Asavella 🍁61

Começar do início
                                    

“Jadi ... gue jahat di cerita gue sendiri?” Asavella menaikkan satu alis kiri dengan kepala sedikit ia miringkan ke kanan.

“Tergantung cara kita memandang tokoh tersebut dari sisi mana. Karena semua yang terlibat di sini memiliki cerita tersendiri, Aca.”

“Dan satu lagi … lo bukanlah tokoh utama asli jika dibuat dalam suatu karya nantinya,” simpul Jysa dengan jari telunjuk yang mulai menulis rapi satu persatu huruf pada kaca jendela yang berembun hingga memunculkan tulisan dari nama seseorang.

“Dialah tokoh utama sebenarnya. Tanpa dia, kita berdua akan mati.” Jysa menunjuk nama ‘YUGA’ yang di mana membuat Asavella kebingungan.

“Gue gapaham. Kenapa kita mati?”

Jysa tersenyum tipis. “Karena dua rahasia terbesar dipegang oleh gue, dia dan satu orang yang gue rasa dekat dengan lo.”

"Siapa?"

Jysa mengedikkan kedua bahu. "Entah, aku tidak ingin memberitahu sekarang. Tunggu waktu yang tepat, maybe."

Asa semakin tidak mengerti. Ini antara otak dia yang sudah mati atau ucapan Jysa yang terlalu berat.

Jysa menepuk pundak Asavella. “Lupakan omongan gue, dan perihal Yuga ….” Gadis itu menjeda menghapus barisan susunan dari empat huruf hilang.

“Gue memang cinta pertama dia tapi … lo adalah kisah cinta terakhirnya yang tidak ingin ia akhiri.”

Usai mengatakan itu Jysa menarik napas begitu panjang dan membuang perlahan melalui mulut. Menetralkan diri untuk tidak menjatuhkan setetes pun air mata.

“Di masa lalu, dia punya gue dan di masa kini hingga yang akan datang laki-laki itu akan hanya ingin lo abadi bersamanya.” Jysa menepuk pundak Asavella begitu pelan untuk kedua kali.

Asavella menatap kosong. Ia berkedip satu kali dan kemudian berkata. “Sebaik apapun cara berpamitan, perpisahan tetap menyakitkan.”

Jysa membuang napas berat—meraih kedua pundak sang saudari dan membuat gadis itu berdiri. Jysa kali ini menatap lusuhnya dress putih yang dipakai dua hari lalu hingga kini belum ia ganti. Rambut yang begitu berantakan, hingga netra yang menjelaskan ia sudah lelah dengan keadaan.

“lo ... mencintainya?” tanya hati-hati Jysa. Menguatkan sekuat tenaga untuk berani bertanya merotasikan bola matanya pada Asavella.

“Gue membencinya.”

"Aca ...."

“Percayalah, dengan adanya cinta kita bisa saling percaya,” nasehat Jysa yang berpegang teguh untuk membuat sang saudari mengakui jika ia juga mencintai Yuga Claudius Permana.

Asavella menatap datar. “Oh, ya? Jika cintalah yang membuat kita saling percaya. Kenapa kebungkamannya untuk menutup seluruh kebohongan menjadi senjata paling mematikan daripada pembunuhan? Lalu, di mana letak kejujuran dan kepercayaan dari cinta tersebut?”

“Bahkan, orang yang paling  gue cintai dan gue percaya tidak akan berani membunuh secara psikis maupun batin, tapi lihat, ternyata orang yang paling gue percaya mengkhianati gue.” Air mata Asavella menetes hanya satu di sisi pipi kiri. Gigi geraham saling bertaut mengeras menahan senggukan.

Tangan Jysa meraih kedua tangan Asavella lalu menggenggam erat. “Lo harus tahu, dia cinta lo, Aca.”

“Mencintai, ya? Mencintai dan merelakan orang lama pergi dengan memikul rasa sakit hati?” sela Asavella pelan dengan sesenggukan tanpa air mata yang tidak keluar kembali. “Bagaimana bisa ada laki-laki dengan tempurung tanpa otak itu melakukan hal bodoh?”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora