11. Entah

162 23 5
                                    

Bagas sudah kembali ke Jogja, Tara pun masih di rumah memulihkan kondisinya. Sejujurnya ia sudah bosan, ia ingin aktif seperti orang lain, bekerja dengan waktu yang pasti tapi apalah daya kondisinya susah diprediksi.

Sembari menikmati makan siangnya dengan bubur buatan umminya, banyak hal berseliweran di otaknya. Banyak hal ingin dilakukan dan dicapainya tapi belum ada satupun yang terwujud. Terkadang ia minder sendiri melihat teman-temannya sudah melakukan banyak hal bahkan mereka yang di kampus nilainya di bawah pas-pasan tapi berhasil dalam pekerjaan. Antara beruntung atau bekerja keras pada akhirnya karena menyadari bahwa dunia itu keras. Entahlah.

Di tengah Tara menyesali diri, tiba-tiba ada telepon masuk dari Bagas.

"Assalamu'alaikum," sapa Tara masih dengan suara seraknya.

"Wa'alaikumussalam, aduh, maaf, masih susah bicara ya?" tanya Bagas di seberang terdengar tak enak hati. Ia seperti lupa bahwa Tara baru operasi gigi.

"Nggak susah kok, cuma ya ini suaranya masih ngebas," jawab Tara enteng sambil terkekeh. "Makan sih yang masih alusan padahal ya nggak masalah makan seperti biasa kan ngunyahnya di sisi satunya."

"Kapan kontrol?"

"Mau nganterin?" goda Tara dengan keberanian tiba-tiba, padahal biasanya ia bukan tipe yang seperti itu apalagi dengan kenalan baru dan berjakun pula.

Terdengar tawa Bagas di seberang. "Sayangnya saya di Jogja."

"Nggak dinas?"

"Lagi istirahat, baru selesai makan ini. Mbak Tara sudah makan?"

"Ini lagi makan."

"Makan yang banyak biar sehat. Jadinya kapan kontrol?"

Eh, kembali lagi ternyata. "Beberapa hari lagi."

"Oh. Ya, tak doakan semoga lekas membaik giginya."

"Aamiin. Tinggal satu sisi lagi."

"Lho, dua?"

Aku mengangguk kemudian ingat bahwa kami tidak sedang melakukan panggilan video. "Iya, dua-duanya tumbuh miring. Dibilang mengganggu banget sih enggak tapi dibilang nggak ganggu ya ganggu juga. Kadang suka bengkak di area situ. Apalagi sisa makanan suka nyelip di sana."

"Mending dicabut aja sih kalau kayak gitu," komentar Bagas.

"Tapi ada aja loh yang bilang buat apa dicabut sampai operasi segala kalau masih nggak apa-apa. Ya masa nunggu apa-apa dulu? Suka heran sama orang tuh." Tara yang keceplosan curhat langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

Tak disangka terdengar tawa Bagas lagi di seberang. "Nggak usah didengarkan, Mbak. Biar saja. Nuruti kata orang, sakit sendiri kita. Kan kita yang tahu apa yang terbaik dari diri kita."

"Hehehe."

Untuk sesaat, keduanya saling terdiam.

"Uhm, di bengkel pesawat itu ngapain sih?" tanya Tara memecah keheningan ditambah ia juga penasaran.

Kembali terdengar kekehan Bagas. "Ya, betulin pesawat seperti umumnya bengkel."

Tara terdiam sesaat. "Aku tahunya bengkel motor sama mobil."

Lagi-lagi Bagas terkekeh. "Iya gitu, cuma ini pesawat."

"Pesawat apa? Jet?"

"Jet?"

"Itu loh yang kayak di film-film, Top Gun."

"Oh. Bukan. Itu pesawat tempur. Di saya pesawat latih. Grob."

Grob? "Pesawatnya sama kayak gitu?" Untuknya yang awam dunia penerbangan apalagi militer, ia hanya bisa berpikir pesawat militer itu yang seperti di film Top Gun, yang bisa atraksi di langit.

ROSC (Return Of Spontaneous Circulation)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang