Bab 18. Harapan Seorang Ayah

13 8 0
                                    


Bab 18. Harapan Seorang Ayah

Mimpi itu seperti nyata. Menyeretku ke dalam luka sebelumnya.

Keringat dingin bercucuran dari pelipis seorang gadis yang tengah meringkuk di kasurnya. Wajahnya terlihat tidak tenang, alisnya pun terkadang menyatu juga tolehan kepala ke kanan dan ke kiri tak pasti. Padahal, matanya masih memejam.

"Ayah.."

"Ini beneran Ayah?"

Katakanlah bahwa gadis itu tengah mengigau. Bagaimana tidak, mulutnya terus meracau tidak pasti sedangkan matanya masih terpejam rapat.

Zahra, ia seperti tersengat listrik. Memandang seseorang payuh baya di depan sana membuat tubuhnya gemetar hebat. Air mata yang sudah lama ia bendung, itu runtuh seketika ketika netranya bertemu dengan mata yang selama ini ia rindukan.

"AYAH!" ucap gadis itu. Bibirnya gemetar tidak sanggup melanjutkan kata selanjutnya. Kakinya kini ia paksa berlari mendekat ke seseorang yang diam saja di depan. Gadis itu reflek memeluk seseorang itu. "Ayah kenapa diam saja ketemu sama Zahra?" ucap Zahra sesengggukan. Tangannya meraih baju ayahnya dan menjadikannya tumbal menghapus ingusnya.

Seseorang pria itu geleng-geleng kepala. Melihat putrinya yang masih saja cengeng. Berjongkok dan mensejajarkan dirinya dengan putrinya. "Anak Ayah gimana keadaannya?" tanyanya parau.

Zahra langsung melepaskan pelukannya. Memandang wajah Ayahnya yang sudah terliat kerutan-kerutan halus juga rambut yang sebagian memutih. "Kenapa suara Ayah seperti berbeda?" tanya Zahra. Jujur, ia sempat tertegun sesaat, tetapi rasa kangennya melebihi apapun. Memandang Ayahnya yang menggunakan baju koko putih itu terlihat sangat tampan. Senyuman itu, Zahra sangat menyukainya. Jujur, setelah melihat senyuman itu, beban yang selama ini Zahra pikul seperti sirna begitu saja.

Kalau Zahra bisa bercerita, ia ingin menceritakan bagaimana susahnya hidup berdua sebatang kara dengan adiknya, bagaimana susahnya bekerja saat ia masih sekolah. Ia ingin bercerita bagaimana susahnya mendidik dan merawat anak kecil, bagaimana capeknya saat melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bagaimana capeknya memakai topeng palsu di dunia yang fana. Bagaimana capeknya sendirian di dunia ini tanpa tidak tau menceritakan apa yang di alaminya seharian.

"Ayah, Zahra pengen cerita banyaak sama Ayah, banyak banget" ucap Zahra. "Zahra kangen Ayah" tambahnya. Lelaki itu lalu memgang tangan Zahra. Membuka telapak tangan Zahra dan memandangnya. Ia melihat Zahra yang sudah menangis sesenggukan.

"Kamu ini anak Ayah yang hebatt, Ayah sayang sama kamu dan Shella." Ucap Ayah Zahra. "Zahra lemah Yah, Zahra gak kuat kalau tanpa Ayah" ucap Zahra geleng-geleng. Memori Zahra kembali lagi ke hari dimana ia di tinggal Ayahnya untuk selamanya. Zahra juga tidak tau, kenapa hari ini ia bisa bertemu dengan Ayahnya, intinya Zahra bersyukur dan berulang kali mengucapkan terimakasih kepada Allah.

"Waktu itu Ayah pergi begitu aja, ninggalin Zahra yang belum tau apa-apa. Waktu itu Zahra benar-benar lepas kendali, Zahra pengen marah tapi gak tau ke siapa."

"Zahra harus kuat. Ada Shella yang butuh kakak yang hebat. Zahra pasti bisa menjadi kakak yang hebat. Maafin Ayah karna meninggalkan kalian berdua"

"Ayah baik-baik aja kan? Ayah udah gak ngerasain sakit kan?"

"Roda itu selalu berputar. Gak selamanya yang di bawah akan tetap di bawah. Dan gak selamanya yang di atas tetap diatas. Ada saatnya yang di bawah akan ke atas dan sebaliknya. Itu juga yang dinamakan dinamika kehidupan"

"Aku pengen ikut Ayah aja" ucap Zahra.

"Jangan, Zahra harus sama Shella dan bahagia bareng-bareng" ucap lelaki paruh baya itu. Lalu, ia melepaskan tangannya dari Zahra walaupun ia tau, Zahra sempat kaget dan tidak mau melepaskan genggaman tangan itu.

Antara Jogja dan SemarangWhere stories live. Discover now