prolog

29 3 0
                                    

Hari itu. Hari yang tidak pernah Zico harapkan untuk terjadi. Hari yang membuat keluarganya hancur dan seluruh impiannya luruh. Impian untuk mempunyai keluarga bahagia menjadi hilang, tertelan bersama kata 'oke, kita cerai!'

Tepat di siang hari dengan cuaca mendung, dua orang dewasa berbeda jenis memasuki rumah dengan berjalan beriringan. Rumah berlantai dua dengan cat berwarna abu-abu terlihat sangat nyaman untuk dihuni. Tampak keduanya sedang beradu mulut dengan suara yang cukup keras. Membuat suara mereka bergema di dalam rumah yang cukup luas itu.

"Kamu gila! Udah tau punya suami juga anak. Beraninya selingkuh di belakang aku." Bentakkan yang cukup keras itu tak membuat sosok perempuan di depannya takut.

Malahan dia tersenyum miring. "Terus, aku harus selingkuh di depan kamu? Gitu?"

"NETA!"

"APA!" Perempuan yang dipanggil Neta itu turut berteriak.

Keduanya saling tatap, saling mengeluarkan aura permusuhan. Tak ada tatapan kasih sayang yang biasa ditampakkan seorang istri pada suaminya ataupun sebaliknya. Namun, hanya ada tatapan kemurkaan yang terpancar dari keduanya.

Lemari-lemari berjejer cantik menjadi latar belakang dimana dua orang berbeda jenis itu tengah bertengkar. Lemari yang penuh piala tinggi dan beberapa medali yang terpajang apik di dalamnya. Tak lupa piring - piring cantik yang terpajang di samping lemari turut menambah nilai keindahan dari rumah itu.

"Kamu sendiri yang bikin aku nggak nyaman berkeluarga sama kamu. Jadi jangan salahkan aku kalau aku mencari kebahagiaan lain."

"Mana bisa begitu! Kita ini udah nikah dan punya anak. Bisa nggak, kamu atur sikap kamu."

Neta menatap Yama, laki-laki yang kini adu mulut dengannya. "Kamu nyuruh aku atur sikap? Aduh." Neta menggeleng pelan, seolah meremehkan ucapan Yama. "Seharusnya kamu yang atur sikap! Apa kamu pernah ngehargain aku sebagai istri kamu?"

Pyar.

Sebuah piring yang tadinya menjadi pajangan di atas meja kini sudah menjadi keping-keping kaca yang berserakan di lantai. "Enggak! Kapan kamu ngehargain aku sebagai istri yang ada kamu terus-terusan ngelakuin aku kayak pembantu! Kamu nggak pernah hargain aku sebagai istri kamu."

"Cukup-cukup. Jangan diperpanjang masalah ini," ucap Yama melihat ke arah pecahan piring yang dilemparkan oleh Neta tadi.

Neta terkekeh mendengar ucapan Yama. Selalu seperti itu, ketika ia mengungkit hal itu. Yama selalu menghentikan dan berusaha untuk tidak melanjutkan percekcokan ini.

"Kenapa Mas? Bingung mau alasan kayak gimana?"

"Ini terakhir kamu bisa berhubungan sama lelaki itu. Jangan pernah kamu berani nemuin dia lagi," peringat Yama.

"Terserah aku dong." ucapan Neta membuat muka Yama memerah. "Kamu ...?" Yama Menjeda ucapannya. "Apa?" tantang Neta. "Mau ceraiin aku? Silahkan."

Yama tentu terkejut mendengar lontaran kalimat itu terucap dari istrinya. "Segampang itu? Segampang itu kamu minta cerai? Kamu nggak mikirin Zico?"

"Zico bisa aku bawa. Gampang kan?"

"Kamu bilang gampang? Kamu nggak mikir, kalau kamu hidup bareng sama selingkuhan kamu dengan membawa Zico, apa hidup Zico akan baik-baik aja?"

Neta menatap Yama dengan tajam. "Terus kalau Zico hidup sama kamu. Apa dia juga bisa bahagia?" Lontaran pertanyaan yang diucapkan Neta membuat Yama terdiam.

"Kenapa diem? Nggak bisa jawab? Kita sama-sama bukan orang tua yang baik buat Zico, yang bisa bikin Zico bahagia."

Ucapan Neta membuat amarah Yama meluap kembali. Dalam diri Yama, dia berkeyakinan bisa membuat Zico bahagia. "Oke, kita cerai." Akhirnya, ucapan itu bisa lolos dari mulut Yama.

Tak dipungkiri, dada Neta sesak mendengarnya. Namun, apa boleh buat, rasa kekecewaannya lebih besar pada Yama. "Oke! Kita cerai! Besok aku akan ke pengadilan agama buat ngurusin perceraian kita." Setelah itu Neta berbalik memunggungi Yama. Lalu berjalan menuju ke kamarnya. Ketika baru berjalan beberapa langkah, Neta kembali menoleh untuk melihat Yama sekilas dan mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Setetes air mata menetes dari mata kirinya. Rasa lega juga rasa sesak bersatu menyelimuti dirinya.

Begitupun Yama, tentu dia amat terluka dengan keputusannya hari ini. Meski dirinya dan Neta menikah karena paksaan. Namun, sudah sejauh ini fase-fase sulit bisa mereka lalui bersama, tapi nyatanya, kini semuanya hancur. Hubungannya tak bisa lagi ia pertahankan.

Tapi ada yang lebih sedih dari mereka berdua. Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mendengar semuanya. Dia telah bersembunyi di balik sofa belasan menit hanya untuk mendengarkan sebuah kata yang membuat hatinya sakit.

Awalnya, dia hanya ingin memberi kabar bahagia pada kedua orangtuanya, tapi malah dirinya yang mendapatkan kabar menyedihkan ini langsung dari telinganya sendiri. Tak dia sadari air mata sudah menggenang di kedua pelupuk matanya. Piala dari hasil lomba se-kabupaten ia peluk erat.

"Cerai," gumam anak laki-laki itu sedih. Dia bukan anak kecil lagi yang tak paham arti itu. Dia tau betul apa makna yang baru saja orang tuanya katakan.

Dia tau itu, maka dari itu dia sedih mendengar ucapan itu keluar dari mulut kedua orangtuanya. "Zico broken home?" gumamnya lagi.

"Cepat atau lambat memang ini lah yang akan terjadi," ucap Zico menyeka air mata di pipinya.





jangan lupa like dan komentarnya, ya. dukung cerita ini sampai selesai.

kalau kalia suka cerita ini jangan lupa buat follow  biar nggak ketinggalan kalau cerita ini update.

lanjut, nggak?

SimbiosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang