06

129 18 1
                                    


    Keadaan rumah menjadi lebih sesak ketika beberapa dari kerabat jauh mulai berdatangan pagi ini. Mereka terlihat membawa bunga krisan, bersalaman dengan Jenn diteruskan kepada Keenan hingga berakhir pada Fano—di luar sana, terdapat dua manusia terdiam, kakinya gemetar napasnya terus teratur seolah mencoba meyakinkan diri. Setelah demikian detik mencoba menguat diri, pada akhirnya Whilli mengajak Maria segera masuk ke dalam rumah duka itu.

  Keduanya langsung menjadi pusat perhatian tamu lain, sebetulnya semenjak tadi kerabat jauh menantikan kehadiran teman Vene, lebih ke siswa yang satu sekolah dengan Vene—bahkan berita kematian Vene menyebar begitu enteng di sosial media. Berkat siswa di sekolah yang menyampaikan dukanya lewat sebuah postingan, dengan caption duka secara tidak langsung yang ternilai tidak tulus.

   Whilli dengan sedikit pergerakan yang kaku menyerahkan buket bunga pada Fano yang memang pada saat itu berdiri di dekat peti mati Vene yang masih dalam keadaan terbuka. Maria, yang berada di belakang Whilli hanya mampu menyapa dengan sedikit usaha tarikan senyum paksa, keduanya dalam posisi bersisian—melihat jasad Vene yang sudah begitu rapi dalam peti itu. Maria menahan air matanya, di matanya Vene begitu sempurna—sosok yang menyenangkan dan membuatnya senantiasa merasa aman dan nyaman, entah bagaimana ceritanya Maria harus menyembunyikan perasaan itu lebih lama hingga pada saat yang belum tepat—rasa itu masih melekat meskipun Vene telah pergi.

"Dia gagah dengan setelan itu." Whilli berbisik pada Maria yang melihat Vene dengan melamun.

"Apalagi saat masih menjadi inti futsal." Fano lebih dahulu menyahut sebelum Maria.

Fano berdiri di sisi kanan Maria, yang kedua tangannya menyentuh pinggiran peti itu, Whilli dan Maria lekas menoleh sambil memperhatikan. Fano menoleh pada keduanya. "Setidaknya dia masih periang seperti yang kita kenal meski hari ini raut wajahmu tidak sama sekali berduka, Whilli." jari telunjuknya bahkan menunjuk wajah Whilli.

Whilli meringis gelisah, hingga senyum yang kaku begitu saja menampil di wajahnya. "Setiap orang punya mimik wajah yang berbeda-beda."

Fano mendengus sambil menganggukkan kepalanya. "Kuharap kau sudah puas memukulinya dengan buku itu," tangkas Fano sambil melirik tegas pada Whilli yang terdiam begitu saja. Maria seketika menoleh pada Whilli, seolah bertanya kapan kau melakukannya (?).

"Kau? Kau berutang cerita padaku, Whilli," pungkas Maria, mengambil kasar ujung jari-jari kiri Whilli hingga tanpa merasa diperhatikan oleh tamu duka lainnya Maria memilih menyeret Whilli ke luar dari kediaman Keluarga Vene.

  Napas Maria menghantui Whilli yang menepis tangan Maria dari jarinya, hal pertama yang dilakukan oleh Maria adalah melihat keadaan sekitar—menjadikan apapun sebagai tontonan untuk menenangkan dirinya sendiri. Maria lebih terlihat kesal dengan napas yang besar hingga bahunya kelihatan turun naik, beruntungnya ia memilih pekarangan rumah yang tepat dimana tamu yang baru saja datang tidak akan memperhatikan mereka.

"Maria," panggil Whilli, suaranya berat dengan tipe suara yang paling rendah namun hal itu malah terdengar mengesalkan di kedua telinga Maria.

Maria mengacungkan jari telunjuknya, seolah meminta Whilli diam untuk saat ini. Mata Maria mendelik ke arah Whilli. "Kau memukulinya lagi? Sudah kuperingatkan jangan mengganggu Vene! Kau—" ucapannya terpotong karena sesuatu terasa sesak di dadanya, bukan karena kancing bajunya yang terlalu ketat tetapi hal mengesalkan.

"Ayolah Maria, itu sudah berlalu dan ya, kuakui aku memang memukulnya dan itu untuk terakhir kali." Whilli menatap serius ke arah Maria.

Namun sebaliknya Maria malah melototi Whilli. "Apa? Jika saja Vene belum mati aku yakin itu bukan terakhir kalinya!" cetus Maria begitu menyakitkan bagi telinga Whilli pada saat ini.

THE DIE  (REVISI) Where stories live. Discover now