Four

3 1 0
                                    

Sore yang tenang, setenang air di danau ini. Aku baru tahu ada danau tak terlalu dari rumah kami. Yah, ternyata bukan ide yang buruk juga berjalan-jalan mengitari lembah. Jauh di depan sana, terdapat sebuah jembatan besi menancap kokoh di lereng gunung. Sepertinya itu satu-satunya akses menuju kota.

Berdiri di dermaga kecil, aku menatap sekeliling. Ini bisa menjadi tempat rekomendasi membaca yang menyenangkan. Sudah pasti, jika saja mood-ku untuk membaca tidak seminim ini.

Aku mengecek jam di pergelangan kiriku. "Oh, sudah pukul lima sore. Aku harus segera kembali. Mom mungkin akan mencariku."

Langkahku terhenti saat sampai pada pangkal dermaga. Ada pohon oak besar yang letaknya tidak jauh dari tempatku berpijak. Entah kenapa, aku merasa deja vu. Perasaan tidak asing saat mataku menatap tumbuhan besar itu. Apa dulu aku pernah ke sini sebelumnya? Memang, pohon semacam ini tidak hanya ada satu di dunia. Bisa jadi itu hanya pohon yang sedikit mirip dengan pohon yang waktu itu.

Oke, aku bisa melihatnya nanti. Sekarang aku harus pulang.

***

Benar saja. Tepat saat aku hendak melangkah masuk, Lizzy menghampiriku. Katanya Mom perlu bantuan untuk memindah beberapa perabot di kamarnya. Becca dan Lizzy tidak bisa dimintai tolong untuk pekerjaan berat, hanya aku satu-satunya yang bisa diandalkan saat Dad sedang tidak di rumah.

"Tunggu, Lizzy!" cegatku pada Lizzy yang bersiap meninggalkanku.

"Ada apa?" Lizzy tidak jadi pergi.

"Apakah Dad sedang keluar?" tanyaku.

"Begitulah. Baru saja Dad berangkat," jelas Lizzy. "Jangan tanya Dad mau ke mana. Ia sama sekali tidak memberitahu kami, bahkan pada Mom sekalipun."

"Ah, baiklah. Aku akan segera ke kamar Mom."

"Oke."

Aku dan Lizzy berjalan bersisian. Kami berpisah saat aku berbelok ke kamar Mom setelah melewati ruang tamu, sedangkan Lizzy tetap berjalan lurus hingga tiba di kamarnya.

"Apa yang bisa kubantu, Mom?" tanyaku saat memasuki kamar Mom. Aku melihat Mom kesulitan menggeser lemari. Bulir-bulir keringat mengembun di dahinya.

Mom menatapku sejenak, kemudian ia berkata, "Tolong bantu Mom memindahkan lemari ini. Posisinya sangat tidak pas jika ditaruh di sisi ranjang. Setelah itu kita akan memindahkan lukisan-lukisan tua itu. Melihat gambar-gambar itu membuat Mom takut."

"Baiklah, Mom."

***

Usai menata perabot kamar Mom, aku diminta Mom untuk membawa lukisan-lukisan tua ini ke gudang. Aku baru sadar bahwa aku belum tahu letak gudang di rumah ini. Biasanya posisi gudang kemungkinan di balik anak tangga, tapi yang kudapati sebelumnya di sana adalah perpustakaan keluarga. Kemungkinan lainnya di lantai dua, tapi aku sudah menjelajah tempat itu dan tidak menemukan yang namanya gudang. Aku tinggal di lantai dua, bukan? Perkiraan letak gudang yang terakhir ada di belakang rumah, terpisah dari bangunan rumah ini.

Aku keluar lewat pintu belakang dengan membawa tiga lukisan yang Mom bilang menakutkan. Tak jauh dari pintu belakang, aku menemukan sebuah bangunan tua yang tidak terlalu besar yang diapit oleh dua pohon beringin besar. Aku pun mendekati bangunan tersebut. Gagang pintunya kudorong perlahan. Terdengar bunyi decitan yang tidak menyenangkan. Debu-debu bertebaran sesaat setelah pintu gudang dibuka. Karena sudah tahu apa yang akan terjadi, aku sudah sejak tadi menjauhi pintu dan berdiam di bawah pohon beringin.

Sambil menunggu debu-debu itu berkurang, aku melihat-lihat area belakang rumah. Luas sekali. Kutemukan gazebo yang ukurannya lumayan besar berada seratus meter dari tempat ini. Aku baru melihat ada pohon dengan ayunan juga di sisi balkon kamarku. Mungkin tadi siang aku kurang jeli mengamati sekitar.

Setelah kuperkirakan debu-debu itu sudah mulai menipis, aku kembali ke gudang dan menaruh lukisan-lukisan tua itu di sisi sebuah lemari reyot. Selesai dengan tugasku, aku memilih kembali ke kamar untuk membersihkan diri.

***

Malam tiba. Cahaya bulan purnama merekah di langit bertemankan taburan bintang. Ini malam pertama kami tinggal di rumah baru. Ah, maksudku rumah yang bersejarah. Mom, Dad, dan kedua adikku tengah melahap makan malam di ruang makan. Namun aku merasa malas bergabung dengan mereka. Perutku masih kenyang. Diam di kamar dan mengamati langit, itulah yang kulakukan saat ini.

Dari balkon, semuanya jauh lebih jelas. Namun tetap saja, kegelapan lebih mendominasi sehingga jarak pandangku terbatas. Cahaya temaram dari lampu taman sekeliling rumahku tampak indah. Yah, rumah kami tidak memiliki pagar. Jadi, terlihat seolah-olah tidak ada pembatas wilayah tanah kami.

Ada hal yang membuatku heran, sih. Satu yang menjadi pertanyaanku sejak pertama kali kami datang ke sini, yaitu mengapa ada pemilik rumah yang memilih tinggal di daerah hutan seperti ini? Tinggal tanpa tetangga dan terpencil. Tidakkah pemilik rumah itu merasa kesepian? Entahlah.

Sejujurnya, aku merasa tertarik untuk mencari informasi masa lalu rumah ini, juga siapa pemilik asli rumah ini. Sayang sekali, di sini tidak ada yang dapat kumintai keterangan. Bagaimana dengan Dad? Oh, aku tidak mungkin menggali informasi ini kepadanya. Dad sedang tidak dalam kondisi yang menyenangkan.

Kriet ... kriet ... kriet ....

Suara gesekan besi itu menganggu suasana. Mataku memindai sekitar, mencari asal suara tersebut. Bunyinya terdengar lebih jelas dari bawah, sehingga aku menurunkan pandanganku.

Oh, astaga! Siapa itu? Jika mataku tidak sedang berhalusinasi, aku melihat seorang gadis sedang bermain ayunan di bawah balkonku. Ia mengenakan terusan putih yang mekar sebatas lutut. Tanpa alas kaki. Rambutnya begitu panjang hingga ujungnya menyentuh tanah dan berwarna putih. Gadis albino? Mungkin. Perkiraanku dia remaja, mungkin seusiaku?

Rasa penasaranku menggebu. Hal itu membuatku ingin segera turun dan menemui dia. Bisa jadi dia tinggal di sekitar sini, mengingat aku masih belum tahu banyak daerah sini. Bagus, akhirnya ada peluang untuk memecahkan misteri rumah ini.

Kakiku melangkah gesit menuruni anak tangga. Lagi, aku harus melewati lorong panjang dengan cahaya temaramnya. Tidak ada waktu untuk melihat-lihat lukisan yang terpajang, sebab aku harus segera menemui gadis itu. Aku tidak ingin kehilangan jejaknya. Firasatku mengatakan, ia tak akan berlama-lama di bawah sana.

"Mau ke mana, Lev?" tanya Mom yang berpapasan denganku.

Sambil terus melangkah aku menjawab, "Keluar sebentar, Mom! Aku janji tidak akan lama!"

"Hati-hati!" pesan Mom.

"Tentu!"

***

Kriet ... kriet ... kriet ....

Ayunan itu masih saja berdecit. Dia masih di sana. Aku memperhatikannya dari jarak 10 meter. Sedikit agak mengherankan memang. Hei, mengapa dia bermain ayunan malam-malam begini? Sempat terlintas di pikiranku jika ia bukanlah manusia, tetapi pemikiran konyol itu langsung kutepis. Gara-gara terlalu banyak membaca genre horor, aku malah terpengaruh dengan cerita-cerita itu.

Aku melangkah lebih dekat, sebisa mungkin meminimalisir suara langkah kakiku. Tidak ingin membuat dia terkejut lalu kabur. Sepelan apa pun aku, tetap saja gemerisik dedaunan kering yang kuinjak menimbulkan suara yang membuat gadis misterius itu menoleh ke belakang dan mendapatiku. Ia menghentikan permainannya dan bangkit dari ayunan.

"Tunggu!" cegatku.

Ia terdiam sesaat, sejurus kemudian malah berlari masuk ke hutan. Aku mengejarnya secepat yang kubisa, tapi laju larinya tak dapat kutandingi. Aku kehilangan jejaknya setelah kami berkejaran. Napasku tersengal. Baru kali ini aku menemui gadis setangguh dia. Apa dia tidak lelah? Setidaknya, ia pasti berhenti sesaat untuk mengambil napas, 'kan?

Aku menatap sekeliling. Di mana aku? Semuanya gelap. Beruntung malam ini purnama, jadi aku memiliki secercah penerangan dari alam. Aku tak menyiapkan senter tadi. Kupikir ia tidak akan lari seperti ini. Terpaksa aku menyusuri jalan yang tadi aku lewati. Seingatku, tadi aku tidak berbelok ke mana pun. Yah, semoga saja aku tidak tersesat dan dapat kembali dengan selamat.

In My Past Memory ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang