31 | reminisce part 2

Start from the beginning
                                    

"Ck." Ogah-ogahan, Mail berdiri. Meraba-raba kolong kursi dengan kaki untuk menemukan sebelah sandalnya yang hilang.

Ketika kemudian pintu dia buka, keningnya makin mengerut mendapati Bimo, Ehsan, dan Zane berdiri di hadapan. Masing-masing pakai celana pendek dan sandal jepit. Bimo dengan kaos lengan pendek, Ehsan dengan kemeja pantai, Zane pakai kutang doang.

Ini ... masih Kamis, kan ya?

"Oscar ngasih tau kita kalau lo ada di sini." Zane yang ngomong mewakili kedua temannya yang lain. "Boleh numpang nggak? Kalo enggak, kita sanggup check in di Apurva sekarang sih."

Cih. Mau numpang aja sombong?? Terpaksa Mail menguakkan daun pintu lebih lebar, membiarkan tiga tamu tak diundang itu masuk.

"Kok bisa barengan ke sini? Udah pada dipecat dari kerjaan masing-masing?" Mail nanya tanpa mempersilakan duduk, karena nggak perlu. Tamunya sudah duluan menganggap tempat tersebut sebagai villa sendiri.

Lagi-lagi Zane yang bersuara, sementara Bimo langsung ke kamar mandi dan Ehsan meletakkan tasnya di kursi tamu. "Bimo baru resign. Gue ada project di sini. Kalo Ehsan ... kayaknya sih emang dipecat."

"Anjir, enggak lah." Ehsan senewen. "Gue ada project juga, bahlul." Dia lalu duduk di tempat duduk terdekat. Membentangkan kedua lengannya di sandaran punggung kiri-kanan, memperhatikan sekeliling. "Ni kursi anyaman awet banget dari zaman Sabrina masih belia."

"Nggak kena hujan-panas, ya awet, lah." Zane menjawab sambil ngeloyor ke dapur, mencari-cari minum.

Malah Mail yang jadi salfok. "Emang lo pernah ke sini?" tanyanya ke Ehsan.

Pasalnya, sepuluh tahun lalu, dia tinggal di villa ini hanya dengan Agus, Bimo, Iis, dan Zane yang sama-sama mengambil magang di Bali. Plus Sabrina yang saat itu jadi pacar Bimo dan ngintil ke mana-mana di lengan Bimo kayak anak koala. Sementara Ehsan, nggak tahu magang di mana. Mail lupa.

Ehsan berdecak, "Yang jemput pas lo sekarat, siapa? Emaknya Agus, bener. Tapi emaknya Agus jadi dompet berjalan doang. Yang jadi pesuruhnya siapa? Gue sama Linggar, anjir!"

Asyem, Mail nggak ingat. Nggak mau mengingat-ingat juga. Terlalu menyakitkan dan memalukan.

"Lagian, di antara ribuan villa di Canggu, kenapa mesti ke sini lagi deh? Walking down memory lane?"

"Oscar yang mesen, gue terima beres."

"Yakin?"

Sebelum Mail menjawab, Zane menyahut duluan, "Udah mau married, nostalgia-nostalgia segala, emang nyawa ada berapa?"

"Nggak jadi married dia." Ehsan berdecih. "Lo nggak tau, Bude Hari bela-belain berhenti kerja, nyusulin anaknya ke depok, demi jagain tuh anak dari buaya rawa ini?"

"Oh, gitu? Kirain berhenti kerja buat ngurus nikahan si kunyuk."

"Mimpi aje."

Astaghfirullah. Mail mau protes, tapi omongan mereka berdua bener semua. Jadilah dia cuma bisa tersenyum getir, merelakan dirinya jadi bulan-bulanan selama beberapa saat, sampai kemudian Zane menemukan Gunner—yang anteng banget rebahan di lounge teras belakang—serta muka Andrea di layar ponsel Mail di meja.

"Lah, Emang nggak ada gunanya ngawatirin buaya. Lepas satu, udah ada mangsa lain." Cowok itu ngoceh ke Ehsan.

Mail mendesah lelah. "Temen doang, cuy. Dia juga nelpon anjingnya, bukan nelpon gue."

Tapi, jelas nggak ada yang percaya.


~

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now