3. Fight Again

157 29 0
                                    

Tara bersyukur tak perlu harus opname di rumah sakit. Tetapi ia harus merelakan kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan melayang kembali dan itu membuatnya drop, sulit untuk bangun dari tempat tidur. Tidak, kepalanya tidak pusing. Tidak pernah. Hanya tubuhnya terasa tak bertenaga dan pundaknya berat sekali. Bagi sebagian orang, mendengar kata anemia mungkin terdengar sepele, tidak segawat penderita tekanan darah tinggi, tapi baginya sangat tidak sepele karena sangat menggangu aktifitasnya terutama jika kambuh. Dan di antara semua bisa dikatakan yang paling mengganggu adalah terkadang ia tak tampak sakit, tak pula pucat setidaknya itu bagi orang awam yang melihatnya di mana ia yakin penilaian tersebut akan berbeda jika tenaga kesehatan yang melihat.

Jika Tara sampai tampak pucat dan tidak sadarkan diri hingga merasa disorientasi tempat dan waktu, artinya kondisinya sedang drop parah. Ia tak tahu apa namanya dalam bahasa medis, ia jarang menggunakan kata pingsan tetapi lebih sering menyebut dirinya 'jatuh' saat tiba-tiba drop. Kenapa? Sebab tentang waktu dari kesadarannya mulai hilang dan terkapar di lantai, ketika ia merasa black out hanya sepersekian detik saja. Selanjutnya ia sudah sadar dan bisa mendengar suara-suara di sekelilingnya hanya belum mampu langsung membuka mata. Masih terasa berat. Dan di titik inilah, jika menengok ke belakang, ia ingat betapa banyak yang mengatakan bahwa dirinya hanya berpura-pura saja.

Menyakitkan.

"Tara, makan dulu," kata Ina sebelum berangkat ke gerai. "Jangan lupa obatnya."

"Iya, Bude." Tara yang tadinya bermalas-malasan sembari merenungi nasib di tempat tidur mendongak kala melihat kepala Budenya mengintip dari balik pintu.

"Awas nggak makan."

Tara hanya balas meringis. Budenya memang paling ketat urusan kesehatan.

Tak berapa lama satu per satu anggota keluarga berangkat kerja, meninggalkan Tara sendirian di rumah. Dengan malas ia menyeret tubuhnya ke ruang makan. Ia masih lemas tentu saja, jika harus berdiri la tidak kuat.

Setelah duduk, Tara menatap bosan pada menu makanan di hadapannya. Segala macam menu untuk meningkatkan kadar Hb. Bukan ia tak berterimakasih kepada Bude dan sepupu-sepupunya tetapi otaknya seketika teringat kala pertama sakit dan makanannya sama hanya beda olahan setiap harinya. Apalagi waktu itu iduladha.

Tara memakan satu buah pisang dulu sebelum ke menu utama, gulai kambing.  Di meja juga sudah ada susu yang dibeli untuk meningkatkan berat badannya. Susu yang sudah lama tak dikonsumsinya setelah merasa lebih sehat.

Sambil makan, sesekali ia berdecak memikirkan masa depannya. "Kalau kayak gini, yang ada balik Surabaya lagi deh."

"Nggak usah khawatir sama pekerjaan. Rezeki nggak akan ke mana. Yang penting sekarang Dek Tara fokus sembuh dulu," kata Bella saat menjemputnya pulang dari rumah sakit.

Bukan sehari dua hari ia berkutat dengan sakitnya. Dan ia masih berpikir penyebab utamanya apa? Tak sedikitpun terlintas dari pikirannya terkena anemia. Selama ini ia merasa sehat saja.

"Kalau gini terus mau kerja apa, di mana? Sedih amat," gumam Tara.

Bukan tak ada kesempatan bekerja, hanya saja terkadang kepala dan hatinya sakit tiap kali mendengar orang-orang berkata, "Kuliah kok nggak kerja?", "Kok belum kerja?" Atau "Nggak berusaha cari lowongan kerja ta?"

Mereka tak tahu berapa banyak lembar surat lamaran ia kirimkan. Ternyata semua belum rezekinya.

🥯🥯🥯

Tara yang rawat jalan, diantar oleh Donna pergi kontrol ke rumah sakit. Ia senang sekali dan dalam hati berharap bisa bertemu dokter jaga di IGD waktu itu.

"Sayang nggak tahu namanya," gumam Tara.

Donna yang tengah memarkir mobilnya, menoleh. "Nama siapa?"

"Dokter jaga waktu itu. Di IGD," jawab Tara sambil nyengir.

Mendengar hal itu spontan saja Donna tertawa. "Dek, Dek, bisanya itu loh kamu nemu dokter ganteng."

"Lah, timbang bosen? Lagian nurse station di depanku. Salah mengagumi makhluk Tuhan yang tampan?"

Donna hanya bisa merespon dengan tawa saja. Tak lama keduanya memasuki gedung poli.

Tara bersyukur nomer antreannya termasuk awal sehingga bisa pulang lebih cepat. Dan ketika tiba gilirannya bertemu dokter penyakit dalam dan dilakukan anamnesa, ia memulai lagi dari awal sebab pertama kalinya ia menjadi pasien di rumah sakit Semarang.

"Mbak, haus," kata Tara setelah keluar dari poli penyakit dalam.

"Ayok ke coffee shop," ajak Donna. Ia pun mendorong kursi roda yang sedari awal dipinjamnya dari rumah sakit sebab sepupunya belum kuat betul untuk jalan jauh.

Keduanya menuju belakang rumah sakit dan betapa terkejutnya Tara yang belum pernah masuk rumah sakit besar melihat pemandangan di depannya.

"Mbak, aku berasa masuk drakor deh," komentar Tara. "Tinggal tokoh utama aja, dokter ganteng lewat."

"Kamu nih, Dek."

"Mbak, aku teh."

"Oke."

Donna memesankan teh di gerai salah satu merk terkenal setelahnya ia memesan kopi untuk dirinya sendiri.

Sementara menunggu sepupunya antre kopi, Tara menyesap tehnya. Saat itulah matanya menangkap sang 'tokoh utama' dokter gantengnya yang ternyata sepertinya 'dokter ganteng' orang lain.

Tara tak tahu harus merasa apa.

"Patah hati sebelum mulai. Layu sebelum berkembang. Halaaah ... " gumamnya. "Padahal sekejap saja berharap bisa kenal dokter. Kali berjodoh."

Aura Lovey dovey sang dokter dan pasangannya menguar jelas. Membuat iri siapapun yang melihatnya. Terlebih dirinya.

"Rasanya memang cuma mimpi bisa punya pasangan seperti itu. Dream and reality can't stand side by side. Atau mimpiku yang terlalu tinggi kali," desah Tara.

"Haish, lihatin apa sih?" tegur Donna yang ternyata sudah selesai dengan kopinya.

Tara bertopang dagu sambil menyeruput tehnya. "Dokter IGDnya ternyata sudah ada yang punya."

Donna tersenyum. "Bukan jodoh."

"Sedih."

Donna terkekeh. Ia dan sepupunya memperhatikan dua insan yang tengah jatuh cinta berlalu dari coffee shop.

"Padahal aku sudah semangat kalau kontrol lagi bisa ketemu dokter itu," kata Tara lagi.

"Niatnya nggak baik sih," ejek Donna.

"Lumayan kan bawa gandengan ke nikahannya Mbak Bella nanti."

Donna hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Pulang sekarang?"

"Ayok." Tara mengangguk.

Donna menitipkan kopi dinginnya pada sepupunya lalu mendorong kursi roda Tara.

Setiap roda berputar, semangat Tara sedikit demi sedikit menyusut. Dulu, ketika pertama kali sakit di awal semester pertama kuliah, tak sedikit pun ia merasa putus asa. Meskipun harus pingsan beberapa kali dan diolok-olok tapi ia tidak ingin kalah dengan kondisinya. Sekarang? Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Belum lagi omongan orang-orang yang membuatnya kepikiran.

Bukan maunya belum mendapatkan pekerjaan, bukan maunya sering pingsan, bukan maunya pula ketika kondisinya ngedrop wajahnya tak tampak pucat sekali dan bukan maunya pula jika ia tidak merasakan pusing dulu sebelum pingsan.

Semua berputar di kepalanya.

🥯🥯🥯

Assalamu'alaikum semua, bertemu lagi dengan Tara nih.

Adakah kalian mengalami hal yang sama?

Sidoarjo, 17/10/2021

ROSC (Return Of Spontaneous Circulation)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz