Prolog

655 41 5
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Bukan tentang rumitnya cinta beda agama. Melainkan tentang indahnya perjalanan menemukan makna cinta dari sang Maha Cinta."

~ Assalamu'alaikum, Islam ~

Happy reading!

☪️☪️☪️

"Apa Zainab? Kamu dipecat?!"

Kelopak mata yang membungkus dua buah iris berwarna hitam pekat kini menutup seiring matanya yang memejam kaget. Lengkingan suara sang Kakak membuat nyali perempuan berusia dua puluh satu tahun seketika menciut.

Di hadapan Kakak tertuanya, perempuan yang beberapa saat lalu resmi menyandang status sebagai pengangguran menyahut dengan lesu. "I-iya, Kak."

Mendengar itu, amarah Windi yang tengah berada di ubun-ubun kian memuncak meminta dilepaskan. Dia menatap sang adik dengan nyalang.

"Astaga, Zainab. Kamu nggak mikir apa, hah? Ojeg Bapak sekarang lagi sepi. Penyakit Indah sering kambuh. Belum lagi kebutuhan rumah tangga Ibu juga banyak. Dan sekarang kamu malah dipecat dari pekerjaan? Sengaja kamu mau nambahin beban keluarga ini, hah? Sengaja kamu mau bikin Bapak sama Ibu tambah pusing karena mikirin kamu yang jadi pengangguran?"

"Emang suka ya kamu bikin keluarga ini menderita. Dua puluh satu tahun hidup di dunia nggak ada manfaatnya sama sekali," cecar Windi.

Sakit akibat guncangan di bahunya tak sebanding dengan perkataan sang Kakak yang sangat menusuk. Dilontari perkataan buruk dari Windi yang tak bisa menjaga lisan memang sudah biasa Zainab rasa. Namun sebagai manusia biasa, perih di ulu hatinya tak mampu di bohongi.

Dikatai hidup hanya membuat keluarganya menderita dan tidak memberi manfaat sama sekali tentunya sangat menyakiti hati Zainab yang sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya.

Ia bahkan sempat menolak beasiswa yang ditawarkan universitas favorit usai lulus sekolah guna bisa bekerja membantu meringankan ekonomi mereka yang akhir-akhir ini selalu krisis.

Namun sebuah bentuk pengorbanan Zainab tiga tahun lalu itu dengan mudahnya Windi lupakan.

"Ada apa ini, Kak? Kenapa teriak-teriak?" Indah yang tengah beristirahat dan merasa terusik dengan pertengkaran sepihak memilih keluar dari kamar. Dia melihat sang adik bungsu berdiri dengan kepala yang menunduk tanpa daya.

Windi memilih duduk di kursi rotan dekat jendela usai mengeluarkan seluruh murkanya pada Zainab. Kedua tangan terbalut kaus biru pendek bersedekap dengan angkuh.

"Tuh, Ndah. Adik kamu bikin ulah. Masa iya dia dipecat dari pekerjaan. Mana kemarin Kakak baru ikut arisan lagi. Tadinya setiap Zainab gajian Kakak mau pinjem ke dia buat bayar arisan itu. Tapi sekarang dia malah nganggur. Eh, bukannya bantuin malah tambah nyusahin."

Indah yang selalu berada di tengah-tengah tanpa berniat hendak membela salah satu dari saudaranya, hanya bisa menghela napas.

Perempuan dengan fisik lemah berusaha memberi solusi. "Ya udah, Kak. Zainab tinggal cari kerjaan baru. Bukannya kemarin Bu Darmi juga sempet nawarin Zainab buat pindah kerja ke tempat yang sama dengan perusahaan anaknya kerja, ya? Jadi staf administrasi. Coba aja Zainab ngelamar ke sana. Siapa tahu aja kan masih ada lowongan."

"Nah, kamu bener." Kini mata tajam Windi bergulir menatap Zainab yang masih bergeming di dekat pintu. Selain pemarah, Windi juga terkenal mempunyai sifat otoriter yang apapun perintahnya mesti dituruti. Perintahnya mutlak. Tidak bisa diganggu gugat.

Assalamu'alaikum, IslamWhere stories live. Discover now