Eight

4 1 0
                                    

"Kau ke mana saja, sih, Lev?" Becca mendengus sebal. Sepertinya dari tadi dia mencariku. Haha. Pasti lelah sekali mengitari ruangan-ruangan di lantai dua. Mom selalu menyuruhnya memanggilku untuk makan bersama.

"Tidak ada. Maksudku ...," aku menoleh kiri-kanan lantas berbisik, "aku dari perpustakaan."

Mata Becca membulat. "Oh, ya?! Per—"

"Shhh!" Aku menutup mulutnya yang hendak berseru lagi. "Ini rahasia kita. Akan kuceritakan nanti."

"Oh, aku tak sabar mendengarnya. Sekarang, ayo kita makan malam!"

Aku yang hendak melangkah membatalkan niatku. "Kau bilang apa tadi? Makan malam? Bukannya kau mau mengajakku untuk makan siang?"

"Hei, dengar, ya, Kakakku tersayang. Tadi siang juga aku mencari-carimu, tapi kau tidak ada di kamarmu. Kupikir kau sedang keluar. Sekarang aku mencarimu lagi untuk mengajakmu makan malam," terangnya, sedikit kesal.

"Ah .... Tadi aku tertidur di sana. Lama sekali sepertinya."

Kami melangkah berisisan menyusuri lorong temaram. Di lorong ini tidak ada jendela, hanya tembok dengan pajangan lukisan-lukisan tua, beberapa guci antik, atau meja klasik dengan vas bunga di atasnya. Lampu-lampu dinding ini selalu menyala seperti tidak pernah kehabisan stok baterainya, cahayanya yang redup selalu sama.

"Lev," panggil Becca.

"Kenapa?"

"Kau ...," Becca mengaitkan lengannya pada lenganku, "apa kau tidak merasa ada yang aneh dengan rumah tua ini?" tanyanya kemudian.

"Apa yang membuatmu berpikiran begitu? Kau merasa terganggu, ya?"

"Kalau kau mau aku jujur. Iya, aku terganggu, sangat."

"Terganggu oleh sesuatu atau arsitektur dan desain rumah ini?"

"Keduanya," jawabnya cepat, "seperti saat ini."

Aku menoleh padanya. "Apa maksudmu dengan kata seperti saat ini, sih?"

"Lorong ini, Lev. Rasanya kita berjalan sudah sangat lama, tapi ujungnya saja belum juga terlihat. Kadang aku takut jika Mom menyuruhku memanggilmu karena harus melalui tempat temaram dan menyeramkan ini sendirian."

"Oh, ayolah, Bec. Lorong ini memang panjang kok. Tidak lihat, seberapa besar dan luas rumah yang kita tempati?"

"Aku tahu, tapi tetap saja aku me—" Kalimat Becca terpotong.

Set!

Kurasa kami sama-sama melihat ada satu bayangan hitam yang melintas. Durasinya sangat cepat sampai mata kami tidak bisa menangkap bayangan apa barusan. Becca semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Aku tahu, adikku mulai ketakutan.

"Tenanglah, tadi itu mungkin burung gagak." Aku asal tebak saja untuk membuat suasana tegang ini mencair.

Becca hanya mengangguk dan kami kembali berjalan. Barulah beberapa menit kemudian kami tiba di ujung lorong dan melewati ruang tamu menuju ruang makan. Di sana sudah ada Mom, Dad, dan Lizzy.

***

"Bec, ceritakan padaku hal-hal aneh yang kau temui sejak kita mulai tinggal di sini," pintaku. Sekarang aku berada di kamar Becca, hanya ada kami berdua. Lizzy sudah tidur duluan, padahal aku juga ingin mendengar ceritanya.

"Ini yang ketiga. Bayangan itu yang ketiga, Lev." Becca duduk di ranjangnya sementara aku lesehan di karpet pink lembut miliknya. Ah, ia bahkan masih sempat membawa karpetnya?

"Kalau begitu, bagaimana yang pertama?"

"Suara seseorang yang mengetuk pintu kamarku di siang hari. Kukira itu Lizzy, jadi aku menyuruhnya masuk saja. Namun, tidak ada jawaban dari luar, aku pun membukakannya pintu. Tebak siapa yang ketemui?"

In My Past Memory ✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن