09

86 18 0
                                    


    Sudah pukul tiga dini hari, biasanya meskipun aku seorang ruh—aku masih bisa tertidur. Tapi, malam ini aku terjaga, memaksakan isi kepala untuk mengeluarkan ingatan yang lama, bukan hanya perihal kecelakaan itu. Aku mencari, masih penasaran kenapa aku pergi ke sekolah setelah di turunkan sepihak oleh pak sopir James pada saat itu? Aku lupa, aku benar-benar tidak mengingat perihal bagaimana penikaman itu terjadi, aku tidak juga ingat kenapa lantai dasar dan kamarku berantakan. Kurasa esok pagi, aku harus menanyakan kondisi rumah pada Fano, menurut keterangan yang kubaca di artikel kemarin—Mom dan Dad berpergian dan aku tiba-tiba dikonfirmasi hilang.

  Aku memeluk lutut, kurasakan hangat saat kudekap tubuhku dengan jaket pemberian Fano. Aku benar-benar insomnia akut, semasa aku hidup aku bahkan mengalami hal demikian. Untuk sekarang ini posisiku berada di ruang tengah, duduk di sofa beludru abu-abu Fano melarangku untuk tidur di dalam kamar,
dia bilang, tempat itu masih menjadi TKP—padahal Fano sudah berpesan padaku jika aku boleh datang ke kamarnya, tapi aku tidak tega membangunkannya demi untuk membukakan pintu. Kebiasaan yang tak pernah hilang dari diri Fano bahwa dia harus selalu mengunci pintu saat tidur, dia bilang itulah ketenangannya.

  Berada sendirian di ruang tengah, dengan teko putih berukir flora belum lagi gelas teh dan kopi yang masih tersisa satu tegukan. Itu tidak buruk, aku memilih beranjak dari tempat ini—aku tidak bisa tenang, banyak sekali hal-hal yang menakutkan muncul dan tenggelam dalam pikiranku. Iseng  kupilih dengan menuju kamar Fano, siapa tahu dia juga belum tidur atau sedang menunggu kedatanganku—pasalnya hanya Fano yang masih peduli dengan diriku. Kulalui kamar orang tuaku yang tertutup dengan rapat, bahkan gema ketika mereka berbicara tidak juga terdengar kurasa mereka sudah tidur nyenyak.

  Aku tepat berdiri di depan pintu kamar Fano, pintu yang cokelat kehitaman dengan kualitas kayu jati terbaik di Burien, itulah tulisan yang kulihat dan kubaca di baliho tepat di depan tokonya. Aku sangsi meraih ganggang pintu kamarnya, namun mau atau tidak aku harus melakukannya—maka, kutarik ke bawah ganggang itu, lantas aku termangu rupanya pintu kamar Fano belum terkunci. Aku lekas masuk, yang kudapati lampu kamar Fano bahkan masih menyala.

"Kau sudah pulang."  suaranya serak basah dari arah kanan, aku menoleh sesuai dengan arah suaranya. Dia, duduk dengan memutar-mutar kursinya bahkan kedua tangannya mahir memegang berkas tak jelas yang tak kutahu apa itu.

"Bagaimana? Dapat informasi dari Whilli? Kau bahkan pulang dipukul tiga malam begini, tidak baik remaja jompo sepertimu pulang terlalu larut." ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, namun kata-kata Fano yang dengan makna empati membuatku sedikit terharu.

Aku berjalan pelan, memilih duduk di ranjangnya. "Tidak ada informasi penting," ucapku sedikit kecewa, "Tapi, apa kau tahu tentang papan ouija?" Tanyaku cepat sambil menoleh padanya.

Fano memutar kursinya, mengarah padaku sambil menatapku dengan intens. "Papan ouija? Maksudmu Whilli melakukan permainan itu?" seolah tak percaya, ekspresi Fano begitu antusias.

"Ya, aku datang ke rumahnya, Whilli dan beberapa temannya melakukan permainan itu. Tapi, kupikir itu hanya sebatas permainan mitos," jawabku, sebenarnya menyembunyikan bahwa mereka berhasil memanggil seseorang, meskipun bukan aku—ya, aku penasaran siapa ruh yang datang dan mengaku sebagai aku.

"Kalau mereka berhasil, itu bukan lagi mitos Vene," sangkalnya padaku, kuakui itu memang bukan lagi mitos. Tapi, bukan saatnya untuk berbicara jika mereka memanggilku.

"Jika berhasil," balasku sembari mengangkat kedua tanganku setinggi dada.

Fano melihatku dengan bola mata yang mengkilat, dia menatapku seolah mencari secuil saja informasi. "Jadi apa mereka berhasil? Mustahil kau pulang selarut ini tanpa keberhasilan," ucapan Fano memaksaku berkata iya di dalam hati.

THE DIE  (REVISI) Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum