Sebuah Upaya Mengubah Takdir

213 52 29
                                    

"Kok dia masih berdiri di sana?" Suara Adri mengejutkan lamunanku.

"Apa?" Ketika aku menoleh, baru kusadari bahwa Adri juga tengah menatap ke arah spion di atas dashboard yang masih memantulkan bayangan Kaivan.

"Kalian memang janjian ketemu di pemakaman tadi? mau ziarah?" Adri kembali bertanya. Sosok Kaivan sudah menghilang ketika kami berbelok beberapa detik yang lalu.

Aku gegas menggeleng, "Oh, tidak, kok! Aku tidak sengaja ketemu Kaivan sama ibunya di pemakaman tadi. Kaivan mau ziarah ke kuburan ayahnya."

"Kalau kamu? Ziarah ke makam siapa?"

Aku terkesiap, tetapi sukurlah fokus Adri sedang berada di badan jalan sehingga tidak begitu memperhatikan perubahan ekspresi di wajahku.

"Ada kerabat yang dimakamkan di sana?"

Ada anakku yang akan dimakamkan di sana. Tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Sebaliknya, aku hanya diam tak menjawab. Tidak mungkin mengatakan kebenarannya, tetapi sekaligus merasa bersalah kepada Adri jika harus berbohong.

"Aku belum tahu di mana kamu tinggal," Kata Adri lagi, usai jeda yang cukup lama. Melupakan – atau sengaja melupakan – pertanyaannya yang tidak kunjung mendapatkan jawaban dariku.

"Sebenarnya, aku kos dekat kantor. Bisa jalan kaki malah," gumamku. Lalu aku merasakan guncangan yang cukup keras hingga bisa melontarkan tubuhku ke kaca mobil jika saja ketika itu aku tidak mengenakan seat belt. Adri baru saja menginjak rem mobil secara mendadak.

"Kita sudah berkendara jauh sekali kalau begitu." Adri menghadapkan tubuhnya ke arahku. "Kok kamu tidak bilang dari tadi?"

"Ah, maaf." Maaf karena tadi fokusku hanya untuk menghindari Kaivan. "Aku turun di sini saja, Dri. Nanti aku pesan taksi online dari sini." Aku sudah memegang gagang pintu mobil, siap untuk keluar ketika aku mendengar suara Adri.

"Gita, mana mungkin aku biarin kamu turun di tengah jalan begini? Laki – laki macam apa aku kalau sampai tega melakukan itu?" Adri menyela.

"Tidak apa – apa, Dri. Salahku juga karena tidak kasih tahu kamu. Aku tidak mau repotin kamu lagi."

"Aku tidak repot." Adri bersikeras dan aku merasakan mobilnya kembali melaju. "Aku juga ingin tahu di mana kamu tinggal."

"Kamu bisa tahu besok atau kapan – kapan. Kosku dekat banget sama kantor, kok," ucapku.

"Aku juga ingin lebih tahu orang seperti apa kamu."

"Hmm?" aku terkejut mendengar kalimat Adri yang baru saja dia ucapkan.

"Apa yang kamu lakukan ketika tidak sedang bekerja. Apa hal yang menarik untukmu. Apa musik kesukaanmu. Apa makanan kesukaanmu. Hobi kamu." Adri menatapku melalui kaca spion. Mata kami bertemu. "Masih ada banyak hal yang ingin aku tahu dari kamu, tetapi sepertinya perjalanan kali ini tidak akan cukup untuk menjawab semua itu."

Aku bisa merasakan wajahku menghangat. Mobil yang kami tumpangi kembali melewati taman pemakaman. Sudah tidak ada Kaivan di sana.

Aku tersenyum demi menutupi kecanggungan yang tengah melandaku. "Kenapa kamu jadi ingin tahu banyak hal tentangku?"

"Karena kamu menarik." Jawaban singkat itu tidak cukup bermakna untukku.

"Kamu berlebihan," elakku. "Aku ... rasanya aku biasa saja."

"Kamu selalu membicarakan tentang masa depan."

Seolah ada listrik yang baru saja menyengat. Sepertinya itu kata yang tepat untuk menggambarkan sensai yang kurasakan ketika mendengar ucapan Adri tadi. "Kamu nguping!?"

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang