8️⃣ Bermakna Lamaran

4.2K 564 92
                                    

Orangnya sedang mengurus pekerjaan ke luar negeri. Tak tau pekerjaan apa, itu bukan urusan karyawan di bagian divisi kerumahtanggan. Yang mereka tau hanyalah tetap harus menjalankan jadwal pekerjaan di kediamannya. Tapi setidaknya, sedikit bisa bernapas lega karena di sana hanya ada manusia setengah patung yang berjaga. Terutama bagi Alisya, sementara teman-temannya yang lain tak ada bedanya mau Renan ke luar negeri atau tidak.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Alisya termenung sendiri di dapur yang berada di tengah ruangan itu. Pikirannya melayang ke kejadian seminggu yang lalu dimana Renan kembali melayangkan perintah setannya.

"Tinggal lah disini bersama Bryan!"

"Dan berhentilah bekerja!"

Alisya mendengus geli bercampur kesal. Apakah Renan tidak tau jika seorang wanita mendengar pertanyaan seperti itu, bisa-bisa tingkat overthinking nya berkali lipat lebih tajam. Mungkin bagi Renan itu hanya sebuah perintah biasa, tapi bagi wanita bisa saja pertanyaan itu bermakna lamaran.

Akan tetapi, itu bagi wanita-wanita lain. Tidak sama sekali bagi Alisya—meskipun sempat terlintas. Bagi Alisya, itu hanya sebuah omong kosong dari seorang Renan karena masih penasaran bahwa Bryan adalah anaknya.

Bagi Alisya, dua pertanyaan itu masih mengandung pertanyaan lain. Jika mereka tinggal di apartemen itu, secara gratis atau sewa? Kalau sewa tentu saja Alisya akan menolaknya, gratispun juga tetap akan menolak. Lalu, jika dia berhenti bekerja dari kantor, dia harus jadi pembantunya atau apa? Siapa yang akan menanggung biaya hidupnya dan Bryan? Makannya bagaimana? Sekolah Bryan? Cicilan motor?

Dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah dia ajukan karena memang sangat tidak ingin mematuhi permintaan Renan.

Alisya kemudian menggeleng sendiri, merasa bodoh karena harus memikirkan hal tidak penting itu. Dia berdiri untuk mengambil tas. Langkahnya riang karena lagi-lagi bisa menjemput Bryan lebih awal tanpa ada gangguan setan.

Namun, langkahnya sedikit tertahan saat mendengar lift berdenting tanda ada orang yang sedang menggunakannya. Karena lift itu adalah lift pribadi, maka sudah bisa dipastikan yang sedang berada di dalamnya adalah pemilik unit ini. Was-was sekali dia, karena tak berharap jika Renan akan pulang dan akhirnya merepotkannya lagi.

Napasnya melega, tapi berganti dengan rasa terkejut yang luar biasa saat pintu lift terbuka dan yang keluar dari sana adalah dua orang wanita. Satu wanita yang usianya mungkin sudah masuk lima puluh, dan yang satu terlihat jauh lebih muda, berjalan di belakangnya.

"Bu Hasmita." gumam Alisya menyebut nama wanita yang baru saja masuk.

"Loh." Hasmita sama terkejutnya. "Alisya kok ada di sini?"

Alisya mengangguk dengan senyuman tipis sambil memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan istri Pak Tio ini, yang tak lain adalah ibunda dari Renan.

Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar tanda panggilan masuk dari nomor baru. Ketika panggilan itu mati, berganti dengan pesan yang bertubi-tubi masuk ke nomor Alisya.

Angkat! Ini nomorku.

Pesan pertama. Alisya tak membalasnya. Nomorku itu nomor siapa?

Renan.

Ada pesan yang kembali masuk dan membuat Alisya mengerutkan kening. Tidak salah dugaannya tadi.

Angkat sebentar!

Berhadapan dengan orangnya langsung saja Alisya akan terus membantah perintahnya. Apalagi hanya sebuah pesan. Tentu dengan bangga hati ia akan mengabaikannya.

ALISYAWhere stories live. Discover now