8.A | Kamu berhenti (End)

54 8 11
                                    

Satu part sebelum petualangan konyol ini berakhir.

Duduklah dan cari tempat ternyaman. Bersua dengan pikiran sendiri, nikmati sensasinya.

“Apa pun yang kamu baca setelah ini, bayangkan itu adalah dirimu sendiri. Kamu tokoh utamanya.”

¢¢¢

“WOI ZE! LO MAU KE MANA?”

Kamu tidak menduga jika Ze akan terus melangkah tanpa berhenti sejenak atau sekadar menoleh ke arahmu. Laki-laki itu seperti tidak mendengar teriakan yang kamu lontarkan.

Dengan langkah tertatih-tatih kamu berusaha mengejar laki-laki itu sambil memanggil-manggil namanya. “Ze, woi Zeo! Tungguin gue napa!” celotehmu.

Sintingnya, langkah lambatmu dengan kaki terluka tentu saja tidak sepadan dengan langkah lebar dan cepat milik Ze. Laki-laki itu benar-benar tidak menganggap kehadiranmu, terus berjalan sampai kamu kehilangan bayangannya.

Kamu kehilangan jejak Ze, lagi.

Kamu bergumam, “Lo kenapa, sih, Ze?”

Menghentikan langkah, rasa nyeri dan perih kembali terasa karena kamu terlalu banyak menggerakkan tubuh. Kamu memilih untuk duduk di pinggir jalan beralas aspal.

Perihal kotor atau malu, kamu sudah terbiasa dan tidak peduli dengan tanggapan warga yang berlalu lalang.

“Ssssh, sekarang gue harus ke mana?” monologmu setelah meringis. Merasa kacau dengan perjalanan ini, padahal sebelumnya sudah optimis untuk segera sampai finish.

Termenung. Kamu tidak berniat melihat peta, karena di sana clue selanjutnya hanya emoji senyum. Tidak ada apa pun lagi selain itu.

Benar-benar tidak ada apa-apa lagi. Buntu.

Harusnya—

Kamu termangu. Netra matamu mulai melihat sekitar dan memperhatikan setiap sudut. Ini ... tidak asing. Sebelumnya, kamu merasa pernah mengunjungi tempat ini. Rasa-rasanya—

Benar, ini adalah tempat di mana kamu tumbuh. Tumbuh bersama orangtua dan—

Orangtua?

Kamu segera berdiri, dengan begitu terburu-buru melangkah menelusuri jalan. Iya kamu ingat, kamu mengingat tempat yang kamu pijaki saat ini. Karena sudah mengingat itulah, kamu harus mencari sesuatu.

Sesuatu itu adalah, rumah.

Kamu berdiri di depan salah satu rumah yang berjejer di desa itu, desa yang diduga menjadi tempatmu dulu tumbuh.

Baru saja hendak mengetuk pintu, seseorang keluar dari dalam rumah dan menatapmu heran. “Siapa kamu?” tanyanya.

Kamu tersenyum kikuk. “Oh, sorry, salah alamat,” katamu dan langsung melangkah meninggalkan rumah itu.

Kamu setengah lupa dengan bentuk rumah orangtuamu. Apakah kamu harus mengetuk pintu rumah satu persatu guna melihat siapa penghuninya? Tidak. Itu terlalu konyol.

Kamu melangkah menelusuri jalan, berhenti setelah membuat tebakan jika kamu menemukan rumah orangtua.

Melakukan hal yang sama, mendekat ke arah pintu dan mengetuk pintu tersebut.

Tok, tok, tok!

Tidak ada yang menyahut. Bahkan setelah berkali-kali kamu mengetuk pintu, tetap tidak ada yang keluar atau sekadar menyahut dari dalam.

KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang