KEBERANGKATAN

15 1 0
                                    

"Aaaaaaaaaaaachhh......., Saaaaakiiiiiiiit"

Suara jeritan kesakitan Bejo, saat tanganya baru saja terpotong dari tubuhnya, seorang pria tua berambut putih, berjenggot putih panjang dengan mata sipit, mengenakan jubah hitam, membawa tongkat pedang yang baru saja ia gunakan untuk menebas tangan Bejo, Bejo yang menahan sakit dengan wajah merah padam, menyuruh 20 Anak buahnya untuk menyerang pria tua tersebut, serentak dengan membawa senjata tajam para anak buah bejo menyerang pria tua tersebut, namun tak disangka kakek tua itu dengan mudahnya menghindar, bukanya menggunakan pedang tongkatnya lagi, ia justru memasukkan tongkat pedangnya kembali kedalam sarung pedangnya, masyarakatpun ramai melihat pertarungan tersebut satu melawan dua puluh orang, dengan memasang kuda kuda, tiba tiba tangan pria tua tersebut mengeluarkan aura hijau, dengan pukulan tangan di selimuti aura hijau tersebut satu persatu anak buah bejo pun di buat terjatuh dan terpental, masyarakat dibuat terkagum dengan ilmu bela diri sang pria tua, Bejo pun terbelalak, tak menyangka anak buahnya kini terkapar semua.

"Pergi, dan jangan pernah kembali ketempat ini lagi, ini adalah hukuman atas pembunuhan dan perampokan yang telah kau lakukan, kalau saja aku berada di Wonoseso mungkin kau sudah kuseret kepenjara" Ucap sang pria tua, sembari mendekat kearah Bejo,

Setelah semakin dekat, terkejutlah bejo, melihat lambang burung Elang merah, yang berada di dada sang pria tua,

"Sial, dia adalah salah seorang dari pasukan negara Wonoseso, ayo pergi semua" ucap Bejo panik, meminta anak buahnya lekas kabur,

membiarkan potongan tanganya yang tergeletak begitu saja, sorak sorai masyarakat bergumuruh, Kini pelabuhan ini telah terbebas dari bejo, yang terus saja memalak masyarakat disana.

kini pria tua tersebut tertuju pada Seba yang tergeletak pingsan di pangkuan Kasungka lalu mendekat dan meraih tubuh Seba, "segera Panggilakan Tabib" ucap pria tua,

"Terimakasih telah menyelamatkan saudara saya kek" Kasungka berkata lirih dengan wajah memar akibat pukulan Bejo,

"tak masalah nak, aku disini memang untuk memberi pelajaran pada perampok itu, atas perampokan dan pembunuhan, dari laporan masyarakat disini, tapi aku tidak bisa berbuat banyak, tempat ini bukan negaraku, aku tidak bisa memberikan hukuman lebih" Jawab pria tua itu

"aku adalah seorang tabib, biar aku yang merawatnya, dia telah menolongku tadi" saut wanita tua yang di selamatkan Seba tadi, dengan di bantu warga dua bocah tersebut dibawa kekediaman sang tabib,

Pulau Jatisari memang negara kepulauan kecil, yang tidak memiliki pasukan keamanan kuat, dan seringkali meminta negara tetangga untuk membantu, negara jatisari memang terkenal dengan pasokan bahan mentah dan ikan berkualitas yang kemudian di kirim kenegara Wonoseso, jarak kedua Negara tersebut juga tidak teralalu jauh, tak berselang lama pak Wasis datang untuk berterimakasih pada pria tua tersebut,

Wasis : Terimakasih banyak, Sudah membantu kami.

Pria Tua : "Sama-sama, aku hanya membantu sedikit" ( dengan senyum ramah )

Wasis : "Oh Astaga Benarkah itu Anda, Komandan Pasukan Tangan Kosong Kama Sura?" dengan wajah kaget setelah lebih dekat dengan pria tua tersebut.

Pria Tua : "Ah Kau Mengenaliku Rupanya, ha ha ha...,Tapi itu sudah cerita masalalu, aku sudah bukan lagi komandan" (sambil menggaruk garuk kepala)

Wasis : "Orang seperti anda sampai repot repot datang ketempat kumuh seperti ini, ada keperluan apa tuan, kalau boleh saya tau?"

Pria Tua : Aku menawarkan diri untuk misi mengurus para perampok itu, namun selain itu aku juga ingin mencari makanan serta arak spesial pulau ini, ha..ha..ha ( Tertawa lebar )

Wasis : Wah, Kalau seperti itu mari saya antar ketempat yang saya jamin anda akan sangat suka dengan hidangan disana,

Tak berapa lama Kama Sura dan Wasis sampai di sebuah kedai, disana mereka mulai memesan makanan dan Arak Khas pulau itu, ditengah perbincangan Kama Sura menanyakan siapakah bocah yang berani melawan para perampok itu, Wasispun menceritakan latar belakang dan kehidupan Seba dan Kasungka, Kama Sura berkata bahwa ia cukup terkejut dengan anak itu, bagaimana bisa bocah berumur tujuh tahun menggunakan cakra tingkat ke 6, wasis yang tak tau soal cakra pun mengatakan bahwa sebenarnya Seba sudah pernah mengeluarkan kilatan cahaya cakra itu pada usia 5 tahun, disaat Kamasura menanyakan siapa orang tua dari mereka berdua, Wasis menggeleng tak tau, Karna dua bocah kembar itu datang dari pedalaman pulau ini.

Keesokan harinya Kamasura datang ketempat nenek tabib yang mengobati Seba dan Kasungka, dengan wajah tersenyum Kamasura menyapa mereka berdua, Seba yang sudah siuman dan mendengar cerita dari Kasungka berterimakasih kepada Kamasura, karna telah menolongnya, Kamasura pun mengeluarkan makanan yang ia siapkan untuk Seba dan Kasungka, alangkah senangnya mereka seumur hidup mereka belum pernah merasakan masakan mahal khas pulau ini, jangankan untuk makanan mahal, untuk bertahan dari hari kehari saja mereka bersusah payah, saat makan dengan lahap, Kamasura bertanya pada mereka, siapakah gerangan orang tua mereka, namun ia harus kecewa karna ternyata Seba dan Kasungka sendiri tidak tau siapa orang tua mereka, mereka dari bayi di rawat oleh nenek sirnah yang kini sudah wafat, nenek sirnah pernah berkata kepada mereka bahwa ia menemukan Seba dan Kasungka pada sebuah Anyaman rotan dan di buang di depan pintu rumah Nenek Sirnah,

"Hmm.. Jadi begitu,Kalau begitu mulai besok ikutlah denganku ke Wonoseso, dan mengikuti pelatihan pasukan tempur Wonoseso" ucap Kamasura membuat mata kedua mata bocah itu terbelalak tak percaya,

Seba : "Bernarkah yang anda katakan tuan?"

Kamasura : "Ah..tak perlu formal seperti itu, panggil saja aku kakek sura, lagian diusia kalian sekarang sudah saatnya masuk ke lembaga pendidikan" dan selain itu, aku ingin tau sampai dimana kamu bisa mengembangkan cakra besar dalam dirimu."

dua bocah itu pun berjingkrak, seakan sudah melupakan rasa sakit yang sebelumnya mereka rasakan,meski mereka berdua tidak faham dengan apa yang dimaksud cakra, tapi Seba berjanji akan belajar dan berlatih dengan giat. keesokan harinya Seba dan Kasungka membawa barang mereka menuju pelabuhan disana sudah tampak Kapal dengan lambang Elang Merah bersandar di pelabuhan, setelah berpamitan pada wasis, kedua bocah itupun melangkah menaiki kapal, dilihatnya dari kejauhan pulau Jatisari dengan gugusan pulau kecil disekitarnya, tempat mereka di besarkan, kini mereka berangkat menuju Wonoseso, berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, jangkar ditarik, layar kapal mulai direntangkan, hembusan angin dan deburan ombak membawa mereka pergi, menuju petualangan baru, demi kehidupan yang lebih baik, diatas kapal banyak prajurit yang mengikuti Kamasura dalam pelayaran, tampak wajah sinis mereka melihat kedua bocah tersebut, namun mereka berdua mencoba tenang dan duduk di sisi kiri kapal serta memandang laut, hingga beberapa saat kemudian Kamasura duduk membawa makanan untuk mereka berdua, dengan senyum ramah pria tua itu menyuruh mereka berdua untuk makan, sinar kebiruan matahari menyinari mereka, gumpalan awan diatas pulau mulai menghilang, hamparan pulau bagian atas nampak dengan jelas, Agharta berbentuk seperti bola bagian dalam, hingga pemandangan langit mereka adalah pulau dari sisi berlawanan, beberapa jam berlalu kini mereka sampai di wonoseso,

"Selamat datang di Wonoseso" ucap Kamasura dengan antusias menunjukan tampat indah itu, sembari menuruni kapal.

negara yang lebih maju dengan malam buatan, dimana terdapat banyak sekali tiang tinggi menjulang yang di tiap ujungnya mampu mengeluarakan perisai berbentuk persegi lima yang bisa mengembang dan menyusut dalam periode waktu tertentu, yang berkaitan satu sama lain, menghasilkan pemandangan yang luar biasa,

"Hore kakek sudah pulang, Loh Mereka Siapa.....?"

suara seorang gadis kecil menyambut dari sebelah kanan dan bertanya kepada Kamasura, membuyarkan pandangan Seba dan Kasungka.


AGHARTA Dunia Tanpa MalamWhere stories live. Discover now