03 | Kadang, Itu Cuma Mimpi

26 0 0
                                    

Mimpi buruk. Yila nggak tau udah berapa lama dia terlelap, tapi dunia ilusi yang tercipta dalam mimpinya berlangsung dengan nggak masuk akal. Peperangan, bencana dahsyat di mana semua orang di bumi saling berebut nyawa demi sesuatu yang nggak Yila tahu apa tujuannya. Mimpi itu terjadi lama banget, sampai Yila merasa nggak akan lepas dari keriuhan dan suara penuh tembakan juga jeritan yang sangat bikin stres. Yila berlari tanpa arah, nggak tahu mau ke mana, yang bisa Yila lihat, hanya jalanan basah dan angin kencang yang buat leher dan tubuhnya merinding. Ke mana pun Yila melihat, yang ditangkap matanya hanya para keluarga kecil yang berlarian demi menyelamatkan diri. Ada sepasang remaja berseragam SMA yang udah tertatih, tapi cowoknya nggak pernah mau melepaskan tangan ceweknya. Mereka saling membentak, sebab si cewek udah nyerah dan mau pacarnya pergi, sementara cowok itu keras kepala dan menentang dengan suara bergetar dan menggelegar.

Ada beragam pasangan yang berusaha mementingkan orang terkasihnya, tanpa peduli bahwa kematian mungkin akan lebih dulu menyekiknya bila terlalu baik seperti itu. Tak ada yang egois, ingin selamat sendiri, ataupun berjalan linglung macam Yila. Seberapa kacau pun dunia, manusia masih punya hati nurani, dengan harapan mereka tak akan ditinggalkan sendirian. Kesepian di segala kerusakan bumi yang Yila tak tahu macam apa, tapi wajah ketakutan orang-orang ini ... jelas menjawab semua kebingungannya.

Awalnya Yila mengikut, menggerakkan kaki kurusnya sambil memerhatikan sekeliling. Gelegak guntur yang amat keras menusuk-nusuk jantungnya, membuat Yila kaget dan berdebar takut. Tak ada sapuan warna biru di langit, atau pun gumpalan awan seputih permen kapas. Yang ada cuma bentangan angkasa yang seperti ditetesi satu ton cat hitam. Gelap dan menakutkan.

Dua kaki Yila terus melangkah, patah-patah dan agak oleng karena pusing merajam kepala. Rasa terkejut yang jadi emosi pertama setelah sebelumnya merasa hampa, perlahan bikin Yila tertegun dan langsung menghentikan langkah. Membiarkan orang-orang menyenggol pundaknya, dan meninggalkannya di ujung jalan yang kemudian menjadi sepi.

Kenapa Yila nggak punya siapa-siapa?

Dari semua manusia di dunia, nggak ada satupun yang berlari sendiri kayak dirinya. Kenapa?

Kenapa Yila sendiri?

Apa nggak ada orang yang peduli padanya? Apa nggak ada orang yang dia cintai dan mencintainya? Kenapa rasa sepi ini ... sangat menyakitkan untuk hatinya?

Ingat. Ingat. INGAT! Yila meneriaki dirinya sendiri. Nggak bisa. Yila harus mengingat memorinya. Siapa yang pernah hadir di hidupnya? Ke mana orang tuanya? Teman-temannya, kakak dan adik-adiknya?

Ah, tunggu. Tatapan kalut Yila merendah. Dia berhenti meremas rambut panjangnya frustrasi, membawa tangan pucatnya jatuh dan bergelantungan di tiap sisi tubuh berbalut kardigan birunya. Gaun tidur putihnya yang menutupi hingga paha, berayun sedikit kala kaki Yila terdorong ke belakang. Nggak mampu menahan tubuhnya sendiri.

Yila memang nggak punya siapa-siapa. Dia adalah sampah semenjak lahir, nggak diinginkan, apalagi diharapkan hadir. Ingatan sekilas itu udah menjelaskan, bahwa dari dulu, Yila memang selalu sendiri.

Tapi ... takut. Yila takut. Kenapa ... nggak ada satu pun orang yang mencarinya? Meneriaki namanya? Dan ... menarik tangannya untuk selamat bersama?

Pertahanan Yila runtuh. Dia jatuh di aspal jalan raya, tepat di ujung tanjakan, berada di antara dua turunan setinggi bukit yang nggak terlihat ujungnya. Asap putih seperti awan mengepul di sana, sampai Yila nggak bisa melihat apa-apa selain dirinya sendiri.

Telapak tangan yang menyentuh aspal kasar itu bergerak kaku. Amat lambat, tapi berhasil membentuk dua kepalan kecil dari jari-jari kurus Yila. Yila menelan ludah berkali-kali, berusaha menata pikirannya yang carut-marut.

Berhenti Menangis, KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang