19 | Ketua Kelas Misterius 2

2 0 0
                                    

Makanya gue bilang nggak usah wara-wiri jadi orang! Gimana kalo nanti papasan sama Areo di kelas? Bisa dimakan gue! Ley tak henti merutuk kelakuan tak tahu tempatnya barusan. Beruntung Pak Wawan lewat dan memanggil Areo, memberi Ley kesempatan buat kabur. Dia lari pontang-panting, membuat rambut keritingnya melambai-lambai, dengan wajah berkerut, kesal setengah mati pada diri sendiri.

Sejak hari itu, Ley menghindari kontak mata dengan Areo. Sama sekali tak memberi Areo kesempatan bicara. Pernah Reo memanggilnya sekali, tapi Ley pura-pura tak dengar, atau bersikap seakan anak-anak tengah memanggil sehingga dia bisa kabur. Mencipta tanda bingung di mata Areo. Padahal dia mau memberikan buku IPS yang sudah diparaf sama guru.

Hari Jumat pagi, gerbang baru setengah digeser sama Bapak Satpam waktu Ley berlari heboh menuju kelas. Dia berhenti di unduk tengah menuju lantai tiga. Wajahnya pucat, perut yang bergejolak dan perasaan tertonjok di lambung bikin Ley mau muntah. Ley memegang belakang lehernya yang panas sambil menatap horor anak tangga di atasnya. Sialan, gara-gara pertanyaan konyol itu, Ley mesti datang pagi buta di hari piket, demi tak bertemu Areo yang jadi pasangan bebersihnya. Lagian Areo itu rajin banget! Selalu saja sudah ada di kelas, menyapu lantai dekat jendela kala Ley datang. Secepat apa pun Ley berangkat.

Biasanya Ley hanya cengengesan dan merampas sapu yang lain, membiarkan ranselnya tergeletak di meja siswa lain. "Maaf, ya, gue susah bangun pagi soalnya. Nanti gue bilangin Mamak biar siram muka gue pakai air segayung tiap hari Jumat. Jadi ngerepotin." Itu kalimat yang sudah Ley hafal di luar kepala. Respon yang Areo beri bakal berupa senyum tipis, menjawab, "Nggak pa-pa, gue juga baru dateng kok," padahal setengah kelas sudah hampir kinclong berkatnya. Seharusnya pun hal ini terulang seperti semestinya. Ley tinggal mengucap maaf dan segera bekerja kalau keduluan Areo, tapi gara-gara sifat bar-barnya yang suka ikut campur urusan orang makin memperumit semuanya.

Wajah Ley mengkilat diterpa sinar matahari pukul enam pagi yang lolos masuk melewati jendela. Dadanya bergemuruh. Dia sudah berharap banyak Areo tidak bakal datang sebelum dia. Ekspresi semringah dicampur terengah itu pun tetap terpatri waktu dia sampai di depan pintu kelas. Namun, postur Areo yang tengah menyapu jaring laba-laba di langit-langit yang Ley temui.

Pundaknya merosot seketika.

"Oh? Lo dateng lebih cepet hari ini." Itu sapaan basa-basi.

Ley merasa kehidupannya ada di tangan Areo sekarang. Dia harus secepatnya menyelesaikan huru-hara ini.

"Duh, Yo, gue mau minta maaf, ya? Sebesar-besarnya. Maafin gue, please! Gue nggak sanggup lagi main kucing-kucingan begini." Cewek berkulit gelap itu menjatuhkan sikunya ke meja paling depan. Energinya terkuras habis. Kaki meja berkeriat kala bergesekan dengan tehel. Areo menurunkan sapu, memegangnya dengan sebelah tangan.

"Maksud lo?"

Si kampret, pura-pura nggak tahu lagi! Ley menahan emosinya yang ditekan oleh napas sesaknya karena kelamaan berlari. Dia meneguk saliva. "Pertanyaan gue waktu itu, yang kelewat kurang ajar, bilang kenapa lo hidup kayak gini, itu gue mau minta maaf. Beneran deh, gue bukannya naksir atau apa, atau jadi stalker karena merhatiin lo terlalu detail. Ini kepala gue yang berulah." Ley menunjuk pelipisnya dengan kelingking. "Gue nggak bisa memahami sebab di balik tingkah lo. Itu terlalu aneh buat mata gue, tapi nggak usah lo gubris. Itu emang salah satu dari sifat weird gue. Udah, ya? Gue minta maaf, ya?"

Mulut Areo terbuka setengah. Tidak menyangka Ley bisa bicara secepat itu. Dia mengerjap, mengubah posisi menjadi naik duduk ke meja menghadap cahaya pagi dari jendela. Kaki panjang Areo berayun pelan. Sapu bergagang merah Reo biarkan bersandar di kursi bawahnya. Ley menunggu.

"Udah berapa lama lo pindah ke Gradasi?" Areo menoleh sekilas.

Heran, Ley menyahut, "Udah mau tiga minggu. Kenapa?"

Berhenti Menangis, KitaWhere stories live. Discover now