Part 16

112 40 14
                                    

--

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

-
-

"Setelah ini enggak ada lagi kejadian, lo asal terima ajakan orang lain." Andra berkata dengan menggebu-gebu. Tangannya fokus untuk menyetir.

Laut sudah menceritakan awal mula bagaimana ia bisa mengenali sosok pemuda yang bernama Kevin tersebut. Laut bercerita apa adanya, tidak ada yang harus ia tutupi.

"Tapi bang, kalo lo kenal sama dia kenapa lo enggak cegah gue dari awal?" Tanya Laut sambil menatap Heri yang berada di sampingnya.

"Mana gue tau, gue kenal sama dia aja enggak. Gue tau cuma dari cerita anak-anak kalo misalkan Kevin ini udah merajalela di mana-mana. Tapi gue lupa bentukannya, masa gue harus nuduh setiap orang yang bernama Kevin di muka bumi ini," jelas Heri panjang dan lebar. Heri membuka bungkus kacang lalu menyodorkan ke Heru, tapi Heru menolak.

"Gue tau Kevin, kita dulu sempet satu SMP, kan?" Heru merampas kacang dari Heri. Membuat Heri merengut kesal, dia melempar kulit kacang tepat di wajah Heru.

"Tadi lo enggak mau, setan!" Amuk Heri. Gian menyodorkan snack baru kepada Heri.

"Gue lupa," ujar Andra. Andra mengambil snack yang disodorkan oleh Gian. "Yang gue tau, Kevin itu temennya si Jonathan itu enggak sih?"

"Musuh lo itu?" Ujar Gian ikut mengingat. Gian tau Jonathan merupakan rival Andra sejak SMA. Mereka berdua rival sebagai perebut tahta kapten dalam permainan basket. "Kabarnya gimana sekarang, ya? Dulu dia ngebet banget ngalahin lo dalam segala aspek, ketawa banget gue."

Laut cuma duduk diam sambil menyimak, yang bisa Laut tangkap cuma masa lalu mereka berempat. "Kalian dulu, satu sekolahan?"

Terlintas satu pertanyaan dalam otak Laut. Di satu sisi mereka ada yang tau, satu sisi lagi ada yang tidak tau. Seperti terpecah-pecah.

"Enggak sih, waktu SD kita beda. Andra swasta, kita sekolah negeri biasa. Pas SMP, gue sama Heru satu sekolah dan Andra juga, tapi sayangnya waktu itu Andra ada problem jadi dia harus home schooling. Nah, SMAnya gue sama Andra satu sekolahan sampe lulus, kalo Heru dan Heri beda sekolah, mereka di luar negeri." Gian menjelaskan panjang dan lebar.

Laut manggut-manggut mengerti, tak menyangka bahwa hubungan pertemanan mereka dari kecil sampai sekarang. Tak menyangka pula bahwa mereka tak pernah satu sekolah secara keseluruhan.

"Keren banget sih, gue sendiri lupa masa lalu gue," celetuk Laut bersedih. Dia sudah lupa memori lamanya, bahkan tak berniat untuk mengingatnya kembali. Biarkan saja dia hilang, pasti itu menyakitkan untuk diingat.

"Eh, kok bisa?"

Laut menggeleng lemas, Laut sendiri juga tidak tau kenapa bisa serpihan ingatannya menghilang, dia cuma ingat sebagian masa kecilnya dan itu ingatan bersama sang bunda tercinta selebihnya cuma samar-samar.

"Lo dulu sempet kecelakaan?" Tanya Gian.

Laut mencoba mengingat, kejadian tempo hari yang membuatnya terbaring lemah di brangkar rumah sakit, tapi seingat Laut dia tak tergores sedikitpun. "Enggak deh, kayaknya. Gue mungkin sengaja enggak mau inget masa lalu, ternyata keterusan sampe sekarang."

"Lo sengaja?" Intimidasi Andra. "Lo dulu korban bullying atau apa?"

Bola mata Laut menatap atas, dia tak mengingat apakah dia pernah bersekolah saat masih kecil, tapi mengingat dia sampai sekarang masih lanjut sekolah, kemungkinan dia emang sekolah. "Bullying mungkin enggak, soalnya gue enggak punya trauma apapun."

Andra menatap Laut dari kaca mobil. Bisa ia lihat raut wajah ragu yang tanpa sadar Laut keluarkan. Cukup sudahi topik yang sensitif ini, ayo alihkan ke topik yang lebih hidup. Suatu saat nanti, Andra akan tau seluk beluk kehidupan Laut, begitupun juga Laut akan tau masa lalu yang dialami oleh Andra. Andra akan bercerita seiringnya waktu. Mereka akan saling memahami dalam selang waktu yang panjang.

________

"Andra, masih jauh ya? Sebenarnya kita mau ke mana?" Laut mengeluh setelah menempuh tiga jam perjalanan. Pinggangnya terasa sakit, sudah terlalu lama ia duduk.

"Sabar, bentar lagi kok. Sejaman lagi mungkin," ragu Andra. Sudah lama sekali ia tak kembali ke rumah. Semenjak kehilangan bundanya, Andra segan untuk kembali menyentuh rumah lamanya. Tapi kali ini berbeda, ayahnya yang kembali dari bertugas memintanya untuk menemui dirinya di rumah lama mereka.

"Lama banget harus sejaman dulu, harus nempuh berapa jaman lagi? Jaman batu atau jaman megalitikum?" Canda Heru.

"Itu zaman bego," sambar Heri.

Andra tertawa, sembari fokus menyetir otaknya juga seraya mengingat rute jalan kembali ke arah rumahnya. "Kita enggak nyasar, kan Yan?"

Gian yang dipanggil hanya mengangguk ragu. "Sorry banget Sam, gue sendiri juga agak-agak lupa."

"Anjir, bego banget," maki Andra. Khawatir mereka akan tersesat, Andra memilih untuk menepikan mobilnya.

Heri mendecak kesal. "Lagian, siapa suruh buat rumah jauh dari kota. Gembel emang," jengah Heri. "Lanjut aja jalan, gue masih inget kok. Rumah lo majuan dikit lagi, deket pantai."

"Anjing, tumben pinter lo."

Heri mendengus.

Mobil kembali berjalan masuk lagi ke jalan-jalan sepi yang samping kanan dan kirinya terdapat banyak pohon-pohon kelapa. "Makin banyak aja pohonnya, dulu enggak selebat ini deh," celetuk Gian.

"Dulu nih pantai, kan masih rame tapi sekarang sepi pengunjung jadi orang-orang pada gak ada yang ngurusin, udah mau ketutup sama hutan."

Gian mengangguk setuju. Dia ingat sekali, pantai ini adalah pantai favorit dirinya ketika masih kecil. Mereka sering bermain di sana.

"Kangen terberat itu nostalgia ya, udah gak bisa dijelasin pake kata-kata," ucap Andra tersenyum hangat. "Seandainya waktu bisa berputar mungkin gue memilih tinggal dalam pelukan khayalan. Gue bisa sama Nandra, gue masih bisa sama Rigel."

"Nandra?" Beo Laut. Setelah Rigel, terbitlah orang baru. "Nandra siapa lagi, Bang?"

"Adek gue," jawab Andra secara spontan. "Udah lama meninggal, gue juga enggak tau kronologi kenapa dan apa yang buat dia meninggal."

Andra menjawab seluruh pertanyaan yang ada di kepala Laut, secara tidak sengaja Laut sadar bahwa Andra tidak mau orang membahasnya lebih jauh lagi.

"Salah belok tolol, belok situ!" Tunjuk Heri, pasalnya Andra salah membelokan arah mobilnya. "Belok ke kanan, trus majuan dikit lagi abis itu udah nyampe."

"Duh, ribet banget deh ah ni jalan, mana sempit banget lagi." Keluh Andra, cukup lama dia menyetir mobilnya, sendiri lagi. Karena yang lain SIMnya masih nembak, kalau Andra sudah bosan dengan hidupnya maka akan Andra izinkan Gian untuk menyetir.

Setelah melewati lika-liku medan jalanan, akhirnya mereka sampai di rumah megah milik keluarga Andra. Andra lelah sekali, setelah masuk ke dalam gerbang, Andra dapat melihat ada satu mobil yang terparkir rapi di dalamnya. Itu pasti ayahnya.

---
TBC

Samudra Laut [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora