13. Sebuah Apresiasi

531 61 3
                                    

Menjadi nomor satu di segala mata pelajaran sebenarnya bukan hal yang menjadi tujuan Rei

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadi nomor satu di segala mata pelajaran sebenarnya bukan hal yang menjadi tujuan Rei. Namun, ada sebuah keinginan di balik tujuan itu. Yaitu perhatian sang ibu. Dengan menuruti semua yang ibunya ucapkan, Rei akan mendapatkan perhatian yang selalu diimpikan. Dan pada akhirnya, dia hanyalah anak yang haus akan kasih sayang.

Hingga detik ini, Rei tak mengerti. Mengapa ibunya sangat bersikeras agar dia selalu menjadi lebih unggul. Untuk membuat Samuel di pihaknya, atau untuk menyingkirkan posisi Theo? Namun, mau ditilik dari sudut pandang mana pun, Theo tetap akan menjadi pewaris, ‘kan? Meski Samuel sering memperlakukan Theo seperti sampah, pria itu tetap memiliki batasan dan kesadaran bahwa di antara dua putranya, hanya Theo yang pantas menjadi penerusnya.

Lagipula jika itu soal harta, ibunya juga tak kalah kaya. Meski perusahaan yang dijalankan tak sebesar milik Samuel, kekayaan Celine cukup untuk menghidupi mereka berdua sampai tua. Lantas, sebenarnya apa yang membuat bidadarinya itu begitu terobsesi dengan keunggulan?

“Mau ke kantin nggak?” Suara berat Calvin mengusik Rei. Pemuda dengan wajah datar itu sadar jika Rei terlalu tenggelam dalam lamunan.

Rei menempelkan kepalanya ke atas meja dan menatap Calvin ogah-ogahan. “Mager,” sahutnya.

“Tapi dari pagi tadi lo belum makan apa-apa. Lagian lumayan kalo ke kantin bisa ketemu adek kelas. Siapa tahu ada yang lo suka,” timpal Calvin yang berusaha untuk menarik minat Rei dengan topik yang biasanya cowok itu suka.

Benar saja, tepat setelah mendengar kata itu, punggung Rei kembali tegak. Rautnya jadi sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya.

“Ide bagus! Gue nggak boleh menyia-nyiakan ketampanan ini,” ucapnya kemudian berdiri dan berjalan keluar kelas. Meninggalkan sosok Calvin yang kini tersenyum tipis setelah berhasil memperbaiki suasana hati sang kawan.

Minggu kedua di awal kelas sebelas bagi Rei bukan hal spesial. Kecuali mendapat pujian dari sang ibu karena berhasil menduduki peringkat teratas di angkatan, Rei merasa semua biasa saja. Keinginannya masih sama, yaitu memperbaiki hubungannya dengan Theo dan keluarga harmonis seperti yang pernah ia lihat.

“Lo masih mau ikut voli?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh Calvin ketika keduanya tengah menyantap sepiring siomay dengan jus jeruk sebagai pelengkap.

Mendengarnya, Rei menjawab dengan penuh keyakinan, “Jelaslah, gue udah konsisten latihan dari SMP dulu karena emang suka voli. Ngapain masih tanya?”

“Apa itu pertanyaan dari Mama?” lanjutnya, kali ini dengan sebelah alis terangkat.

Tak ingin menyembunyikan fakta, Calvin akhirnya mengangguk. “Iya, Tante pengin lo lepas dari semua aktivitas ekstrakurikuler dan fokus belajar. Dan gue disuruh buat ngebujuk lo berhenti dari voli,” paparnya.

“Nggak,” tegas Rei, “gue udah turutin kemauan Mama buat dapet peringkat pertama. Kenapa gue harus tetep keluar dari klub? Lagian cuma olahraga itu satu-satunya hiburan yang bikin gue kecapekan sampai lupa sama masalah,” lanjutnya.

Dia memang selalu berusaha untuk menurut, tetapi untuk hal ini Rei benar-benar tidak mau melepasnya. Meski tak ada alasan kuat selain hanya menyukai olahraga ini, Rei tidak ingin berhenti bermain voli hingga hari kelulusan nanti.

“Habis itu disuruh apa lagi?” Lagi, ia bertanya untuk memastikan jika tak ada lagi sesuatu yang Calvin sembunyikan darinya.

Si lawan bicara menggeleng pelan. “Nggak ada.”

“Sip, kalo gitu hari ini gue mau cari pujaan hati dulu. Jangan diganggu, dan jangan lapor-lapor. Paham?” pungkas Rei kemudian melanjutkan santapannya yang tertunda.

Kalimat itu hanya dijawab anggukan patuh dari Calvin. Tak ada protes atau keluhan yang bocah itu layangkan, justru hal seperti jauh lebih baik daripada ia harus melihat mendung yang setiap saat menyelimuti wajah Rei.


🍬🍬🍬

“Rei mau hadiah apa? Berhubung kamu berhasil jadi peringkat satu, mungkin Papa bisa kasih sedikit hadiah yang bisa buat kamu semakin semangat belajar,” celetuk pria yang kini hanya mengenakan stelan kasual dan tengah duduk dan menikmati makanannya.

“Hah?” Gerakan tangan Rei untuk menyuap makanan ke dalam mulutnya terhenti tepat setelah Samuel mengatakan hal itu.

Meja makan kali ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Karena semua orang berkumpul untuk makan malam bersama. Bahkan Samuel yang biasanya selalu berkutat di ruang kerjanya meski ada di rumah kini ikut duduk di bangkunya.

“A–aku nggak butuh hadiah apa-apa, Pa. Lagian belajar dan dapet nilai bagus ‘kan udah kewajibanku sebagai pelajar,” sahut Rei. Ekor matanya melirik Theo, tetapi sosok itu tampak tak peduli dengan ucapan Samuel dan memilih untuk fokus pada makanannya.

Di antara semua waktu, mengapa Samuel justru mengatakannya sekarang? Bukankah itu sama saja secara terang-terangan mengungkapkan sikap pilih kasih di depan anaknya sendiri?  Sudut hati Rei tiba-tiba merasa nyeri saat membayangkan bagaimana jika ia di posisi Theo.

“Kenapa? Ini bentuk apresiasi Papa buat kamu karena sudah belajar begitu keras selama satu tahun kemarin,” tukas Samuel masih bersikeras.

Bibir Rei baru saja terbuka untuk melontarkan balasan. Namun, Celine lebih dulu menyelanya.

“Mungkin belum ada yang Rei mau, Pa. Nanti kalau ada yang dia mau, biar minta ke Mama aja.”

Samuel terkekeh mendengar ucapan sang istri. “Dari dulu kamu nggak pernah berubah, Rei.”

And, Theo. What do you want this time?” Pria itu beralih fokus pada si sulung yang hampir menghabiskan makan malamnya di saat percakapan hangat itu berlangsung.

“Nggak ada,” jawabnya tak acuh.

Moreover, there’s nothing I’ve done to get a gift from you. Except for being the last one in class rankings can make you proud of me, then I’ll ask a gift as a reward,” lanjut remaja itu masih dengan raut datarnya.

Sejenak hening menguasai tepat setelah Theo mengutamakan jawabannya. Bahkan Samuel yang biasanya selalu terpancing dengan kalimat-kalimat Theo kini tak bisa melempar balasan. Seolah pria itu sadar jika dia telah salah  langkah dalam memulai percakapan.

“A–aku udah selesai makan, mau ke kamar duluan. Ada banyak PR yang numpuk.” Rei menjadi yang pertama memecah kesunyian yang nyaris berkuasa.

Tanpa menunggu izin ataupun jawaban, bocah itu lebih dulu melesat meninggalkan meja. Menyisakan tiga orang yang kini semakin dilanda bisu. Namun, tak lama kemudian, Theo juga turut meninggalkan ruangan itu. Tanpa berkata apa-apa, dan tanpa peduli dengan segala respons yang akan diterima. Karena sejak awal, Theo tidak pernah menaruh harap apa pun pada dua sosok di depannya.

–STRUGGLE


Enjoy dan jangan lupa follow IM_Vha yaww. See you next part~

Salam

Vha

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang