"Sebenarnya maksud kedatangan saya sowan kepada Pak Bani juga ada kaitannya dengan Asmara." Subuh menjeda kalimatnya.

"Sebelumnya saya minta maaf jika nanti ada kata-kata yang tidak sopan dan kurang berkenan di hati Pak Bani." Subuh kembali menghela napasnya. Sementara Rabani tetap diam sampai Subuh menyelesaikan kalimatnya.

"Bismilahirohmanirohim, kedatangan saya ke sini sebenarnya adalah meminta izin Pak Bani untuk meminta Asmara menjadi teman, sahabat, sekaligus pendamping hidup saya atas ridallah yang insyaAllah untuk hidup kami di dunia dan di akhirat nanti." Subuh akhirnya bisa bernapas lega setelah semu tersampai dengan lancar.

"MasyaAllah, apa saya tidak bermimpi, Mas Azlul?"

Ekspresi terkejut di wajah Rabani tidak bisa dia sembunyikan. Gurat bahagia itu langsung tercipta bersamaan dengan air mata haru yang menetes di dua belah pipinya. Rasanya masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja didengar oleh perungunya.

Subuh pun hanya bisa menatap perubahan ekspresi itu karena dia bingung harus berbuat apa lagi. Tidak biasanya Rabani seekspresif ini menunjukkan perasaannya.

"Maafkan saya kalau saya salah bicara, Pak Bani." Subuh memecah kebisuan di antara mereka.

"Tidak, Mas. Mas Azlul tidak salah. Saya yang justru terharu mendengar semua ini. Ternyata perasaan Asmara tidak bertepuk sebelah tangan."

Kini justru Subuh yang terkejut mendengar kejujuran yang terucap dari bibir laki-laki yang berusia nyaris setengah abad itu. Tiba-tiba kakinya tergerak untuk melangkah mendekati Rabani kemudian berlutut di hadapannya. Tak lama kemudian rasa haru itu akhirnya membuat Subuh bersimpuh dan mengucapkan terima kasih.

Tidak ingin melihat laki-laki yang disukai putrinya duduk bersimpuh di depannya. Rabani segera berdiri dan meminta Subuh untuk mengikuti gerakannya. Seketika Rabani menariknya ke dalam pelukan. Sebagai seorang ayah tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain melihat putrinya bersanding dengan laki-laki yang baik budi, perilaku dan terlebih agamanya. Rabani tidak pernah sedikit pun memandang negatif pada laki-laki yang kini ada di pelukannya.

Beberapa menit kemudian, pelukan mereka terlepas. Rabani kembali menyilakan Subuh duduk.

"Saya bisa memastikan bahwa Asmara memiliki perasaan kepada Mas Azlul tapi untuk jawaban apakah dia bersedia atau tidak menjadi pendamping hidup Mas Azlul, sebaiknya kita memang harus menunggu dia ada dan duduk bersama membahas ini," kata Rabani setelah dia berhasil menguasai emosinya.

"Saya paham, Pak. Saya datang kemari sebenarnya juga hanya ingin menyampaikan niat baik ini karena tidak bisa menundanya terlalu lama," jawab Subuh.

Rabani tidak memberikan tanggapan, hatinya terlalu bahagia sehingga tidak bisa berkata-kata. Yang bisa dilakukan hanya tersenyum dan mengangguk pada Subuh.

"Saya juga telah menyampaikan kepada Mama perihal ini, Pak. Sebelum saya mengajak beliau bersilaturahmi ke sini, Mama minta bertemu dengan Mara terlebih dulu—" Belum sampai Subuh menyelesaikan bicara tiba-tiba suara salam menghentikan suaranya.

"Nah, ini dia anaknya sudah datang."

Asmara mencium tangan Rabani lalu masuk untuk membersihkan tangan dan kakinya terlebih dulu sebelum kembali ke ruang tamu untuk menemui dengan Subuh dan ayahnya.

Beberapa menit kemudian, Asmara sudah duduk di samping ayahnya. Hatinya masih menebak apa yang telah mereka bicarakan sebelumnya sampai Asmara melihat senyuman yang tidak pernah lepas menghias wajah cinta pertamanya.

"Ayah kelihatan bahagia sekali. Pasti kedatangan Subuh ke sini membawa kabar yang membahagiakan hati." Asmara mencoba memecahkan kebisuan.

"Benar, Sayang. Ayah sangat bahagia, dan insyaAllah kamu pun akan bahagia bila mendengarnya." Rabani mengusap tangan putrinya.

Asmara SubuhOù les histoires vivent. Découvrez maintenant