HARAP YANG TERHEMPAS

892 96 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



"Kenapa anak itu bisa muncul di hadapan aku, Ran? Dia juga tahu di mana rumah kita. Jangan-jangan kamu selama ini berhubungan dengan anak itu, iya?!" lantang Wijaya membuat Rani semakin tersudut.

"Bukan, Jay. Aku nggak tau apa-apa tentang anak itu! Dia muncul di hadapan aku cuma sekali pas dia muncul secara tiba-tiba di depan kantorku. Apa tadi kamu bilang? Aku diam-diam berhubungan dengan anak itu? Jaya, aku bahkan nggak sudi waktu mengandung dia! Kamu kayak nggak tau kalau dia adalah luka terbesar aku! Mudah ya kamu nyalahin aku! Aku nggak tau apa-apa kenapa dia bisa sampai di sini! AKU NGGAK TAU!"

Rani menangis tersedu-sedu usai mengeluarkan unek-uneknya. Rasa sakit itu kembali muncul. Rasa penyesalan yang telah terkubur kini perlahan merangkak ke atas kehidupannya yang sudah tenang. Rani kembali dipaksa mengingat dosa itu.

"Terus gimana aku menghadapi dia? Kamu liat tampang dia! Persis seperti Syaputra. Sifatnya pasti menurun ke dia. Nggak mungkin dia pulang sebelum mendapat apa yang dia mau! Aku nggak mau tau, sekarang juga kamu keluar temui dia!"

"Nggak! Aku nggak mau liat muka dia! Aku nggak mau liat dosa itu lagi!"

Wijaya menatap sangar Rani yang tertunduk. Keributan yang dilakukan Wijaya memicu rasa penasaran Rukan dan Alkan yang tadinya sibuk dengan dunianya di ruang tengah.

Alkan dan Rukan mematung tak jauh dari Wijaya dan Rani berada. Mereka mendengar perdebatan itu. Wijaya sedikit melirik ke belakang, ia tahu anak-anaknya mendengar hal itu. Wijaya mendengkus kasar, ia meninggalkan dapur melewati Alkan dan Rukan.

Rukan berjalan mendekati Rani, disusul oleh Alkan. Rani tak berani menatap anak-anaknya, ia sibuk menyeka air mata yang terus mengalir.

"Mah, itu benar? Apa yang kami denger itu benar?" tanya Rukan datar.

Rani menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak mampu menyahut pertanyaan yang dilemparkan oleh anak tengahnya.

Rukan terkekeh sinis. "Oh, jadi ini penjelasan yang waktu itu? Pantes Mamah nggak mau cerita. Dosa ternyata."

"Bang! Apaan sih loh. Bukan waktunya buat lo ngomong kayak gitu. Kita nggak tau apa alasan Mamah," tegur Alkan mendekati Rani dan mengusap bahunya.

"Sekarang lo bisa ngomong kayak gitu. Ntar kalau anak haram itu gabung sama kita, baru tau rasa lo!"

"Apaan gabung sama kita. Nggak ada! Mamah sama Papah juga nggak bakal izinin. Iya 'kan, Mah?" Alkan menengok wajah Rani menunggu persetujuan.

Rani beranjak dari duduknya, matanya sangat sembab dengan pipi penuh air mata.

"Tolong kamu usir orang yang ada di luar," ucap Rani sebelum melangkah pergi.

Di luar rumah, Galan masih berdiri di depan pintu. Wajahnya tegas seolah-olah mentalnya sangat kuat. Tak akan ada yang membantahnya hari ini.

"Nyari siapa?""

Galan menoleh ke belakang, ia mendapati sosok pria berkulit putih dan badan yang kekar. Namun, raut wajahnya terlihat sangat dingin tanpa ekspresi.

"Mama gue, Bu Rani," sahut Galan acuh.

Pria itu mengernyit keningnya, ia menatap punggung Galan yang kembali menghadap pintu.

"Kayaknya lo salah alamat. Bu Rani yang tinggal di sini, nyokap gue sama adek-adek gue."

"Berarti gue juga adek lo."

Galan terseret ke belakang secara tiba-tiba. Galan terbelalak kaget, ternyata pria putih itu yang menarik bagian baju belakangnya hanya dengan satu tangan.

"Heh! Jangan mentang-mentang badan gede ya, pakek jinjing gue. Gini-gini bela diri gue nggak bisa diremehin!" lontar Galan dengan tatapan garang.

Pria putih itu adalah Dekana. Putra sulung Wijaya itu masih mempertahankan raut datarnya membalas tatapan menusuk Galan.

"Satu menit, kalahin gue."

"Oke. Jangan nangis lo," sahut Galan terkekeh sinis. Ia memasang kuda-kuda.

"Serang gue," ucap Dekan.

Galan menyerang Dekan. Galan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melayangkan pukulan pertama. Namun apa yang terjadi? Dengan mudah Dekan menahan kepalan tangan Galan dengan satu tangan. Galan membulatkan matanya melihat kepalan tangan yang ia layangkan malah ada dalam raupan telapak tangan kekar Dekan. Lalu dengan sekali dorongan, Galan otomatis mundur beberapa langkah.

"Pergi. Jangan ganggu keluarga gue," ucap Dekan dingin. Ia menendang ransel besar milik Galan sekali.

Galan yang merasa harga dirinya sebagai si paling jago bela diri berusaha bersikap cool walau kalah telak. Ia kembali mengedepankan tekad bulatnya untuk tetap bertahan.

"Gue nggak bakal pergi, sebab mulai hari ini, gue tinggal di sini bareng Mama gue," tegas Galan.

Pintu rumah terbuka, Alkan muncul dengan Rukan di belakangnya. Mereka berdua terheran-heran melihat satu sama lain.

"Usir dia," ucap Dekan sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Tak peduli lagi apa yang terjadi setelahnya.

"Lo siapa sih? Datang-datang ngaku anak Mamah kita. Lo pasien rawat jalan atau gimana?" tanya Alkan menatap remeh Galan. Tentu rahang Galan menegas mendengarnya.

Rukan menarik bahu Alkan ke belakang, menggantikan posisi Alkan yang tadinya berhadapan langsung dengan Galan.

"Gue udah bilang kemarin sama lo. Mending lo pergi deh. Di sini nggak ada yang mau percaya sama pengakuan lo itu," kata Rukan menatap santai Galan.

"Gue juga udah bilang dari kemarin, kalau gue anak Bu Rani. Gue mau tinggal bareng Mama gue. Jelaskan? Kenapa pada sok nggak terima sih kalian. Gue yakin pasti Mama cerita tentang gue sama suaminya yang keluar tadi? Kalian nggak denger? Pasti kalian udah denger 'kan?"

Rukan tiba-tiba maju dan mencengkram kerah baju Galan. Galan repleks memegang kepalan tangan Rukan pada bajunya.

"Lepasin bego!"

"Lo yang bego! Kalo gila ke RSJ, bukan ke rumah gue! Nggak ada yang mau ngerawat lu di sini!"

"Ada! Mama gue yang bakal ngerawat gue dari sekarang. Lo bilang gue gila, kan? Iya! Gue gila. Gila mau disayang sama Mama. Jadi sebelum orang gila ini teriak sampai tetangga pada keluar, mending lo lepasin tangan bau lo dari baju gue. Mahal soalnya."

Rukan murka, ia melayangkan satu tinjuannya tepat mengenai mata Galan. Anak itu mengerang keras sambil memegangi matanya yang ngilu.

"Arrgghh! Sshhh sialan lo!"

Galan ingin membalas, tetapi urung begitu Rani keluar dari pintu. Galan membeku dengan kepalan tangan yang menggantung di udara. Perlahan ia menurunkan tangannya, menatap sayu Rani yang berwajah sembab.

"Mama—"

"Pergi kamu. Saya nggak kenal siapa kamu," ucap Rani dingin.

Pertahanan Galan hampir runtuh mendengar ucapan Rani yang memotong ucapannya. Harusnya Galan sudah siap mental dengan itu, ia sudah membayangkan kata-kata yang lebih menyakitkan sebelum sampai di tempat ini. Tetapi tetap saja, hatinya berdenyut ketika harapnya dihempas dengan ucapan kasar Rani.

Apa Galan akan menyerah begitu saja? Sejenak senyap menyapa, Alkan dan Rukan masih menjadi saksi bisu. Rani masih mencoba menguatkan hati dan pikirannya. Sedangkan Galan, menahan semua yang membuncang jiwanya.

📆Kamis, 02 Maret 2023

 GALAN STORY [COMPLETED]Where stories live. Discover now