir itu akhirnya membuat Abi tersenyum diam-diam, karena dirinya memang sangat suka dengan jam pasir dan ingin sekali punya benda itu sejak dulu.

"Suster-suster lain sudah pulang?"

"Iya, Dok. Suster yang mendapat shift pagi sudah pulang dan yang tersisa hanyalah Apoteker Felicia. Malam ini yang bertugas adalah aku dan Suster Karin."

"Apoteker Felicia tidak mau pulang juga? Tidak ada lagi apoteker lain yang bertugas? Oh ya, besok pagi Bu Hamidah ada diurutan pertama, ya? Apakah tadi Bu Hamidah masih mengeluhkan soal sakit pada perut bagian kirinya?" tanya Dhisa.

"Apoteker lain sedang cuti, Dok, jadi hanya Apoteker Felicia yang bertugas. Bu Hamidah sudah tidak mengeluhkan soal sakit pada perut bagian kirinya, Dok. Tapi dia sekarang mengeluhkan sakit pada perut bagian kanan," jawab Kyara.

"Bagian kanan? Kalau begitu besok pagi transducer harus stand by di ruangan ini, ya, Suster Kyara. Perut Bu Hamidah akan langsung kita USG agar ketahuan penyebab sakitnya yang berpindah," pinta Dhisa.

"Baik, Dok. Alatnya akan segera aku siapkan," tanggap Kyara.

Dhisa pun menutup map hitam tadi setelah mencatat beberapa hal di atas buku kecil miliknya.

"Oke, kalau begitu aku pulang dulu. Insya Allah besok pagi aku akan ke sini lebih awal. Assalamu'alaikum, Suster Kyara," pamit Dhisa.

"Wa'alaikumsalam, Dokter Dhisa. Hati-hati di jalan," balas Kyara.

Dhisa dan Abi pun segera meninggalkan klinik untuk kembali pulang ke Cijanur. Dhisa kembali merangkul tangan Abi seperti tadi, agar tidak ada yang mencurigai kebohongan tentang hubungan mereka.

"Sikap kamu berbeda saat sedang bekerja. Kamu tampak jauh lebih serius saat sedang duduk di balik meja kerjamu tadi. Padahal biasanya kamu adalah orang yang santai dan ceria," ujar Abi.

Dhisa pun tersenyum kembali.

"Karena pekerjaan apa pun di dunia ini pasti menuntut keseriusan dari diri kita, Kak. Meskipun aslinya aku selalu santai dan ceria, tapi kalau sudah menyangkut soal pekerjaan tentunya aku akan selalu menjadi lebih serius. Terutama saat aku sedang menangani pasien. Aku jelas harus benar-benar serius jika ingin menangani pasien tanpa membuat kesalahan," jelas Dhisa.

Abi pun ikut tersenyum usai mendengar penjelasan tersebut.

"Aku benar-benar belum pernah melihat sisi dirimu yang seperti tadi. Selama ini aku pikir kamu ... sama saja dengan wanita-wanita lain yang sering aku lihat di lingkungan sekitar. Tapi, nyatanya kamu beda, Dhi. Kamu punya sisi lain yang tertutup dan hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu, contohnya adalah aku."

"Ya, itu benar. Aku memang lebih suka sisi lain dari diriku sebaiknya tetap tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Aku lebih suka orang menatapku seperti yang mereka lihat, bukan seperti yang mereka tahu,"

Mereka berdua pun akhirnya tiba di depan rumah Abi. Yatna, Marni, dan Danar yang sedang duduk santai di teras bisa melihat kedatangan mereka. Abi tampaknya sengaja membawa Dhisa untuk mampir sebentar ke rumahnya, agar wanita itu bisa berbaur dengan keluarganya.

"Assalamu'alaikum," ujar Abi dan Dhisa dengan kompak.

"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang yang ada di teras.

Dhisa pun segera mencium tangan Yatna dan Marni. Hal itu jelas dilakukan juga oleh Abi--seperti biasanya yang ia lakukan.

"Duduk, Nak. Silakan," ujar Yatna.

"Terima kasih, Pak," jawab Dhisa, yang kemudian baru duduk di kursi kosong tepat di sebelah Marni.

"Kalian dari mana? Kenapa kamu teh pakai jas Dokter begitu?" tanya Marni pada Dhisa.

Dhisa dan Abi pun sontak menatap jas yang melekat pada tubuh Dhisa saat itu.

"Astaghfirullah, Suster Kyara," keluh Dhisa, dengan wajah memerah sambil melepas jas dari tubuhnya. "Maaf, Bu. Tadi aku mampir sebentar ke klinik untuk memeriksa daftar pasien yang akan berkonsultasi besok pagi. Suster yang kerja di klinik memakaikan jas ini kepadaku, karena kemarin aku lupa membawanya pulang."

"Oh ... Klinik Prima Medika itu tempat kamu kerja? Kamu teh Dokter di sana?" tanya Danar, yang sudah sering melewati klinik tersebut saat akan pulang dari Pasar Malangbong.

"Iya, Kak. Dhisa berprofesi sebagai Dokter. Dia pemilik klinik itu dan dia bekerja di sana setiap hari," jawab Abi, mewakili Dhisa.

Marni pun tertawa pelan saat melihat wajah Dhisa yang memerah karena malu. Yatna sendiri masih mengawasi Dhisa dan berupaya menebak-nebak, apakah Dhisa adalah seseorang yang benar-benar bisa dekat dengan Abi atau hanya sementara saja wanita itu bisa berada di dekat Abi.

"Enggak apa-apa, jangan malu begitu. Sok, diminum tehnya. Itu ada pisang goreng juga, dicobain," ujar Marni, yang baru selesai menuangkan teh ke dalam cangkir kosong dan menyodorkannya pada Dhisa.

"Terima kasih, Bu," ucap Dhisa saat menerima secangkir teh dari Marni.

"Kalian punya hubungan apa sehingga bisa sedekat ini?" tanya Yatna, to the point.

* * *

AKHIRNYAWhere stories live. Discover now