11 | Nggak Ada Bedanya Kamu Ada

35 1 0
                                    

"Pergi." Ley menutup mata, menyerah akan air mata dan sesak yang terus menghantam ulu hati. Dada ini sesak, menghimpit paru-paru sampai bernapas jadi hal berat untuknya.

Tatapan setajam jarum terlempar sinis. Sklera memerah itu tak Ley biarkan basah, walau tetes air mata makin mendinginkan hati.

"Maaf!" Suara berat itu membentak, menjeda langkah lunglai Ley yang hendak berbalik. Ley mengepalkan tangan, meremas kuku-kuku basahnya gelisah. Hujan seperti menangis, membasahi denyut nyeri di kepala yang berdentum hebat.

"Maaf karena aku salah. Aku ngaku, semua yang aku bilang selama ini itu bohong, dalih biar aku bisa terus sama Vea tanpa mikirin perasaan kamu. Ley, maaf...."

Permintaan itu tulus, Ley bisa merasakannya. Serak dari pita suara yang bergetar menunjukkan kalau Areo benar-benar serius dengan perkataannya.

Tapi untuk apa?

Memang itu penting?

Ley kehabisan kata-kata sekarang. Umpatan sekasar apa pun tak cocok lagi untuk dinyalakkan ketika hatinya terus teremas kuat. Bagaimana agar Areo tahu perasaan ini? Rasa sakit menusuk-nusuk dan hampir membuatnya gila.

"Aku sakit, dan itu karena kamu." Ley menggemeretakkan gigi kencang, sekuat mungkin menahan sisi iblis yang bila ia biarkan, mungkin akan menampar pipi Areo berkali-kali.

"I'm so sorry." Areo menggeleng frustrasi. Kupluk jaket hitam yang memayungi telah gagal melindunginya dari hujan, juga fakta bahwa mungkin, tak ada kesempatan lagi untuk memeluk Ley.

"Aku emang brengsek, nggak bisa memilih. Harusnya aku nggak egois dan mainin kamu seenaknya. Ley, gimana caranya biar aku berhenti mandang Vea? Aku nggak mau begini, tapi aku ... terlalu takut kalau dia kutinggal sendiri. Dia kesepian...."

"Bunuh aku aja, Ar." Ley mendekat hingga napas dinginnya bisa Areo rasakan dalam sendu.

"Kamu terlalu takut Vea gantung diri karena depresinya, tapi aku? Sekali aja, apa kamu pernah khawatir kalau aku sakit? Kalau aku bilang butuh kamu, mau kamu dateng, kamu nggak pernah ada! Selalu-selalu-selalu aja Vea!"

Ley bergetar tremor. Rambut basahnya terayun kencang, menutupi bola mata yang melotot murka.

Areo memandang kekasihnya sementara bibir terbelah itu ditetesi air hujan di tengah taman malam ini.

"Aku cuma mau kamu ada." Ley merengek putus asa. "Aku mau kamu di sini, bukan di rumah sakit karena Vea hampir mati setelah nusuk tangannya karena stres. Aku juga sakit, Reo. Aku nggak bisa sendiri! Aku nggak sekuat itu sampe mau relain kamu buat orang lain. Aku nggak mampu, Reo. Enggak mau!"

Dia menangis keras. Memukul dada basah Areo dengan kepalan lemahnya, hingga berakhir menjatuhkan kening yang dipenuhi gurat pening di sana. Areo bisa merasakan betapa panasnya tubuh gadis ini. Ley masih gemetar, terisak-isak sambil mencengkeram kain jaketnya dan meremas kalut.

Merasa bersalah. Emosi itu terus mengguncang batinnya, tapi Areo tak ada pilihan lain. Vea yang terpenting, tanggung jawabnya. Gadis yang dua tahun lalu menangis darah dengan pakaian robek penuh cakaran bekas sentakan ayahnya, kini hanya mengandalkan dirinya. Hanya Areo yang Vea punya. Tidak mungkin Areo mengalihkan sedikitpun perhatian ketika setiap detik terasa neraka bagi gadis itu. Bila Areo tak ada, tak menahan dan memberi sedikit warna dalam hidupnya, Vea pasti sudah melemparkan tubuh remuknya ke jalan raya, atau mungkin menusuk sekujur tubuh dengan pisau daging bertubi-tubi.

Vea menderita. Sahabatnya. Lantas bagaimana Areo harus bersikap bila ternyata Ley juga sama sakitnya?

Dia menusuk jarum tajam ke hati Ley saat dia pikir tengah membahagiakan Vea.

Berhenti Menangis, KitaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt