Kakeknya berkata, seakan ia akan pergi secepatnya. Akan pergi meninggalkan Aiden, juga anaknya, serta keluarganya. Meninggalkan pesantren yang sedang ia bina.

Aiden masih diam. Terhanyut oleh pikirannya yang melayang ke mana-mana. Sampai ayahnya beradeham cukup keras, membuatnya tersadar dan mengangguk cepat.

"E-eh? Iya, Iden bersedia, Kakek."

Kyai Walid tertawa ringan. Melihat Aiden yang tiba-tiba gugup. Jika didengar dari dekat, detak jantungnya berpacu kencang. Ini belum ia sampaikan, bagaimana jika ia telah menyampaikannya?

"Kakek mau ... Iden menikah dengan anak sahabat kakek."

Apa maksudnya? Kening Aiden mengerut. Ataukah maksudnya ....

Ia dijodohkan?

🐲🐉🐲

"

Assalamualaikum, Hazell?"

Seseorang datang memberi salam yang tak langsung dijawab oleh Hazell. Gadis itu, menoleh sembari mengingat siapa yang datang. Wajahnya seperti tak asing.

Melihat Hazell yang sepertinya berusaha mengingat, ia pun berujar kembali. "Mengingatnya nanti saja. Jawab salam dulu."

Hazell tersadar dan menggeleng cepat. "Eh, iya, waalaikumsalam. Aduh ... siapa, ya? Kayak, pernah lihat. Atau, sering. Tapi, lupa." Hazell gugup.

Tingkah Hazell mengundang tawa orang tersebut. Lantas, memperkenalkan dirinya dengan nama lengkap.

"Rayyan Shaka Al-Walid."

Cling

Ingatan Hazell kembali. Ya, dia ingat. Siapa pemuda di depannya ini. Dengan senyum ramahnya, Hazell pun menunduk.

"Kamu, Shaka yang suka ingetin shalat, kan?" Hazell bertanya untuk meyakinkan.

Shaka atau Rayyan pun mengangguk. Tak menyangka bahwa dirinya diingat sebagai pengingat shalat, selain adzan, dan lainnya.

Dulu, Hazell dan Rayyan adalah teman semasa sekolah menengah pertama, alias SMP. Saat itu, mereka pernah sekelas di kelas tujuh dan sembilan.

Hal yang membuat Hazell mengingat namanya karena Rayyan sering mengingatkan teman muslimnya untuk shalat. Rayyan setiap hari, akan selalu menagih absen shalat jamaah dan shalat Dhuha.

Pernah, Rayyan diprotes karena cukup bawel dalam memerankan perannya sebagai ketua seksi keagamaan. Namun, tak pernah sekalipun ia berhenti mengingatkan temannya untuk selalu shalat tepat waktu. Meskipun sakit, ia tetap menjaga pesannya.

"Ekhem," Shaka berdeham. Beristighfar dalam hati karena ia tanpa sengaja menatap paras Hazell cukup lama.

Hazell pun demikian. Ia segera menunduk. Mau bagaimana pun, ia tahu, adab ketika ia menatap lawan jenis hingga lama. Terlebih lagi, orang yang ia tatap ini, kabarnya dari keluarga paham agama. Minder saja dia.

Keduanya berdiri. Masih menunduk dalam keheningan. Tak ada yang membuka pembicaraan. Bahkan, Rayyan yang tadinya hendak menyapa pun, lupa juga ingin berkata apa.

Hazell heran. Satu pertanyaan ia ucapkan. "Kamu, mondok di sini?"

Setahu Hazell, Rayyan dulu berkata, bahwa ia akan mendalami agama lebih dalam. Entah, ia mondok atau ke mana, Hazell tak pernah tahu. Rayyan pun juga tak ingin memberitahu bila tak ada temannya yang bertanya.

Rayyan, pemuda itu menggeleng. "Bukan mondok lagi."

Hazell mendongak. "Terus? Katanya, mau mendalami ilmu agama lebih dalam? Jadi ...."

Alis Rayyan terangkat satu. Dagunya mengerut, sama seperti keningnya. Apakah Hazell membutuhkan jawabannya?

"Saya, tinggal di sini."

"Mondok, dong?"

Hazell masih salah mengira. Otaknya tak cepat tangkap. Belum terkoneksi oleh jaringan komunikasi saat ini.

"Lupakan. Harusnya saya yang bertanya. Kenapa di sini? Sendiri juga," ujar Rayyan membuka topik baru.

"Diajak Iden."

"Iden?" tanya Rayyan. Namanya memang tak asing. Namun, yang ia herankan, mengapa Aiden ke mari mengajak Hazell saja?

Gadis itu telah duduk kembali di bangku taman. Diikuti oleh Rayyan yang duduk di bangku lainnya. Seraya itu, Hazell kembali menjelaskan.

"Iden kemarin tanya, siapa yang mau ikut ke ponpes. Aku, sih, mau aja. Yaa, ada alasan yang nggak perlu kamu tahu."

Gaya bahasa Hazell mengikuti lawan bicaranya. Jika menggunakan kata gaul, maka, ia pun membalasnya. Begitu juga sebaliknya.

Karena Rayyan sering menggunakan kata saya-kamu, Hazell pun berkata demikian. Hanya saja, ia tak memakai kata 'saya' untuk menyebut dirinya, melainkan aku.

Rayyan masih setia mendengarkan. Sementara Hazell, bingung juga mau cerita bagaimana. Banyak hal yang ia tak mengerti. Mulai dari panggilan Gus untuk Aiden, lalu Abah Kyai yang dipanggil kakek, kemudian ada Rayyan di ponpes ini.

Apa sebenarnya?

Ketika Hazell tak kunjung melanjutkan kalimatnya, Rayyan pun berinisiatif untuk memberitahu sebuah hal. Namun, terganggu oleh sebuah suara teriakan dari Ndalem, diiringi ucapan astaghfirullah oleh neneknya.

"Aiden, mau ke mana kamu!" teriak Raihan, mengejar anaknya.

Tak sampai di situ. Aiden ke luar dengan terburu-buru, tanpa alas kaki. Meninggalkan dua orang paruh baya dan orang tuanya. Sama sekali tak ia gubris teriakan-teriakan itu.

Saat ia sampai di dekat taman pun, Aiden hanya melirik Hazell. Dari lirikan matanya, Hazell pun paham, bahwa Aiden mengajaknya pulang.

Dengan langkah berat, Hazell menunduk seraya memberi salam pada Rayyan. Kemudian, berlari mengejar Aiden yang mulai menjauh.

Dari ajakan Aiden, Hazell sampai lupa jika tasnya ada di Ndalem. Bahkan, ia pun melupakan benda terpenting menurutnya. Apalagi, kalau bukan hp.

"Aiden, istighfar, Nak. Jangan gegabah!" Kyai Walid turut berteriak.

Semua yang ada di Ndalem pun turut mengejar. Sampai Aiden menancapkan gasnya bersama Hazell.

Gadis yang ada di jok motornya pun hanya diam. Sebelum pergi, ia tersenyum dan menunduk, seraya melambaikan tangan sebagai ucapan terima kasihnya.

"Aiden, kenap—"

"Diem. Nggak usah banyak bicara."

















================================================

Hayolo, Aiden kenapa? Emosi kali, yak.

Nasib tasnya Hajell gimana, yaaaa
Takut gak di privasi, nih, hp nya. Nanti dibuka-buka 🤫

Hi, We Are ZxVorst Team Where stories live. Discover now