05

158 17 0
                                    


   Aku bersembunyi begitu tak sengaja mataku menabrak pupil Maria. Jantungku rasanya berdetak begitu kencang, aku berdiam diri tanpa harus menimbulkan suara—sepersekian menit terlewat, Maria tidak mendatangiku ke pintu—dalam artian mungkin hanya aku melihatnya dan dia tidak melihatku. Meskipun kurang masuk akal jika dia tidak melihatku sementara aku menabrak pupil matanya, atau mungkin dia pura-pura tidak tahu.

"Kau sudah mendengarnya?" Tanya Whilli pada Maria, tanpa sapaan yang sopan ataupun sapaan sekadar hai.

Aku mengintip mereka sekaligus menguping pembicaraannya. "Ya, itu menyedihkan," jawab Maria, aku masih bingung dengan topik mereka.

"Kurasa, sebagai mantan temannya. Mari datang dalam pemakamannya besok, kudengar pihak keluarga menolak otopsi." Whilli membeberkan segala informasi yang ia tahu, sementara aku masih mengerutkan keningku—terutama ketika Whilli mengatakan sebagai mantan teman.

Maria memeluk boneka kelinci itu. "Bagaimana bisa? Kematiannya penuh misteri," pungkas Maria.

Whilli berdecak. "Semenjak ayahku dan adiknya tewas dalam kecelakaan waktu itu, Vene tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan itulah alasan kenapa dia memilih menjauhi kita."

  Aku sukar menelan ludah, aku merinding. Whilli tahu jika aku menjadi orang asing di rumah, tapi bukan itu yang membuatku merasa gemetar dan takut. Aku lekas menjauh dari tempat itu, rasanya aku ingin menangis saja—di toilet pria, anak laki-laki membicarakan perihal kematian seseorang kemudian di perpustakaan segerombolan anak ambisius mencaci kematian seseorang, dan sekarang—Whilli dan juga Maria membicarakan kematian seseorang dan parahnya menyangkut pautkan perihal aku.

  Lantas, aku ini apa? Siapa yang tewas? Siapa yang mereka bicarakan meninggalkan kena karma. Apakah aku sudah mati? Tidak, itu tidak mungkin, sulit rasanya menerima jika aku mati, atau apakah aku sudah benar-benar mati—itukah alasannya kenapa aku bisa melihat Maria akan tetap Maria acuh meskipun kami saling eye contac, aku merasakan tubuhku begitu lemah—aku tidak lagi bisa berlari menjauhi keramaian sekolah, aku terduduk memeluk lututku di teras koridor, yang sebenarnya berdekatan dengan susunan loker pribadi siswa.

    Aku menangis di sana, aku frustasi. Aku bingung, sayangnya aku bahkan lupa bagaimana aku ada di sekolah ini dan bahkan aku lupa sejak kapan aku tidak lagi merasa lapar, biasanya meskipun aku selalu menyendiri paling tidak aku akan ke kantin dan memilih membungkus makanan lalu menikmatinya di atap. Aku sesenggukan, aku berusaha menenangkan diriku—fokus mencari lebih banyak informasi terlebih lagi, siapa yang mereka bahas tentang kematian seseorang, aku masih belum percaya jika aku yang mati.

  Dalam kebingungan itu, aku dikejutkan dengan bel tanda pulang. Belum sempat aku beranjak, puluhan anak mulai keluar dari kelasnya, mereka keluar berkelompok—saling berbincang entah apa yang mereka bicarakan. Aku berdiri di antara susunan loker itu, dan puluhan dari mereka tidak melirik sedikitpun padaku, seoalah aku memang tidak ada di antara mereka. Mendapati hal semacam itu, entah kenapa aku merasa sakit dalam relungku. Aku tidak tahu sejak kapan perasaanku begitu sensitif.

   Aku menjauh dari tempat itu, melirik sebentar sebuah garis kuning dari pihak kepolisian, yang aku tidak tahu kenapa ada semacam itu. Aku tidak perlu memikirkan hal itu pada intinya aku melangkah dengan cepat melewati mereka. Aku begitu merasa tersudut, aku... ah aku membenci diriku yang sekarang—ini seperti sifatku yang dahulu, lebih suka menjadi pusat perhatian. Aku menolah ke arah kanan saat kulihat beberapa Guru sedang berbincang dengan aparat forensik, yang bisa kukatakan forensik karena pakaian serba putih yang menutupi seluruh bagian tubuh, sangat mirip dengan astronot.

  Aku melihat mereka dengan rasa penasaran yang tinggi namun urung bagiku untuk mendatangi mereka. Maka, kupilih dengan melangkah menuju mading yang ada di luar—tepat berada pada pintu masuk ke dalam area gedung sekolah, aku bergegas melihat mading yang penuh dengan warna poster yang sama. Karena penasaran yang begitu tinggi, aku akhirnya mendekati mading. Aku terkesiap, dan fakta yang menyakitkan telah kudapatkan lewat keterangan selembaran yang tertempel di sana.

THE DIE  (REVISI) Where stories live. Discover now