PROLOG

228 15 7
                                    

Semua barang baru saja selesai dibenahi dan diletakkan pada tempatnya. Pindah rumah ternyata benar-benar menyita waktu dan juga tenaga bagi kedua wanita yang akan menempati rumah baru tersebut. Kepindahan mereka ke rumah itu bertujuan untuk memiliki tempat tinggal permanen yang dekat dengan tempat kerja.

"Nak, tolong pergi ke rumahnya Pak RT dan antarkan surat keterangan pindah rumah ini. Sekarang sudah mau jam dua. Takutnya nanti kita harus menunggu lagi besok hari kalau sampai terlambat menyerahkan surat keterangan ini," pinta Salma.

Dhisa pun menerima map yang diberikan oleh Ibunya seraya tersenyum.

"Iya, Bu. Aku akan antar sekarang juga surat keterangan ini ke rumah Pak RT," tanggap Dhisa.

"Eh, kamu teh masih ingat yang mana rumah Pak RT di kampung sini, 'kan? Pak RTnya sudah ganti, bukan yang dulu lagi. Sekarang yang jadi RT di sini Pak Budi, Bapaknya Neng Nisa," ujar Salma, agar Dhisa tidak salah tujuan.

Dhisa pun kembali tersenyum setelah mengurungkan niatnya membuka pintu depan.

"Bu, kita 'kan seminggu yang lalu sama-sama pergi ke rumah Pak RT. Masa iya aku sudah lupa yang mana Pak RT sekarang di kampung ini. Aku belum pikun, Ibuku Sayang. Lagi pula kita termasuk penduduk lama di sini, meski empat belas tahun lalu kita sempat pindah dari sini. Insya Allah aku akan selalu ingat semua jalan, rumah, dan penduduk yang ada di kampung ini."

Salma pun balas tersenyum lebar dan ceria seperti biasanya.

"Ibu cuma mau memastikan saja, Putriku Sayang. Takutnya kamu teh lagi pusing-pusingnya memikirkan klinik dan pasien yang hari ini belum sempat kamu kunjungi."

Dhisa pun kini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, saat sadar bahwa Ibunya sedang berusaha menggoda dirinya yang selama ini tidak pernah absen dari pekerjaan. Ia segera keluar dari rumah yang baru ditempatinya tersebut, lalu berjalan menuju pagar untuk bisa sampai ke rumah Pak RT yang melewati gang kecil di seberang rumahnya. Dhisa berjalan sangat santai siang itu, namun langkahnya mendadak berhenti secara tiba-tiba ketika mendengar suara orang yang tengah berdebat. Dhisa pun memutuskan untuk bersembunyi di balik dinding masjid, agar orang-orang yang sedang berdebat itu tidak perlu melihat keberadaannya.

"Kamu itu harusnya tahu diri, Abi! Tugas pendataan penduduk itu akan dialihkan dari tangan kamu ke tangan Suamiku, Tomi! Jadi seharusnya kamu enggak perlu lagi ketemu-ketemu sama Pak RT seakan memiliki tugas penting untuk dirundingkan!"

Itu adalah suara Ilmi. Dhisa jelas mengenali suara itu karena dulu mereka sering bertemu jika waktu bermain tiba, saat masih remaja. Meskipun pada akhirnya mereka selalu jauh ketika anak-anak di Cijanur memisahkan diri dan membuat dua kelompok bermain, tapi Dhisa jelas masih mengingat suaranya. Dan Abi sendiri--orang yang sedang dicaci maki oleh Ilmi--adalah mantan kekasih wanita itu. Hubungan romantis antara Abi dan Ilmi adalah penyebab Dhisa memilih menjauh dari kelompok bermain Ilmi yang dipimpin oleh Nisa--anak Pak RT--saat mereka masih remaja. Ilmi tahu bahwa Dhisa menyukai Abi, namun wanita itu dengan sengaja mendekati Abi hingga akhirnya mereka berpacaran.

"Aku tidak peduli kalau tugas pendataan penduduk sudah berpindah ke tangan Suami kamu! Aku ke rumah Pak RT karena memang ada kepentingan yang diperintahkan oleh Bapakku!" balas Abi, terdengar sangat marah pada Ilmi.

"Hei! Jaga ucapanmu itu, ya! Jangan bentak-bentak Istriku sesuka hatimu!"

Itu suara asing yang belum pernah Dhisa dengar. Kemungkinan, pria bernama Tomi yang menikah dengan Ilmi bukanlah orang lama di Kampung Cijanur, sehingga Dhisa tidak bisa mengenali suaranya sama sekali.

"Sudahlah, Sayang. Ayo, sebaiknya kita kembali ke kantor daripada harus berhadapan dengan laki-laki pecundang macam dia!" ajak Ilmi terhadap Tomi.

"Ya, sebaiknya kita memang tidak perlu lagi berurusan dengan laki-laki pecundang ini. Ayo, kita pergi."

Setelah Ilmi dan Tomi pergi, Dhisa baru keluar tempatnya bersembunyi. Ia melangkah perlahan menuju ke arah tempat di mana Abi berdiri saat itu. Abi berbalik setelah berhasil meredam amarahnya yang baru saja meledak. Tatapannya langsung tertuju pada Dhisa yang saat itu kembali menghentikan langkah di tempatnya. Wanita itu tampak sedang mendekap sebuah map berwarna biru yang sangat dikenali oleh Abi.

"Kamu ... adalah warga yang baru pindah itu?" tanya Abi.

Dhisa pun mengangguk pelan di hadapan Abi. Ia masih tidak berani bersuara, karena masih saja merasa malu setiap kali bertemu dengan pria itu.

"Kamu tadi dengar perdebatanku dengan Ilmi dan Suaminya?" Abi kembali mengajukan pertanyaan lain.

"Ma--maaf, Kak. Aku enggak bermaksud menguping," lirih Dhisa, dan kali ini dirinya memilih menundukkan kepala karena takut Abi akan marah kepadanya.

Abi berjalan mendekat dan mengambil map yang sejak tadi didekap oleh Dhisa. Dhisa sedikit terlonjak dengan apa yang baru saja Abi lakukan. Kini tatapannya kembali bertaut dengan tatapan Abi yang sejak dulu selalu membuatnya rindu.

"Laki-laki yang menjadi Suami Ilmi adalah orang yang memusuhi aku sejak SMA. Dia sangat membenciku tanpa alasan yang jelas, sehingga dia terus saja mengganggu hidupku agar menjadi kacau. Dia sering memfitnahku. Bahkan dia merebut Ilmi dariku dengan cara mengajaknya berselingkuh. Sudah hampir tujuh tahun aku melewati semua kesengsaraan karena perbuatannya. Aku menerima banyak hinaan. Aku dihindari oleh banyak orang seakan aku adalah orang yang bersalah. Aku ... capek menjalani hidupku saat ini, tapi tidak berani mengeluh atau mengakhiri hidup. Aku punya tanggung jawab terhadap keluargaku dan aku tidak bisa mempermalukan mereka. Padahal sebenarnya yang laki-laki itu inginkan adalah agar aku segera menyerah atas hidupku, karena dengan begitu dia akan merasa puas setelah membenciku selama ini," tutur Abi.

Dhisa memang tidak meminta Abi untuk bercerita tentang masalahnya. Abi menceritakan semua itu karena tahu bahwa Dhisa adalah seorang pendengar yang baik, meski dulu mereka tidak pernah dekat. Dhisa juga tidak pernah mengabaikan seseorang. Maka dari itulah Abi dengan mudah bisa membicarakan masalah yang dialaminya kepada Dhisa.

"Kalau begitu Kak Abi jangan menyerah. Orang seperti laki-laki itu tidak boleh dibiarkan menang. Dia membenci Kakak tanpa alasan, dan menurutku Kakak tidak perlu peduli dengan kebenciannya. Jika orang lain lebih percaya padanya, biarkan saja. Kakak tidak perlu mencari-cari kepercayaan dari orang lain, jika orang lain tidak bisa menyediakan kepercayaan mereka untuk Kakak. Fokus saja dengan hidup Kakak sendiri. Jangan pedulikan," saran Dhisa.

Abi terdiam selama beberapa saat usai mendengar apa yang Dhisa sarankan. Ia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Ia tidak pernah berpikir untuk tidak peduli dengan penilaian orang lain. Apa yang Dhisa katakan jelas benar adanya, bahwa dirinya tidak perlu mengemis kepercayaan dari orang lain agar orang lain bisa percaya padanya.

"Aku punya satu permintaan," ujar Abi.

"M-hm ... coba katakan padaku. Kak Abi mau meminta apa?" balas Dhisa.

"Aku ingin kamu membantuku menghentikan semua hinaan yang datang kepadaku. Aku ingin kamu berpura-pura jadi pacarku, agar laki-laki itu berhenti merasa menang atas semua hal yang dia tuduhkan kepadaku," pinta Abi.

Permintaan yang terucap itu jelas membuat Dhisa mematung di tempatnya tanpa bisa berkata-kata. Ia berusaha menyadarkan dirinya, bahwa setiap hal selalu akan ada konsekuensi yang mengikuti.

"Ayo, aku akan antar kamu ke rumah Pak RT," ajak Abi, pada akhirnya.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang