45. Ritual Billy

Mulai dari awal
                                    

"Di mana dan kapan?" tanya Wina ke Billy.

Lelaki beranak tiga itu mengedipkan mata. "Nanti kuatur. Selama modal lancar, semua beres!"

"Ah, dasar dukun mata duitan!"

"Loh, uang itu bukan buatku, tapi buat kalian. Ritual gaib itu harus memakai sarana dan prasarana. Semua membutuhkan biaya. Siapa yang akan memakai? Kalian, kan?"

"Jangan mahal!" pinta Wina lagi. Ia menoleh ke Jata, lalu memasang wajah memelas. "Aku bokek."

Jata tak mau menanggapi. "Ini kan urusan berdua, ya dibagi dua, Win. Tapi sebelum dijalankan, aku minta perincian biaya dulu."

Wina berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. "Aku baru tahu kamu perhitungan banget!"

"Kalau nggak mau ya, udah. Batal!"

"Win, Jata bener, kok," ujar Billy sambil mencolek lengan Wina untuk memberi kode tersembunyi.

"Kalau mintanya aneh-aneh aku batal!" Jata berlalu meninggalkan kedua orang itu.

Baik Jata, Wina, maupun Billy tidak tahu ada sepasang mata lain mengawasi mereka dengan tatapan tajam. Bersamaan dengan kepergian Jata, orang itu pun diam-diam menyingkir dari kerumunan, lalu menghilang di belokan jalan.

Wina dan Billy saling pandang.

"Sabar, Win."

"Iya, aku sabar, kok."

"Dia baik, kok. Bapaknya tajir, loh."

Wina langsung menatap Billy dengan kening berkerut dan tatapan tidak terima. "Hubungannya apa, ya?"

"Masa masih nanya? Tajiran dia dari Dedi, kan?"

"Hubunganya apa!" Wina mulai sewot.

"Masa depanmu terjamin. Kamu masih kepingin balik ke dia, kan? Masih termimpi-mimpi?"

Wina melengos ditebak jitu begitu. Apa yang bisa disembunyikan dari seorang paranormal?

"Aku tadi cuma mengganggu dia aja. Nggak serius mau merebut. Aku masih waras, kok. Pelakor itu nggak berbudi banget."

"Syukurlah."

"Bil, apa hasil ritual itu?"

"Kalau belenggunya hilang, ada dua kemungkinan. Kalian akan rukun lagi dengan pasangan masing-masing. Tapi anak sulung kalian akan menjadi tumbal, meninggal atau lahir cacat."

"Atau?"

"Atau kalian menikah...." Billy terdiam.

"Menikah tapi?"

"Tapi setelah mengakibatkan pasangan masing-masing meninggal dunia."

Wina mendelik seketika. "Kamu ... kamu tega banget! Aku nggak mau!"

"Memang begitu aturan dunia gaib. Ada rupa, ada harga. Pikirkan lagi masa depanmu. Terjebak dalam pernikahan dengan orang yang salah itu bakal menyiksamu seumur hidup."

"Aku nggak mau suami atau anakku meninggal. Batal aja ritualnya!"

"Boleh. Asal kalian siap mati muda."

"Hah?"

"Aku serius! Sudah kuingatkan berkali-kali sejak dulu. Biar mangkir ke sana ke mari, ujung-ujungnya kamu harus kembali ke Jata juga. Coba kamu pikir, apa yang kamu dapat setelah ninggalin dia? Cuma kesialan, kan?"

☆☆☆

Asrul mengetuk pintu rumah Jata dengan menenteng buah durian. Seraut wajah ayu muncul dari balik pintu. Senyum merekah di bibir kemerahan itu membuat napas Asrul tersekat sejenak.

"Kakak? Ayo masuk," sambut Puput dengan ramah.

"Suamimu mana?"

"Belum pulang. Kakak nggak ketemu dia?"

"Kami kan beda divisi. Dia mengurus power house, aku mengurus fisik bendungan dan lingkungan."

"Kakak nggak masuk dulu?"

"Nggak usah. Aku cuma mau mengantar ini." Tiga butir durian yang terikat menjadi satu berpindah tangan.

Mata Puput melebar. "Aku suka banget durian."

"Dicobain, ya. Durian sini enak, loh. Apalagi yang baru dipetik begini."

Asrul ingin berbalik untuk pulang. Namun sepasang mata bening dengan bulu mata lentik itu membuatnya tertegun. Istri Jata ini sungguh cantik.

"Kamu kerasan di sini?" tanya Asrul dengan nada yang dalam. Suasana rumah itu begitu dingin, membuatnya merasa aneh. Dingin namun menggairahkan.

"Kerasan, Kak." jawab Puput. Sepasang pipi bulat dan mata jenaka milik Asrul membuat hatinya riang lebih dari biasa. Apalagi Asrul pintar bercerita. Suasana selalu cerah setiap pemuda itu berkunjung.

"Di sini dingin, ya?" Entah mengapa, Asrul ingin memperpanjang pembicaraan.

"Masa, sih? Sejuk kali," seloroh Puput. Ia belum rela ditinggal cepat-cepat. "Mau kubuatkan kopi, Kak?"

Asrul berpikir sejenak. Mereka hanya berdua di situ. Apa kata Jata bila menemukan mereka berduaan di rumahnya? "Makasih, aku harus pulang."

Asrul meninggalkan rumah itu. Saat sepeda motornya melewati gerbang, ia menoleh sejenak ke teras. Puput masih berdiri di sana, tersenyum dan melambai.

Asrul mengelus dada yang dengan kurang ajarnya bergemuruh keras.

Jata, Jata. Istrimu cantik dan baik. Kenapa kausia-siakan?


☆-Bersambung-☆

Komen, pleaseee ....

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang