Bagian 17. Memeluk Dinginnya Malam

14 7 0
                                    


Bagian 17. Memeluk Dinginnya Malam

Malam semakin dingin. Tapi, diri ini masih setia terjaga. Menjalani dunia sama saja seperti menelan pil pahit kehidupan. Meninggalkan dunia pun sama saja menyerah akan dunia. Tuhan begitu mahir untuk membuat pribadi seseorang itu menjadi kuat.

Hujan di sore hari mengguyur kota Semarang dengan lebat. Akhir-akhir ini memang musim penghujan. Kurang lebih seminggu terakhir hujan selalu turun di sore hari. Senja yang selalu muncul memancarkan keindahannya kini hanya awan kelabu yang terlihat.

Zahra kini berdiri di depan restorant tempat dirinya bekerja. Memandang jalanan yang masih turun hujan. Walaupun di depan sana masih turun hujan, tak membuat para pengendara motor maupun mobil berhenti. Mungkin mengejar waktu agar sampai di rumah dengan cepat. Batin Zahra.

Sekelebat bayangan adiknya muncul di ingatan. Tadi pagi sebelum ia bekerja, ia berjanji akan pulang sebelum azan maghrib. Tapi, lihatlah sekarang, dirinya masih berdiri di depan pintu restorant ini. Memandang kebawah, ke sepatunya, gemercik air hujan pun ikut andil membasahi sepatunya.

"Kapan ya berhentinya" ucapnnya pelan. "Kasihan Shella, pasti belum makan." Tambahnya. Gadis itu lalu memandang totebag di bungkus kresek berisi makanan yang di tangan kanannya itu untuk adiknya.

"Apa aku terobos aja, udah lumayan reda juga"

Dengan kekuatan dan pemantapan hati, juga keberanian gadis yang memakai baju kuning itu nekat menerobos di tengah-tengah guyuran hujan. Hujan yang dikira tadi sudah lumayan reda, ternyata masih lebat juga saat ia menerobos di jalanan. Hanya dengan waktu beberapa menit saja sudah membuat bajunya basah. Padahal niatnya hanyalah berpindah dari tempat ia bekerja ke brt terdekat.

"Alhamdulillah, sampe juga di brt. Gapapa basah dikit, yang penting cepet sampe rumah dan makan bareng"

Perjalanan menaiki brt kali ini lumayan cukup lama. Waktu perjalanan yang biasa di tempuh hanya waktu sepuluh menit kini memakan waktu dua puluh menit. Zahra berulang kali menghembuskan napas kasarnya. Dalam hati ia terus memaki karna perjalanan yang mungkin licin menyebabkan perjalanan lama.

Dan benar saja, saat turun dari brt dan berjalan menuju rumahnya, adiknya kini memunculkan kepalanya di jendela rumah, badannya di dalam rumah dan menyenderkan dagunya di jendela. Zahra yang melihat itu langsung melambai-lambaikan tangannya, dan benar saya, wajah berbinar Shella muncul.

"Kak Zahraa! Kenapa lama?"

"Tadi hujan Dek, Kakak berteduh dulu"

Shella kini mengamati pakaian yang di pakai kakaknya, benar saja, baju itu basah dan hampir kering. "Kakak mandi dulu ya, ini Kakak bawain makanan buat kamu"

"Yeeaaay!" ucap Shella kegirangan. Ia lalu berjalan mengikuti kakaknya, duduk di meja makan yang minimalis. Dulu, meja makan ini berisi tiga orang, dirinya kakaknya dan ayahnya, tetapi sekarang hanyalah hanya dirinya dan kakaknya. Melihat kakaknya yang kembali dengan membawa piring juga sendok. Membuka kresek itu dan Shella dapat melihat nasi padang disana.

"Makan dulu ya Dek, kakak bersih-bersih badan dulu"

Di tempat lain, di waktu yang bersamaan, seorang cowok dengan kaos oblong hitam kini duduk di bangku belajarnya. Rumahnya kini masih di guyur hujan yang lumayan lebat. Matanya masih menatap sebuah buku diary yang hampir satu tahun di temukannya. Ternyata, pemilik buku ini adalah seseorang yang begitu dekat dengannya. Sering bertemu, sering bertegur sapa, sering kerumahnya—oh bukan, pernah ke rumahnya itu yang lebih tepat.

Pikirannya kini masih di selimuti benang yang sangat sulit untuk di uraikan, benang itu seolah-olah semakin menjadi di otaknya. Bagaimana tidak, buku yang di bacanya kini mengandung banyak teka-teki juga misteri. Bahasa yang di gunakan juga sangat rahasia, harus mengunakan kode-kode untuk menyelesaikannya.

Antara Jogja dan SemarangWhere stories live. Discover now