9. Not Okay

Mulai dari awal
                                    

Bocah itu berdiri gelisah sembari mengawasi keadaan sekitar yang nyatanya begitu lengang. Sedikit Theo mengerti, dia juga tak ingin hubungan persaudaraan ini diketahui banyak orang.

“Minggir.”

“Tunggu dulu, Bang. Gue mau ngomong bentar.” Mengabaikan pengusiran yang jelas-jelas Theo berikan, bocah itu justru mencegah yang lebih tua untuk membuka pintu mobilnya.

“But, I don’t have anything to talk with you. So, f*ck off!” dengkus Theo, kesal karena bocah itu tampak begitu keras kepala menghalangi jalannya.

Mendapat tatapan tajam Theo jelas membuat nyali Rei menguap begitu saja. Namun, ia sudah mengumpulkan niat sejak tadi pagi untuk ini. Jadi mundur bukanlah pilihan.

“Hari ini lo harus pulang cepet, Bang. Ada makan malem sama Opa dan Oma. Kalo lo ngelewatin makan malem, Papa bisa marah besar. Bahkan Opa sama Oma juga ikut turun tangan,” ucapnya sarat akan kekhawatiran.

Beberapa hari terakhir, kakaknya ini sering pulang terlambat. Bahkan tiga hari lalu Theo tidak kembali tanpa memberi penjelasan apa-apa. Hal itu sebenarnya cukup masuk akal, karena dua minggu ke belakang Celine ada di rumah. Wanita itu bahkan membantu pekerjaan Bi Salma dalam melakukan pekerjaan rumah.

Bagi Rei, melihat sang ibu bertingkah layaknya ibu pada umumnya adalah  pemandangan yang sangat indah. Selain jarang ada di rumah, melihat Celine berkutat di dapur dengan apron seolah membawa Rei kembali ke masa itu.

Saat di mana sang ibu masih penuh senyum dan tawa sembari menawarkan menu apa untuk dimasak selanjutnya. Namun, untuk Theo, keberadaan wanita itu hanya membuat ia tampak seperti makhluk paling rendah di muka bumi. Bertindak sok bijak, tetapi pada kenyataannya dia hanya memperburuk keadaan.

“Bagus, dong. Lo bisa makin kelihatan jadi anak emas mereka. Isn’t it good opportunity for you?” sinis Theo.

Meski tak ayal, mendengar kakek dan neneknya disebut cukup untuk menggetarkan nyalinya. Sebab selain Samuel, ada lagi orang yang Theo takuti, yaitu orang tua ayahnya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah pepatah yang cocok untuk menggambarkan kemiripan sifat mereka. Dan demi apa pun, Theo sama sekali tidak memiliki kuasa jika berhadapan dengan mereka sekaligus.

Terdiam cukup lama, Rei akhirnya kembali bersuara. “Gue nggak ngerti kenapa lo selalu punya pikiran kayak gitu. Dan entah udah berapa kali gue bilang, kalo gue sama sekali nggak ada pikiran jahat kayak gitu. Gue cuma pengen bisa jadi keluarga yang bukan cuma di atas kertas, tapi bener-bener keluarga yang bisa diandalkan satu sama lain. Padahal dulu lo—” Ucapannya terhenti tiba-tiba.

Cowok itu menggeleng singkat kemudian mengusap wajahnya. Tidak … ia hampir saja mengatakan hal yang tak seharusnya terucap.

“Gue apa?” Theo yang ternyata menyimak ucapan Rei kini mengernyit saat remaja itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya.

Rei menggeleng. “Bukan apa-apa, gue salah ngomong aja. Pokoknya hari ini gue mohon banget supaya lo pulang, Bang. Di samping sifat kerasnya Opa sama Oma, lo itu satu-satunya cucu yang mereka sayang.”

Usai mengatakan hal itu, Rei membalik badan lantas melangkah dengan terburu. Ia tak ingin mendapatkan pertanyaan lebih lanjut dari Theo soal ucapannya barusan.

Sungguh … itu adalah hal yang semestinya tidak boleh ia ungkapkan.


🍬🍬🍬


Meski benar-benar enggan untuk pulang, tetapi di sinilah Theo. Duduk bersama dengan empat orang lainnya mengitari meja yang dipenuhi dengan bermacam jenis makanan. Dari semua hidangan lezat itu, tak satupun yang menggugah seleranya. Sebab satu-satunya hal yang ingin Theo lakukan saat ini adalah segera memisahkan diri dari mereka.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang