16

75 17 3
                                    


    Berita kematian Jun dan Xie cepat melintas dunia internet sama ketika penemuan jasadku pada kala itu. Televisi seolah bersaing untuk mengabarkan berita ini, mereka bahkan menjelaskan kronologi hilangnya Jun dan Xie hingga kemudian penemuan kedua jasad itu. Aku memperhatikan mobil ungu metalik yang baru saja singgah di pekarangan rumah, seorang laki-laki bertubuh tinggi agak gemuk keluar dari mobil itu, dari dalam sana Dad datang menyambut penuh suka cita.

  Aku sempat berpikir; kematianku sudah hampir satu bulan berlalu dan orang yang seingatku mengaku sebagai suami Ny. Frangence datang, bukankah aneh kesannya, untuk dia datang sementara jasadku sudah lama terkubur di dalam tanah. Bukan hanya itu, perihal dua hal yang terbilang sukses masih saja membuatku semakin penasaran—alih-alih memikirkan kematian Jun dan Xie yang sangat tiba-tiba justru aku masih terbelenggu dengan percakapan mereka kemarin.

  Aku melangkah cepat menuju pintu rumah, dua orang itu sudah masuk dan mungkin duduk dengan tenang di sofa beludru abu-abu. Aku menoleh ke arah kanan dan kiri, tidak ada Mom dan juga wanita Prancis itu, artinya mereka benar-benar berdua—aku yakin Fano sudah pergi mengurus kematian Jun dan Xie. Aku memilih berdiri di belakang Dad, aku memastikan percakapan mereka akan terdengar lebih baik dan jelas.

  Laki-laki asing itu menuang kopi ke dalam gelas kecil, ia meminum kemudian bersandar dengan meletakkan kedua tangannya di atasan sofa, tanpa sedikitpun rasa canggung menghantui orang itu. Dad, dia memilih merapikan cara duduknya ikut meminum kopi yang masih mengeluarkan asap tipis.

"Bagaimana perjalanannya?" Tanya laki-laki asing pada Dad.

"Aman, sejauh ini aman. Hanya, kau-lah penentu akhirnya, Eidef," jawab Dad, nada bicaranya begitu puas dan lugas sambil meletakkan cangkir berisi kopi itu ke atas meja. Aku lantas mengangguk, jadi namanya Eidef, gumamku.

"Sudah mempersiapkan apa yang kukatakan? Hanya menunggu waktu yang cocok, semuanya akan sesuai permintaan. Seperti magic, impian itu akan tercapai,"  pungkas Eidef angkuh sembari mengulum senyum.

"Mari, kau harus bertemu dengannya, untuk yang kedua kali," ucapan Dad direspons dengan anggukan kepala oleh Eidef, aku sempat bingung dengan arah pembicaraan mereka. Apalagi, ada yang ambigu dengan pembahasan keduanya.

  Mereka berdua berjalan beriringan menaiki tangga, tentunya aku membuntuti mereka dari arah belakang. Keduanya tidak lagi saling berbicara satu sama lain, langkah mereka bahkan lebih cepat dari yang kuduga—diambang pintu, Mom dan Ny. Frangence saling menoleh saat melihat Dad dan Eidef datang, dua wanita itu bahkan saling senyum hingga mempersilahkan keduanya masuk.

  Saat kuteliti, rasanya ada  yang aneh, Eidef dan Ny. Frangence adalah suami istri, tapi kenapa seolah mereka tidak terlihat layaknya sebagai semestinya. Hubungan mereka seperti dua orang yang asing, seperti sekadar rekan kerja atau apalah namanya. Aku sempat tertegun saat keempat orang itu berada di dalam kamar, mengejutkan dua orang asing berada di kamar kedua orang tuaku, bahkan sebelum aku masuk ke kamar, Mom sudah lebih dahulu menutup pintu dan menguncinya.

  Aku berusaha menguping, dengan cara menempelkan telinga kananku di pintu, kendati suara mereka tidak jelas terdengar. Aku semaksimal mungkin menajamkan pendengaranku, entah kenapa aku sangat merasa pasti ada yang salah dengan dua orang itu—mudah sekali baginya masuk ke dalam ruang privasi orang lain. Aku sedikit mendengar mereka saling tertawa tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya.

"Dimana kalian menyimpan dua jasadnya?" aku mematung seketika mendengar suara Eidef mendominasi telingaku.

   Jasad? Aku langsung mengerutkan kening. Apa yang dimaksud dengan kata itu, jasad siapa yang dia maksud? Astaga, aku seperti orang dungu dengan kedua kata yang membulat mendengar mereka yang masih bercakap-cakap.

THE DIE  (REVISI) Where stories live. Discover now