5. Wedding Day

189 32 0
                                    

Akhirnya Bella dan Cielo Ananta menikah. Mengingat yang punya hajat terbilang orang-orang berpunya maka para tamu undangan pun banyak dari kalangan menengah ke atas baik dari kalangan bisnis maupun pengusaha. Meskipun mereka juga mengundang tamu-tamu dari kalangan menengah ke bawah sebab kenalannya sama-sama dari semua kalangan.

Nuansa yang diusung adalah adat Jawa Yogyakarta lengkap, baik dari dekorasi, makanan maupun pakaian. Warna yang diusung adalah hijau. Tara yang tidak sekalem Donna sedikit kesulitan saat mengenakan jarik. Ia tidak terbiasa harus jalan anggun.

"Sudah, duduk saja. Baru sembuh," perintah Puspa, umi Tara yang datang bersama keluarga besar di Surabaya.

Tara mengangguk karena ia sudah merasa payah. Mengikuti prosesi dari awal di rumah selama beberapa hari hingga akad dan resepsi yang tiada henti membuatnya merasa tumbang.

Braja menyewa kamar selain untuk pengantin baru, Donna juga Tara di hotel yang sama dengan venue pernikahan. Sedangkan keluarga lain ada yang menginap di rumah Braja juga hotel-hotel yang lain.

"Umi, aku kayaknya nggak sanggup. Mau balik kamar dulu ya?" pamit Tara.

Puspa menatap putrinya dalam. "Umi temani?"

Tara menggeleng. "Aku pamit Pakde, Bude, Mbak Donna sama Mas Cielo dulu ya?"

Lalu Tara bangkit setelah diam dan menutup mata sejenak, mensugesti diri sendiri agar kuat hingga kamar. Setelah merasa yakin, ia pun bangkit dan menuju pelaminan.

Dengan konsentrasi penuh Tara berjalan melewati para tamu dan hanya mengangguk dan memberi senyuman saat bertemu saudara yang lain. Lalu ia ikut mengantre bersama para tamu karena tak mungkin menyelinap di antara antrean.

"Lho, Tara kok di sini?" tanya Braja begitu melihat keponakannya.

Tara langsung salim pada pakde dan budenya. "Pakde, Bude, maaf, aku nggak bisa di sini sampai selesai. Badanku rasanya nggak enak. Mau balik kamar dulu."

Ina menatap keponakannya lekat lalu mengangguk. "Ya sudah, istirahat sana. Ke kamar sama siapa?"

"Sendiri."

"Bisa?"

"Bisa. Bismillah." Tara mengangguk yakin lalu ganti menuju kedua mempelai dan mengucapkan selamat. "Mbak Bella, Mas Cielo, barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma fi khair. Semoga Allah karuniakan barakah pada kalian berdua, dan semoga Ia limpahkan barakah atas kalian berdua, dan semoga Ia himpun kalian berdua dalam kebaikan."

"Aamiin," balas Bella dan Cielo.

"Aku pamit balik kamar duluan ya, Mbak? Mas? Badanku mulai ngedrop ini. Maaf nggak bisa sampai acara selesai," sesal Tara sambil berusaha sekuat tenaga menahan diri.

Seperti Ina, Bella juga menatap sepupunya lekat. Ia masih belum bisa membedakan saat Tara sehat dan tidak karena tidak terlalu pucat ditambah hari ini make up menutupi semua.

"Ya sudah, sama siapa? Ditemani Dek Donna ya?" kata Bella.

Kembali Tara menggeleng. "Nggak perlu, bisa kok sendiri. Itu keburu antrean panjang. Duluan yak? Sekali lagi selamat." Setelah berkata begitu, segera ia menyingkir dari pelaminan tapi tak lupa menyapa orang tua Cielo lebih dulu yang juga kaget karena ia pamit. Tapi tak ada yang bisa mencegah kepergiannya sebab di belakang antrean sudah mulai mengular.

Lega sudah meninggalkan pelaminan, sudah kenyang juga, sudah foto-foto di awal bersama seluruh keluarga, Tara segera meninggalkan venue.

🍩🍩🍩

Berjalan menyusuri koridor lalu pindah lantai karena kamarnya dan Donna berada beda lantai dengan venue, sejujurnya adalah penyiksaan bagi Tara. Di area bawah mata dan kedua pundaknya terasa sangat berat. Pertanda ia sudah semakin kepayahan dan harus segera sampai kamar. Berbaring tepatnya.

Sejak awal sakit dulu, ia selalu berusaha untuk tidak pingsan di tempat umum karena tak ingin merepotkan orang lain. Kadang berhasil, kadang gagal. Yang paling membuatnya bertekad untuk tidak pingsan di tempat umum sepayah apapun kondisinya salah satunya adalah adanya omongan bahwa pingsannya hanya modus untuk menarik perhatian seniornya. Semua gara-gara kebetulan memang saat ia pingsan, selalu ada senior itu di dekatnya. Senior tersebut adalah anak UKM pencinta alam dan Judo di kampus.

Tara paham maksudnya, bisa jadi selain karena di kelasnya terutama hanya dirinya seorang yang mengenal senior tersebut. Keduanya berkenalan berkat drama Korea yang sedang hits lalu berkembang ke bahasa yang ternyata seniornya ini bisa dan ia ingin sekali diajari oleh senior tersebut. Kemudian, sepertinya gegara temannya ada yang menggoda bahwa dirinya dan senior tersebut ada hubungan, akhirnya seniornya menjauh karena merasa terganggu. Batal pula ia belajar bahasa Korea.

Hal lain adalah setiap kali pingsan tidak pernah sampai tak sadarkan diri. Kalaupun hilang kesadaran, hanya sampai beberapa detik saja selanjutnya Tara bisa mendengar sekitarnya tapi belum bisa membuka kedua matanya. Berat. Butuh waktu hingga akhirnya ia mampu membuka mata.

Sungguh, pahit sekali mengingat masa itu.

"Hati-hati, Mbak," tegur halus suara maskulin ketika Tara tak sengaja menabrak seorang lelaki di tikungan koridor yang menuju ke kamarnya.

Tara yang tadinya berlari karena mengejar waktu bahkan sambil mengangkat sedikit ujung jariknya agar bisa sampai lebih cepat terpaksa berhenti. "Aduh, maaf. Saya buru-buru jadi nggak lihat. Sekali lagi maaf ya, Mas?" ucapnya dengan konsentrasi penuh pada kondisinya yang semakin menurun.

"Lain kali hati-hati."

"Iy---" Belum sepenuhnya menjawab akhirnya Tara kalah. Badannya sudah lemas seperti ubur-ubur tak bertulang.

"Eh, Mbak!" seru lelaki itu yang masih bisa didengar Tara hingga gelap menyelimutinya.

Lalu seperti biasa tak sampai berapa lama, kesadaran Tara sudah kembali terkumpul dan ia perlahan membuka kedua matanya. Ia mengerjapkan matanya dan menyadari tengah berbaring di pinggir koridor tempatnya bertabrakan tadi.

"Berbaring dulu saja, Mbak. Kalau sudah enakan baru bangun," kata lelaki itu sabar.

Mendengar suara lelaki dan mengingat ia tengah bersama siapa, segenap tenaga ia kerahkan dan berusaha duduk yang akhirnya dibantu lelaki itu.

"Uhm, makasih," ucap Tara canggung dan waspada.

"Ya, Mbak, sama-sama." Lelaki itu tersenyum. "Mau diantar ke kamar mana?"

Tara menggeleng. Kalau tadi ia berdoa yang kencang agar bisa segera masuk kamar dan berbaring, kini ia berdoa minta dilindungi dari orang jahat.

"Saya cuma mau bantu, Mbaknya, biar nggak pingsan lagi," kata lelaki itu memberi tahu sembari menyerahkan ponsel dan kunci kamar.

Seandainya ini sinetron, Tara pasti senang sekali sebab ia bertemu dengan lelaki yang penampilannya oke. Hanya saja ini kenyataan yang terkadang memang kejam. Ia harus waspada jika ingin selamat.

Tara terdiam, mengumpul energi sejenak lalu berdiri yang masih dibantu lelaki itu. "Makasih,Mas. Saya sudah mendingan. Kamar saya juga dekat dari sini kok. Saya permisi dulu. Sekali lagi makasih sudah dibantu."

"Sama-sama, Mbak."

Tara mengangguk dan pamit. Ia berjalan secepat yang ia bisa dan bersyukur kamarnya dan Donna memang posisinya tak terlalu jauh. Begitu sampai depan pintu kamar ia segera masuk tanpa basa-basi meski lelaki itu tampak menunggunya.

🍩🍩🍩

Sidoarjo 30 November 2021

ROSC (Return Of Spontaneous Circulation)Where stories live. Discover now