Part 11

145 41 17
                                    

--

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-
-

"Arrghh!"

"Anjir mimpi itu lagi?"

Gue terbangun dari tidur dengan keadaan jantung yang berdebar, wajah yang dibanjiri keringat dan kepala yang pusing. Pernapasan gue tiba-tiba jadi manual, narik napas itu susah seakan tenggorokan gue tercekat.

"Gue mimpi apa sih?" Embusan napas gusar keluar dari mulut gue.

Ini bukan pertama kalinya gue mimpi begini, tapi gue enggak bisa mengingat apa yang gue impikan barusan.

"Udah bangun?" Tiba-tiba ada suara yang familiar masuk ke telinga gue. Ternyata Andra.

"Jam berapa?" Tanya gue.

Andra berjalan dan duduk di tepi ranjang. "Jam tiga sorean, kayaknya."

Gue mengkerutkan dahi, kayak ada yang janggal. Perasaan, gue tidur sekitar jam satu siang, berarti gue tidur baru dua jam dong. Tapi kenapa, mimpi itu terasa panjang.

"Lo udah tidur selama dua hari," ucap Andra. Yang mana buat gue kaget banget.

"Hah?" Gue shock dong anjir. Gue tidur dua hari apa kagak mati kelaperan, yang bener aja nih bocah.

"Iya, tiba-tiba lo terkena demam tinggi," ujar Andra. Andra memegang dahi gue yang keringetan berniat untuk mengecek suhu tubuh gue.

"Selama lo tidur, lo ngigo anjir. Lo teriak 'Dinan!!' mana kenceng banget lagi, terus tiba-tiba nangis sesegukan," jelasnya.

"Dinan saha anying?"

"Lo nanya gue, gue nanya siapa?! Yaa mana gue tau lah, lo yang mimpi kok."

Dinan? Gue kayak pernah denger tapi di mana dan kapan. Nama itu seakan enggak asing dalam otak gue, tapi gue lupa. Selama gue mimpi yang gue inget hanyalah kegelapan dan juga kesedihan.

Kalian pernah enggak sih mimpi dapet duit banyak dalam mimpi pas bangun duitnya hilang, sedihnya tuh sampe dunia nyata. Perasaan itulah yang saat ini gue rasakan tapi lebih dalem, dan gue enggak tau pasti sedih karena apa, gue enggak bisa menjelaskannya.

Tiba-tiba Andra mengusap dahi gue yang berkerut. "Mikirin apa sih? Mending lo lanjut istirahat. Badan lo masih panas."

Gue tatap mata Andra. "Selama ini, lo yang rawat gue?"

Andra mengangguk.

"Gue pernah ngomong selain itu enggak?"

"Enggak ada, lo tenang aja. Lanjut tidur aja sana, makanan lo entar gue yang anter."

Gue enggak bisa ngebantah lagi, jadilah gue menuruti kemauan Andra. Gue menarik selimut sampai batas leher dan berusaha memejamkan mata.

________
Author Pov

Andra turun dari kamar Laut dan datang menghampiri teman-temannya di bawah.

"Kondisi Laut gimana?" Tanya Gian ketika Andra sudah duduk di sofa.

"Udah bangun," jawab Andra singkat.

"Masih panas?" Gantian Heru yang bertanya dan dibalas anggukan saja oleh Andra.

"Kita bawa ke rumah sakit aja enggak sih? Kasian dia, gue takut dia kenapa-napa." Heri berujar sambil menyemil kuaci. "Sampe dua hari demam begitu, takut parah anjir."

"Kalian aja," jawab Andra. Andra mencomot kuaci milik Heri. "Gue jaga rumah."

Heri mendelik kesal. "Sok cuek lo, najis banget. Padahal kemarin dia yang paling resah," ejek Heri.

Andra melempar kulit kuaci ke wajah Heri. Dia memberikan jari tengah kepadanya. "Lo diem, gue khawatir karena Laut udah gue anggap sebagai adek gue."

Heri membalas melemparkan kulit kuaci ke arah Andra dengan emosi. "Tuh lo ngaku, tugas Abang apa? Kalo bukan jagain adeknya."

"Udah, gue udah jagain dia siang malem, kurang apa coba?!" Ucap Andra dengan nada sewotnya.

Heru mengangkat kakinya ke meja. Dia bertepuk tangan seraya teriak, "berisik bego! Perkara cuma bawa Laut ke rumah sakit aja sampe begini banget, heran gue."

"Sebaiknya lo ngaca juga tolol," balas kembarannya tak mau kalah.

"Stop! Gue mohon," ucap Gian. Baiklah yang waras akhirnya turun tangan. "Laut lagi istirahat bego, kalian mending diem aja deh ah."

Heru mengeluarkan ponselnya dari saku. Lalu mencari nama 'dogterh' dikontaknya kemudian ia tekan.

"Halo polisi."

Satu baris kalimat yang keluar dari mulut Heru membuat Andra dan yang lain terkejut setengah mati.

"Anjir Heru, lo ngapain telpon polisi?" Cicit Andra dengan suara sepelan mungkin.

Heru tak menjawab, dia menempelkan ponselnya dekat telinga. Dia memberi jari telunjuk sebagai isyarat kepada mereka untuk diam.

"Iya, rumah saya kebakaran tolong cepet ditangkap."

Ya Tuhan.

Heri yang berada di samping Heru mendelik sempurna, dia tak akan mengakui bahwa orang tolol di sampingnya ini adalah kembarannya.

Heru mengangguk dalam diam, tak lama kemudian dia mematikan telfonannya. "Tenang, gue cuma telfon dokter kok. Biar dia dateng ke sini."

Cuma sekadar menelfon dokter dia harus mendrama seperti ini? Apakah benda lembek yang berada dalam tempurung kepalanya sudah mencair habis tak tersisa?

Heri mengetuk kepala Heru. "Pantes anjir, isinya tai semua."

"Haha sialan lu." Oke baiklah, seharusnya yang cocok untuk dipanggilkan dokter sekarang adalah Heru. Dokter umum tidak akan mempan untuk mengobati ketololannya yang sudah stadium akhir, harus panggil dokter spesialis sakit jiwa.

Andra menggelengkan kepalanya. Dia tidak minat untuk bercanda sekarang. Semenjak pulang dari acara curhat-curhatan bersama Bima, kepalanya terisi penuh dengan kata-kata 'lo cuma kebawa suasana'.

Apa iya? Andra sendiri juga tak merasa begitu. Mungkin tak masuk akal kalau dia hanya terbawa suasana, pasalnya Laut sangat tak asing baginya.

Selama ini, Andra memutar keras otaknya untuk mengingat apakah dia dulu pernah berinteraksi dengan Laut. Tapi sayangnya kapasitas otaknya cuma bisa mencangkup daya H+ Andra tak bisa mengingat apa-apa.

"Gian, gue mau nanya. Lo kenal Laut di mana?" Pertanyaan yang selama ini sempat ingin ia ajukan akhirnya ia tanyakan.

"Waktu itu enggak sengaja ketemu di salah satu acara kampus. Emang ngapa?"

Andra melipatkan kedua tangannya di dada. "Apa perasaan gue aja ya, gue merasa gue udah kenal deket sama Laut. Kalian juga gitu enggak?"

Mereka kompak menggeleng.

"Perasaan lo aja kali. Gue pertama kali kenal sama Laut," balas Heri. "Itu juga waktu pas kita naik gunung tempo hari itu."

"Gue juga sih," jawab Heru.

Andra mengembuskan napasnya gusar. Kegelisahannya selama ini belum pernah mendapatkan titik terang.

"Nggak usah pasang muka kusut gitu juga kali. Ngapa enggak lo tanya aja sama Laut?"

"Iya, pas dia udah sembuh gue tanya-"

"Bang, gue laper." Tiba-tiba Laut berteriak dari lantai atas. Dia bediri di tangga sambil mengusap perutnya sendiri.

Andra menoleh, ia sampai lupa memberi makan Laut. "Sanggup turun lo? Ambil sendiri di dapur, enggak usah manja."

Laut agak kaget. Tak menyangka bahwa Andra akan berkata demikian. Selama ia tinggal di sini, Andra selalu memanjakannya.

"Oh, mungkin gue udah terlalu ngerepotin dia, makanya dia begitu." Batin Laut nelangsa.

---
TBC

Samudra Laut [END]Where stories live. Discover now