33

1K 204 57
                                    

Junghwan diam terpaku melihat Tejo yang mendekatinya dengan sebuah palu di genggamannya. Entah apa yang ada di pikiran Junghwan hingga dia tak berkedip sama sekali menatap Tejo yang semakin dekat dengannya.

Matanya menyorot penuh kebencian, tangannya mempererat gagang palu seakan siap memukulnya bila sewaktu-waktu Junghwan sedang lengah. Tejo sudah tidak peduli dengan ritualnya lagi, dia ingin membunuh mereka semua yang sudah mengacaukan rencananya.

Junghwan berpikir, apakah ini saatnya dia mati dengan cara merelakan dirinya kepada Tejo seperti yang dia katakan pada Jeongwoo bahwa ia ingin mati bunuh diri. Akan tetapi, perkataan Jeongwoo beberapa menit yang lalu mulai terbesit dalam benaknya.

Tubuhnya mulai bergetar, ia sudah mengambil keputusan yang salah. Apa yang dikatakan Jeongwoo benar, bunuh diri mati paling konyol dan orang tuanya akan membencinya jika mengetahui anak yang mereka tunggu kepulangannya justru lebih memilih mati bunuh diri.

Tiba-tiba mata Junghwan tertuju pada sebuah kalung di leher Tejo. Saatnya dia berjuang untuk menyelamatkan teman-temannya.

“Kenapa gak kabur?” Tejo tertawa sampai darah di mulutnya muncrat begitu melihat Junghwan masih berdiri di tempatnya, tidak seperti sebelumnya yang terus menghindar.

“Gue nyerah,” jawab Junghwan, matanya tetap fokus ke arah kalung yang dipakai Tejo.

Tentu saja Tejo senang mendengar jawabannya, dia tidak perlu lagi meminta bantuan makhluk-makhluk untuk mengganggu mereka dan Tejo tidak perlu menyeret paksa Junghwan seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Tangannya mengangkat palu hendak memukul kepala Junghwan. Namun, sebelum Tejo memukulnya Junghwan lebih dulu menendang kakinya dan mengambil alih palu tersebut. Gerakannya begitu cepat sampai Tejo geram dibuatnya.

Kemudian Tejo tertawa, ia tahu pemuda di depannya ini sedang mempermainkan nya. Maka ketika Junghwan berhasil merebut palunya, Tejo segera mengeluarkan gunting di balik bajunya dan mengarahkan benda itu ke arah wajah Junghwan.

Junghwan berhasil menghindar meskipun pipi kirinya tergores gunting. Junghwan kembali melayangkan pukulan di wajah Tejo. Tenaganya seolah tidak pernah habis padahal kondisinya sudah jauh dari kata baik. Mulutnya tidak berhenti mengumpat, membayangkan dia yang sudah melukai teman-temannya membuat Junghwan semakin memukuli Tejo dengan brutal.

Tejo menendang Junghwan dan membalikan posisi sehingga Junghwan telentang dan Tejo menginjak dadanya dan menekannya. Tejo menendang palu di tangan Junghwan dan meraih gunting yang terlempar tak jauh darinya.

Diarahkan nya ujung gunting itu dari paha sampai ke lutut sehingga menimbulkan luka panjang dan dalam. Sebisa mungkin Junghwan tahan untuk tidak mengeluarkan suara karena akan membuat Tejo senang melihat dirinya kesakitan.

Geram dengan Junghwan yang hanya terdiam dengan wajah datar, Tejo berusaha berdiri dan hendak memberinya pukulan namun Junghwan yang dapat membaca gerakannya sontak berdiri lalu menahan pergelangan tangannya serta menyikut wajahnya.

“Teman-teman gue masih berbaik hati cuma bikin lo luka, tapi gue bukan mereka, gue gak sudi ngeliat lo masih hidup,” ucap Junghwan sambil menunjuk Tejo dengan wajah penuh amarah.

Tejo tertawa cukup keras, karena suasana begitu sepi ada kemungkinan orang-orang yang berada di lantai bawah dapat mendengar suaranya. Raut wajahnya berubah, dia yang semula tertawa kini menyunggingkan senyuman sinis.

“Meskipun aku mati perjanjian ini akan tetap ada, karena perjanjian yang kami lakukan bukan sekedar membebaskan dia dari tumbal. Aku sudah bersumpah jika aku mati, dia yang akan menjadi penerus,” ungkap Tejo.

Perkataannya membingungkan Junghwan, siapa yang sedang dibicarakan oleh Tejo. Kemudian Tejo kembali tertawa melihat raut wajah kebingungan nya. Bukannya memberi penjelasan Tejo malah melayangkan pukulan ke rahang Junghwan.

Geist | TreasureWhere stories live. Discover now