"Jadi Ayah sudah bosan nih ceritanya makan masakan Mara?" ledek Asmara.

"Mana mungkin Ayah bosan, masakanmu jauh lebih enak dari makanan yang dijual di warung, lebih higienis, jadi Ayah tidak pernah ragu untuk memakannya."

Ujung dari percakapan itu, Rabani membelokkan sepeda motornya ke sebuah rumah makan yang terkenal di kota Serah. Asmara bahkan tidak percaya saat ayahnya memesan berbagai menu untuk buka puasa.

"Yah, kok banyak sekali beli lauknya?" tanya Asmara.

Rabani mengangguk.

"Ayah ingin mengundang Mas Azlul, Rubina dan Usman untuk buka puasa di rumah. Mereka sudah banyak menolong kita, Mara. Sudah sepantasnya kita membalas meski apa yang kita berikan tidak sebanding dengan kebaikan mereka."

"MasyaAllah, Ayah. Mara semakin kagum dengan Ayah." Asmara ikut membantu membawakan kantong kresek dari tangan Rabani.

Keduanya lantas menyusur jalanan kota Serah untuk pulang ke rumah.

Sore harinya, selepas salat Asar, Rabani secara khusus mengundang Usman dan Subuh untuk datang ke rumahnya. Sementara Asmara yang langsung mengundang Rubina melalui sambungan telepon.

"Pokoknya nanti selepas salat Magrib kami tunggu di rumah." Rabani kemudian meninggalkan keduanya.

Dalam sapuan pandangannya Subuh mencari keberadaan Rabani saat dia memberikan nasihat menjelang buka puasa. Namun, matanya tidak menemukan, pun demikian halnya dengan Asmara. Sudah dua hari ini Subuh tidak melihat bayangan Asmara menjamah masjid.

Padahal ketika tadi pagi dia menelepon Rabani, Asmara diceritakan sehat dan harusnya sekarang dia bisa berjalan normal. Apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Rabani sampai harus mengundangnya ke rumah bersama Usman?

Subuh segera berdiri setelah selesai berzikir. Usman pu mengikuti gerakannya. Beberapa jamaah salat Magrib juga mulai membuyarkan diri.

Seperti biasa ketika Subuh berjalan di belakang gerombolan ibu-ibu, telinganya kembali mendengar cerita tentang Asmara. Namun, kali ini bukan karena mereka ingin memfitnahnya dengan cerita karangan yang baru melainkan karena rasa empati atau lebih tepatnya disebut dengan rasa iba.

"Saya kasihan lho kalau tahu ternyata begitu ceritanya. Mana Asmara belum menikah lagi. Kalau nanti dapat calon suami kemudian keluarganya mempermasalahkan latar belakang ibunya. Aduh nggak bisa membayangkan jadi Pak Bani," kata salah seorang di antara mere membuka obrolan.

"Memangnya Mbak Nurita itu nggak kasihan atau bagaimana ya sama anaknya. Pantas saja Mara itu ikut ayahnya dari mereka bercerai. Ternyata memang mamanya nggak benar," sambung yang lainnya.

"Benar, kasih Pak Bani juga. Mendidik dan membesarkan anak gadis, padahal harusnya Mara itu butuh bimbingan seorang ibu untuk peralihan menjadi dewasa," tambah ibu yang paling ujung.

"Nyatanya Pak Bani sukses membesarkan putrinya walau awalnya Mara sempat melayangkan protes, tapi sepertinya setelah mengerti duduk perkaranya dia jadi tampak lebih kalem dan selalu berjilbab ketika keluar rumah," jawab ibu yang pertama kali membuka obrolan.

"Ya, kita doakan saja, semoga nanti Mara mendapatkan jodoh terbaik. Suami yang bisa mengerti keadaannya, juga menyayangi Pak Bani sebagai ayahnya."

"Aamiin." Semua serempak menjawab.

Dalam hati Subuh pun mengaminkan doa yang diucapkan oleh ibu-ibu yang terpisah di perempatan jalan. Dia semakin mempercepat langkah bersama Usman supaya cepat sampai di rumah Asmara.

"Asalamualaikum," sapa Subuh ketika sudah berdiri di depan pintu rumah Asmara yang terbuka.

"Waalaikumsalam," ternyata Rubina sudah ada di dalam bersama Asmara karena suaranya terdengar nyaring menjawab salam dari Usman dan Subuh.

Rabani keluar untuk menyambut dan langsung mempersilakan kedua tamunya masuk ke ruang makan.

"Asmara dan Rubina sudah menunggu di meja makan," kata Rabani.

"Maksud Pak Bani mengundang kami datang ke rumah?" tanya Subuh mengernyitkan kening.

"Astagfirullah, apa saya lupa belum menyampaikannya kepada Mas Azlul dan Usman?"

Subuh dan Usman kompak menggelengkan kepalanya.

"Ya Allah, harap maklum faktor U, saya dan Asmara berniat mengajak kalian buka bersama sebagai ungkapan syukur, kaki Asmara sudah bisa dipakai berjalan normal dan juga sebagai ucapan terima kasih karena sudah banyak dibantu selama ini. Ayo Usman, Mas Azlul langsung saja." Rabani mengajak keduanya ke ruang makan.

Saat Rabani kembali bersama dua tamu yang memang telah ditunggu oleh Asmara dan Rubina, mata Subuh langsung singgah menatap Asmara yang sudah duduk menghadap meja makan. Senyumnya mengembang sebelum bibirnya bergetar untuk memproduksi kalimat tanya.

"Masih sakit kakinya dipakai jalan, Mara?" tanya Subuh.

"Sedikit, tapi kata dokter itu wajar. Lama-lama dia juga akan lemas sendiri asal tidak dipakai untuk jalan cepat dan lari," jawab Asmara senormal mungkin.

Meski demikian Rabani menangkap pesan tersirat yang tersampai dari perhatian Subuh kepada putrinya. Sepertinya perasaan Asmara tidak bertepuk sebelah tangan. Subuh pun menyiratkan menyimpan rasa yang sama. Setidaknya seperti itulah yang terbaca dari sikap yang ditunjukkan Subuh kepada Asmara.

Buka puasa di rumah Rabani terasa begitu nikmat meski dengan menu yang sederhana. Di meja bundar itu mereka membahas beberapa ibadah yang seringkali dilakukan tapi berdasar hadis dhoif.

"Jadi memang tidak ada tuntunan untuk puasa sunah Rajab, Ustaz?" tanya Rubina.

"Tidak ada yang salah puasa sunah di bulan Rajab, puasa sunah Senin dan Kamis seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, Ayyamul bidh atau puasa Daud yang dilakukan oleh Nabi Daud AS," jawab Subuh disela dia mengunyah makanan di mulutnya.

"Lalu puasa sunah yang dikhususkan di bulan Rajab seperti halnya puasa Syawal?" tanya Usman.

"Saya belum pernah tahu dan mengaji ada hadis shahih yang menjelaskan tentang puasa itu. Jadi prinsipnya bulan Rajab itu termasuk bulan haram sama dengan bulan Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharam. Segala amal perbuatan yang dilakukan pada empat bulan itu akan dilipatgandakan termasuk dengan perbuatan mungkar, Allah akan melipatgandakan hitungan dosanya."

Subuh menjelaskan dengan rinci bersamaan dengan hadis yang selama ini dia pelajari dan sudah jelas sanadnya hingga ke nabiyullah.

Sampai dengan azan Isya berkumandang dan acara makan malam itu pun berakhir. Subuh berniat ingin membantu Asmara mengangkat piring kotor yang ada di atas meja makan ke dapur. Tetapi Asmara menolaknya.

"Kamu ke masjid saja bersama yang lain, biar aku yang membersihkan semuanya," kata Asmara.

"Tapi kamu kan juga harus ke masjid untuk menunaikan salat Isya dan tarawih, Mara," jawab Subuh.

Asmara menggeleng lalu mengangkat tumpukan piring tapi keseimbangan tubuhnya tidak begitu baik sehingga hampir saja dia menjatuhkannya ke lantai jika tidak ditolong Subuh. Akhirnya Asmara hanya diam ketika Subuh membantunya untuk mengangkat piring kotor ke cucian piring yang ada di dapur.

"Tinggalkan saja, Ayah juga pasti sudah siap, Buh. Aku belum bisa ke masjid malam ini," kata Asmara.

"Okay, besok pagi aku ingin bicara sesuatu dengan kamu dan Pak Bani. Tolong beritahu aku jam berapa kalian bisa aku ganggu," pesan Subuh sebelum meninggalkan Asmara sendiri di rumah.

"Untuk apa?" Asmara masih sempat bertanya sebelum tubuh Subuh menghilang dibalik pintu.

"Besok kamu juga akan tahu sendiri."

Kini, Asmara hanya tinggal sendiri di rumah menyelesaikan pekerjaannya. Namun, pikirannya tidaklah ada bersamanya. Dia masih menerka-nerka, gerangan apa yang membuat Subuh ingin bicara bertiga dengan Asmara dan Rabani besok pagi.

Pyar....

Sebuah piring meluncur ke lantai dan pecah berkeping-keping di sana.

"Astagfirullah, mikir apa kamu Asmara? Nih, kalau kamu melamun pekerjaanmu jadi berantakan seperti sekarang!" Asmara bergumam lirih sebelum mencari sapu untuk membersihkan pecahan beling agar tidak mengenai kakinya.ф

13 Ramadan 1444H

Asmara SubuhWhere stories live. Discover now