22 | kukira kau rumah [part 2]

Start from the beginning
                                    

Marah, kesal, kecewa, sedih, muncul jadi satu di wajah Bude.

Mail paham perasaan campur aduk itu. Karena dia juga sedang mengalaminya sekarang.

~

Selesai mendengarkan keluh kesah Bude selama kurang lebih satu jam lamanya, sebuah kendaraan melipir. Menurunkan pakde dari kursi penumpang belakang.

Mail tersenyum. Berusaha tabah meski mendadak menyadari ada yang tidak beres dengan badannya.

Dia merasa lemas.

"Eh, tamu dari Jakarta." Berlainan dengan Bude, ekspresi Pakde kelihatan sedikit lebih cerah. "Udah pada makan siang? Pakde belum makan. Ayo temenin Pakde makan."

Tentu saja Bude melotot mendengar suaminya itu belum makan, karena sekarang sudah hampir jam dua.

Mail bersyukur mereka semua kemudian digiring ke ruang makan, karena setelah diingat-ingat, dia sendiri bahkan belum sarapan. Cuma sempat kemasukan roti sepotong di pesawat tadi.

Suasana meja makan memang agak kikuk karena mereka hanya duduk berempat. Pakde dan Mail makan, sedang Trinda dan Bude ngemil melon potong.

Hanya Pakde yang berusaha menghidupkan suasana. Menceritakan apa yang dia lakukan seharian tadi, juga orang-orang yang dia temui. Mail dan Trinda menyahut secukupnya, sebelum Bude jadi killjoy dengan menanyakan kenapa hasil check up Trinda tidak di-forward padanya.

Di situ Mail merasa bahwa dia bisa mati muda jika harus sering-sering berada dalam situasi serupa.

~

"Denger-denger, minggu lalu baru balik dari sini juga. Pas Pakde ke Jakarta."

Kelar makan, neverending unpleasant conversation lanjut dengan Pakde sebagai lawan bicara.

Kali ini sambil merokok di depan kolam koi. Jadi meski pening dan mulas, nikotin berhasil memberi rasa tenang sesaat.

Sebagai sahutan dari pertanyaan Pakde, Mail mengangguk, lalu mengembuskan asap rokoknya perlahan. "Iya. Bude ngasih tau saya kalau Pakde mampir dulu check up ke SG sama Trinda. RS mana kalau boleh tau?"

"NUH. Pakde tiga bulan nemenin Eyang buyutnya Trinda dirawat di sana. Adiknya Bude Hari kebetulan kerja di situ juga. Jadi udah paling nyaman kalau ada apa-apa ke sana." Pakde menjawab santai. "Kamu nggak apa-apa kerjaan ditinggal-tinggal terus, Le? Mau tutup buku gini nggak lagi sibuk-sibuknya?"

Mail hanya bisa meringis. Bohong banget kalau dia bilang nggak lagi sibuk, kan?

"Santai aja. Kalau lagi sibuk ya nggak usah dipaksain sering-sering ke sini. Nanti kalau Pakde pensiun, biar pakde aja yang nengokin kalian ke Jakarta."

Satu alis Mail terangkat sedikit mendengarnya.

Itu tadi lampu hijau bukan sih? 'Kalian' berarti termasuk Mail juga, kan?

"Dek Trinda bilang, ada dua ruko mau dijual. Di daerah mana, Mas?"

"Tiga, Pakde. Cikini, Cipete, Menteng."

"Jadi?"

"Jadi."

"Yang paling rame yang mana? Luas berapa?"

"Cipete sama Menteng. Masing-masing hampir empat ratus meter persegi lahannya. Parkir muat delapan mobil. Tiga lantai. Kalau yang Cikini nggak sampai tiga ratus meter persegi."

Obrolan berlanjut super detail, bak pertemuan agen properti dan prospective buyer. Sedikit menenangkan kegundahan Mail, tapi seperti nikotin, efeknya hanya di permukaan saja. Karena bagaimanapun juga, tujuan Mail datang bukan untuk ngomongin bisnis.

Lebih dari keinginan mendapatkan pembeli untuk properti Zora sebelum terpaksa dilelang bank, Mail lebih menghapkan untuk mendengar pendapat Pakde mengenai hubungannya dengan sang putri semata wayang.

"Minggu depan sekalian nengokin Mbak Iis lahiran, kalau memang belum ada yang minat, Pakde sama Mbak Elok mau mampir lihat propertinya."

Mail mengangguk-angguk. Lalu mengambil beberapa tarikan napas sebelum memutuskan mengubah topik. "Ngomong-omong, Pakde ... soal saya dan Trinda ..."

"Tadi sudah ketemu Bude, kan?" Pakde memutus pertanyaannya.

Mail mengangguk. "Sudah."

"Sudah ngobrol juga?"

Sekali lagi dia mengangguk.

"Pakde dan Bude satu suara, Mas. Kalau tadi sudah ngobrol dengan Bude, ya sudah. Sambil nunggu Dek Trinda lulus, coba pelan-pelan ambil hati Budemu. Kalau Bude 'ya', Pakde juga 'ya'."

~

Karena Pakde lebih tahan ngobrol lama-lama, ujug-ujug hari sudah sore. Rasa capek Mail belum hilang. Baru sempat istirahat sebentar di kamar tamu sebelum kemudian harus cepat-cepat mandi untuk ikut jamaah salat Maghrib di musala. Setelah itu lanjut makan malam bersama-sama.

Selesai makan, Trinda menghadangnya. Bertanya kapan tepatnya mereka mau meluruskan yang sedang mengganjal hati.

Mail menghela napas panjang. Melirik arloji sekilas. "Kalau udah di Jakarta aja ya? Aku ada meeting sama Igor abis ini."

Trinda jelas kecewa, tapi nggak punya pilihan lain. Bukan salah Mail kalau seharian ini tu cowok nggak punya waktu sama sekali untuk menemuinya.

Dan kemudian, cowok itu menaiki cart Bagas yang sudah menunggu di depan.

"Jadi Mas sekarang pacaran sama Trinda? Wow." Bagas nggak bisa menutupi ketakjubannya mendapati informasi tidak langsung selama makan malam tadi itu.

Mail mengernyit tipis. "Wow kenapa?" Berlagak bego, dia nanya balik.

Tapi alih-alih menjawab, Bagas mengepalkan tangan kanannya dan menunjukkannya ke depan muka Ismail. "Fighting!"

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now