29 | at the end of the day ...

Start from the beginning
                                    

Mungkin memang ini jalannya biar direstui calon mertua?

~

Mail mengecek kalender.

Ofc, setiap hari Senin tuh jadwalnya udah kayak businessman beneran. Weekly dan daily scrum di pagi hari, brainstorming-brainstorming-brainstorming, disusul agenda tidak kalah penting selepas makan siang. Dan kebetulan besok adalah jadwalnya ketemu dengan tax consultant.

Sebenarnya, jam kerja yang tersedia cukup-cukup saja untuk memenuhi target harian. Sayangnya, macet Jakarta bikin agak mustahil melakukan lebih dari satu kegiatan di luar kantor dalam satu hari.

"Oke, sebelum ke Depok besok pagi, aku anter ke dokter dulu, ya? Biar lebih pasti." Meski begitu, Mail yang punya nama tengah 'hustle' tetap berlagak punya banyak waktu—setelah sebelumnya mengabari Oscar bahwa dia akan melakukan meeting pagi secara daring.

Trinda mengiyakan meski aslinya belum siap. Minta resep pil KB saja sudah dipelototi seisi klinik, apalagi cek darah dan USG?

"Aku tanya Michelle dulu, dokter mana yang bisa didatengin tanpa appointment."

Mail mengangguk. Perlahan meraih tangan pacarnya dan menggenggamnya lembut. Mengenyahkan sensasi tidak familier yang muncul di dada sejak tadi. "Setelah dari dokter, baru dipikirin gimana ngasih tahu orang tua kamu."

Trinda tersenyum kecut. "Kayak orang tua Mas nggak bakal mempermasalahin aja."

Mail meringis karena diingatkan pada PR-nya yang lain. "Gampanglah itu."

"Bener?"

"Bener. Nggak usah dipikirin. It's my responsibility to get approval from our families. Tugas kamu sementara ini jaga kesehatan aja, sama yakinin diri sendiri bahwa in the end of the day, kita berdua nggak bakal bisa dipisahin."

Trinda yang sudah nggak mau mellow menjadi berkaca-kaca lagi mendengarnya.

Ugh. They both will be parents in ... nine months?

~

Malam-malam dihubungi Trinda, jelas saja Michelle heboh.

Bukan hanya mencarikan dokter untuk temannya, dia memutuskan untuk ikut serta, padahal nggak mungkin Senin paginya associate law firm terkemuka ini lebih gabut dibanding Mail.

"Mas, nanti aku masuknya sama Michelle aja ya? Mas bisa tunggu di Starbucks di lobby." Dalam perjalanan menuju RS yang dituju keesokan paginya, mendadak Trinda membuat permintaan.

Jelas aja Mail nggak ngerti jalan pikirannya. "Kok gitu?"

"Iyain aja, lah. Aku udah kena morning sickness nih, bayangin ngantre obgyn sama Mas. Nanti kalau ada yang liat gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Emang aku bapaknya."

"Hush." Merasa geli mendengar ucapan Mail itu, cepat-cepat Trinda membungkan mulut pacarnya dengan tangan. "Udah, Mas vicon aja sambil ngopi, fokus cari duit yang banyak biar lain kali bisa checkup rada jauhan, nggak di Jakarta."

"Kalau mau ke SG sekarang juga bisa."

"Nggak usah halu. Aku buru-buru mau ke Depok. Mas juga ntar siang ada agenda."

"Yaah ...." Mail lesu. Apa gunanya dia bela-belain mengantar kalau disuruh nunggu di lobby?

Tapi daripada Trinda mual-mual membayangkan ketemu dengan orang yang mereka berdua kenal di ruang tunggu obgyn, ya mending dia iyakan saja.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now