***

Begitu pagi tiba, Lizzy terbangun. Matahari sudah meninggi dari peraduan. Lizzy meringis, pasti orang-orang di rumahnya gempar, tak menemukan Lizzy di sudut mana pun. Lizzy merasakan perutnya yang bergetar, ia lapar.

Menilik seisi ruangan tempatnya berada, tak ada harapan. Sarang laba-laba menggantung di sudut atap. Debu tebal melekat pada permukaan kaca jendela, yang sebagian retak dan pecah. Ia tak tahu di mana posisinya sekarang. Mungkinkah ia diboyong ke luar kota? Tadi malam, begitu mereka tahu ia telah sadar, orang-orang itu kembali membiusnya.

Lizzy ingin mencari sesuatu, apa pun yang dapat ia makan. Hanya saja ... itu dapat ia lakukan jika kedua tangan dan kakinya tidak dijerat tali tambang. Rasanya tubuh Lizzy kram karena tak dapat bergerak bebas.

Kriet ....

Pintu reyot terbuka, seseorang diikuti dua lainnya masuk. Mereka mengenakan topeng putih, hanya tampak bagian mata, hidung, dan mulut saja. Untuk beberapa saat, Lizzy dan ketiga orang itu bertatapan, sebelum akhirnya salah satu dari mereka membuyarkan suasana.

"Beri dia makan! Kita tak boleh membiarkan sandera mati kepalaran atau Tuan Fer ...."

"Ekhem." Pesuruh dengan tubuh gemuk berdehem, pertanda ada privasi yang harus mereka genggam. Jika sandera mengtahui identiras atasan mereka, maka suatu saat mereka akan turut mendekam dalam jeruji besi.

"Ya, Jhon, berikan makanannya!"

Aroma menggiurkan tercium dari beberapa kotak styrofoam. Tampaknya terdapat makanan siap saji yang mengendap di dalamnya. Lambung Lizzy kian berontak. Jelas sekali ia kelaparan. Tunggu apa lagi?

"Maaf, kurasa kau harus makan sendiri, Nak." Pesuruh berbadan kerempeng dan tinggi meletakkan kotak makanan di meja penuh debu. "Freedy, aku butuh bantuanmu untuk memindahkan gadis ini ke dekat meja!"

"Ya, aku datang!"

Jadi, setiap jam makan, mereka akan melepaskan ikatan di tangan Lizzy. Terkesan memberi kesempatan bagi Lizzy untuk kabur, karena mereka tidak akan berada di dekat Lizzy saat gadis itu menyantap jatahnya. Namun, Lizzy harus berpikir dua kali jika ingin kabur. Ingat? Kakinya masih terikat!

***

Tak banyak yang dapat Lizzy lakukan selain makan, tidur, dan berdiam diri dengan duduk di kursi tua yang kokoh. Membosankan sekali memandangi kaba-laba di pojok atap yang menggulung benang demi membuat perangkap baru. Atau ia harus meremas jari karena iri pada nyamuk yang dapat beterbangan dengan bebas.

"Kalau aku jadi kau, aku akan keluar dari sini!" cibir Lizzy pada seekor nyamuk yang mengitari kepalanya, mendengungkan suara menyebalkan.

Lizzy merasa dia akan jatuh sakit jika terus-menerus begini. Ia menegok kilau mentari yang kian redup di antara celah jendela yang terbuka.

"Fuh ... sebentar lagi malam tiba," gumam Lizzy. "Entah sampai kapan aku berada di sini."

Teringat saudara-saudaranya. Becca, Levi, juga Mom dan Dad. Ah, mereka pasti kewalahan mencarinya. Apa mereka akan meminta bantuan polisi? Bagaimanapun, Lizzy berharap ia dapat segera terbebas.

***

Tring ... tring ....

Dering telepon di meja reyot mengganggu tidur Lizzy. Pesuruh gemuk yang mengangkat. Meski tampaknya ia masih terkantuk-kantuk. Berjalan saja ia limbung, sesekali menendang perkakas yang berserakan di lantai.

"Ya, Tuan?"

"...."

"Apakah sangat mendesak? Saya sedang bertugas mengawasi sandera, haruskah saya membawanya juga?"

"...."

"Baik, saya segera ke sana!"

Telepon ditutup. Pesuruh gemuk tadi mendekat, ia menatap jeli pada Lizzy yang terlelap—berpura-pura tepatnya.

"Kurasa kau tak akan dapat ke mana-mana dan tak akan ada seorang pun yang mengetahui keberadaanmu. Baiklah, aku pergi."

Detak langkah pesuruh itu kian jauh, lalu suara mesin mobil terdengar dari samping bangunan.

Lizzy membuka mata. "Bagus, dia sudah pergi."

Lizzy memberontak, tetapi upayanya tak membuahkan hasil. Tak adakah pisau atau sejenis benda tajam di sekitarnya?

Tuk!

Biji oak mengenai lantai di dekat kakinya. Seseorang di luar sana yang melemparnya. Lizzy terkesiap. "Siapa?" tanya Lizzy dengan mulut mengigit kain hitam, kain itu melingkar hingga bagian belakang kepala Lizzy, simpulnya terjerat di sana. Lizzy tak bisa melepaskannya dengan kondisi tangan terikat di belakang.

Mata biru di balik jendela itu seolah-olah menyala, membuatnya ngeri. Ditambah rambut putih yang tak dapat ia lihat ujungnya. Apa dia hantu penunggu hutan? Atau sejenis elf, mengingat rupanya seperti peri, tetapi tanpa telinga runcing juga sayap di punggung. Rasa-rasanya, jika ia mengira sosok itu orang, ia bahkan tak menemukan satu pun rumah warga setempat. Yang ia tahu, sekitarnya murni hutan!

"Tu-tunggu di sini. A-aku akan memanggil bantuan."

Seseorang tadi berlalu. Lizzy terjebak dalam keheningan. Ditambah ... Lizzy juga baru sadar kalau seseorang tadi mengetahui posisinya, dan ... apa katanya? Memanggil bantuan? Siapa pun itu, Lizzy yakin, dia bukan bagian dari pesuruh bertopeng voodoo.

***

"Lizzy, apa kau di dalam?"

Tersentak, Lizzy bangun dari tidurnya. Kalau tidak salah, barusan ia mendengar suara Levi!

"Lizzy ...? Kalau kau ada di sana, tolong jawab aku!"

Tidak salah lagi. Levi datang untuk membawanya pulang!

Lizzy tak dapat berbuat apa-apa, ia mencoba berontak, tetapi malah terjatuh.

Bruk!

Tubuh Lizzy tertumpu pada bagian kiri. Untung saja posisi jatuhnya terbilang aman, Lizzy tak siap jika harus mengalami patah tulang karena tertimpa kursi tua yang berat dan besar.

Levi menemukannya, melepaskan ikatan tali tambang dengan sebuah pisau yang entah didapat dari mana. Lizzy terisak, menangis dalam dekapan Levi. Ia sangat lega, seorang dari keluarganya datang menyelamatkan.

"Naik ke punggungku, kita pulang sekarang!"

Di ambang pintu, Lizzy melihat sosok itu lagi, si gadis albino. Bukankah dia yang menemukan Lizzy pertama kali? Diakah yang memanggil Levi kemari? Siapa pun dia, Lizzy harus berterima kasih saat tiba di rumah nanti. Sayangnya, sosok itu malah menghilang usai mengantar mereka menuju rumah.

"Levi, dia siapa?"

"Aku bahkan belum sempat menanyakan namanya."

Lizzy terdiam dan berujar pelan, "Misterius sekali."

In My Past Memory ✓Where stories live. Discover now