08

103 17 0
                                    


    Aku mengendap-endap, persis seekor tikus yang masuk ke sebuah kamar pemilik rumah. Mencari makanan di bawah meja atau bahkan merencanakan pembuatan sarang di bawah ranjang, nyatanya tempat yang tidak rapi. Dan, aku seperti tikus ini—bedanya aku tikus yang menyukai tempat bersih, meskipun posisi sekarang berada di pintu belakang yang ah! Banyak sekali sampah plastik yang tergeletak di lantai dan ditambah lagi dengan bau sampah yang basah. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa tempat sampah tertumpah begitu saja, entah ada hewan peliharaan yang nakal melakukan hal menjijikan itu.

     Aku melangkah lebih cepat ketika yang kudapati hanya ruangan gelap. Kutebak orang rumah kemungkinan sudah tidur, jika bisa diasumsikan mungkin mereka sudah melewati makan malam dan tidur di pukul sembilan malam. Lebih tidak sopan bertamu ketika tuan rumah sudah tertidur, kurasa aku penyusup—bukan seorang tamu. Aku melewati ruangan yang gelap itu dengan langkah yang lebih cepat, hawa panas yang tercipta dari udara membuatku berkeringat—aku baru tahu ruh juga senormal manusia.

     Kususuri tempat asing yang sebetulnya pernah kudatangi setahun yang lalu, yang terakhir saat salah satu anggotanya tewas kecelakaan bersamaan dengan Oivie. Aku mencoba mengingat-ingat dimana letak kamar Whilli, rumahnya memang tidak terlalu besar tapi, banyak bilik yang bisa saja kosong bahkan tanpa penerangan—dalam kebingungan yang begitu kentara maka aku melihat sekitar empat bilik dengan warna pintu yang sama, seingatku di antara empat inilah salah satu kamar Whilli.

     Aku membulatkan mata dimana momen yang tidak sengaja terjadi, suara sendal yang bergesekan dengan ubin refleks membuat otakku berpikir hingga meminta semua saraf di tubuhku bergerak. Aku tidak pandai bersembunyi dan di tempat ini tidak ada persembunyian, tidak punya pilihan aku memilih untuk mematung di antara empat pintu itu seolah manekin gratis dari Santa telah ditetapkan dengan letak di tempat ini.

    Aku hampir saja terkejut ketika seseorang berhenti, piyama yang dia gunakan begitu acak dan agak kumal. Aku mencoba untuk tidak bernapas beberapa detik, hingga Whilli menarik diri dari tempatnya—aneh, dia tercenung secara tiba-tiba tatapannya juga sayu ke arah bawah. Tidak mau kehilangan kesempatan emas, aku cepat-cepat melangkah ikut masuk ke dalam kamarnya, yang ternyata letaknya sebelah kiri di bagian belakang, jika saat berdiri di posisiku tadi.

     Kuperhatikan Whilli yang duduk di sisi ranjangnya, matanya terus menatap ke arah bawah seolah ada banyak sekali hal-hal menarik di karpet merah maroon, tak ayal aku bahkan melihat kelopak matanya selalu terkantup belum lagi desis dari bibirnya yang kecil terus menerus terdengar, aku tidak mengerti sikapnya tapi mungkin Whilli sedang berpikir. Aku melangkah memilih untuk lebih dekat dengan Whilli, kalaupun masih kutetapkan untuk terus menjaga jarak, katanya ruh tidak bisa dilihat tapi eksistensinya bisa dirasakan.

     Whilli beralih posisi, membungkukkan badannya, kepalanya sedikit terangkat dengan wajahnya yang menyamping ke kanan, jika kulihat dengan detail tangan kanannya sedang mencari sesuatu di bawah ranjangnya. Aku semakin penasaran dibuatnya, kutunggu hingga Whilli mengambil sebuah benda berwarna hitam dengan bentuk persegi, ukurannya sama persis seperti papan catur.

     Aku mengernyitkan dahi, apa itu papan ouija? Aku bertanya pada diriku sendiri, papan ouija adalah papan yang digunakan untuk pemanggilan ruh terhadap orang yang sudah meninggal. Aku lebih mendekat saat Whilli membuka papan itu, ia bahkan mengambil satu benda yang pasti untuk ritual pemanggilan. Tapi, yang kutahu papan ouija hanya sebagai permainan yang sekadar dikait-kaitkan dengan hal-hal mistis.

    Apa Whilli begitu yakin, dengan mitos papan ouija bisa memanggil ruh seseorang? Aku terus bertanya-tanya sementara Whilli sedang mempersiapkan segalanya, bahkan Whilli berdiri dengan tergesa-gesa mengunci pintu kamarnya. Aku masih mengawasi setiap pergerakannya, Whilli mengambil sebatang lilin merah yang tersimpan di laci meja belajar miliknya—dia meletakkan lilin itu sembarangan. Aku berusaha tetap tenang meskipun banyak sekali deretan pertanyaan, dering smartphone membuatku sempat terkejut disambut lagi dengan getaran yang kuat di atas meja belajar itu.

THE DIE  (REVISI) Where stories live. Discover now