6 | if the world was ending

Mulai dari awal
                                    

"Udah mau dengerin penjelasan sekarang?" tanya Mail setelah Gusti selesai bicara sambil menahan nyeri di rahang.

"Pulang sana lo, bangsat!" Gusti menyalak dengan napas putus-putus menahan emosi. "Jangan berani muncul di depan adek gue lagi!"

"Gus, please! Dengerin dulu." Mail memaksa temannya itu mendengarkan. "Gue serius sama adek lo. Hubungan kita bukan buat seneng-seneng doang."

"Serius?" Gusti tertawa bengis. "Lo kira gue baru kenal lo tadi pagi??"

"Ya terserah mau ngomong apa. Tapi kalau lo beneran kenal gue, lo tahu gue nggak akan bilang serius kalau emang nggak beneran serius."

Satu bogem mendarat lagi di rahang Mail. Berlipat-lipat kali lebih keras dari yang pertama, hingga Mail merasakan ada yang rontok dari rahangnya.

Nyeri luar biasa. Tapi harus ditahan.

Tawa Gusti makin sinis. "Don't be ridiculous! Kalau serius tuh, sebelum ke Trinda, lo dateng ke gue dulu! Kalaupun nggak ngerasa peduli buat minta izin, minimal ngasih tau!"

"Kita mau ke Magelang bulan depan—tapi karena lo udah tau, mungkin bakal dipercepat."

"Brengsek lo ya, mau ngapain ke Magelang? Ngumbar aib adek gue?? Bilang kalau kalian pacaran tuh sama aja kayak ngasih tau ortu gue kalau Trinda udah lo apa-apain, bangsat! Lo mau mereka jantungan??"

Mail tertampar, terbanting dengan keras.

Tentu saja yang dibilang Gusti ada benarnya.

Why is his life so fucked up??

"Jangan salahin gue. Salahin diri lo sendiri." Gusti berdecih dengan ekspresi yang tidak pernah Mail lihat seumur hidupnya. He must feel so disgusted. "Nggak perlu gue ingetin kan, kenapa mending lo kubur jauh-jauh mimpi lo ke Magelang?"

Mail menggeleng.

Nggak perlu. Dia cukup tahu diri. Dan tahu juga bahwa mengorek-ngorek luka lamanya pastilah bukan hal yang ingin dilakukan temannya.

"Sekarang mending lo pulang. Jangan pernah munculin muka lo depan gue dan adek gue lagi."

"Nggak sekarang juga gue perginya, Gus. At least kasih kesempatan gue jelasin ke adek lo." Sebelum Gusti sempat menolak, Mail melanjutkan, "Please. Gue aja yang ngomong ke Trinda. You know she's not gonna listen to you."

~

Sepeninggal Gusti, Mail bersandar ke tembok biar nggak jatuh saking lemas kakinya.

Nyeri akibat pukulan Gusti sampai tidak terasa, karena sakit hati jauh lebih menyiksa dibanding sakit fisik.

Hubungan persahabatan dua belas tahunnya kandas. Tentu saja Mail patah hati, karena teman bukanlah sesuatu yang dengan mudah bisa dia dapatkan dan buang begitu saja. Masing-masing temannya menempati tempat penting dalam hidupnya.

Dengan langkah gontai, Mail terpaksa kembali ke unit Trinda sebelum pihak keamanan menganggap dirinya objek yang perlu dikhawatirkan lewat pantauan CCTV.

"Dari mana, Mas? Tadi aku bangun udah nggak ada siapa-siapa." Trinda yang nggak tahu menahu mengenai kiamat kecil yang baru saja terjadi, keluar dari kamar dengan wajah polos tanpa dosa. "Oh God, bibir ampe berdarah-darah gitu abis kenapa?"

Mail berdehem. Berusaha menahan sakit saat kemudian bonyok di mukanya disentuh-sentuh. "Ini ... tadi pas ngantre bubur ayam nggak sengaja kejedot pojokan gerobak."

"Ih, serius, Mas!" Jelas Trinda sangsi mendengarnya.

Karena nggak pernah jago berbohong, Mail segera permisi ke kamar mandi untuk berkumur. Benar saja, mulutnya robek, seluruh isi rongga mulutnya nyeri.

"Terus buburnya mana?" Trinda bersedekap di depan pintu, masih menunggu kejujuran pacarnya.

"Eh?" Mail mendadak sadar kalau kebodohannya pagi ini sudah kelewatan. "Dompetku ketinggalan. Ini balik buat ambil dompet."

"Lunchbox-nya juga ketinggalan?"

"Iya."

"Sangat meyakinkan." Trinda manggut-manggut, pasrah. "Buaya nggak jago boong tuh kayaknya cuma kamu doang, Mas. By the way, aku aja yang turun beli buburnya, Mas obatin dulu itu luka."

"Nggak usah, ini juga nggak sakit kok. Kamu mandi aja dulu, biar seger."

Trinda membiarkan Mail berlalu dengan satu desahan panjang.

Ketika Mail kembali, Trinda sudah selesai mandi.

Mail beringsut ke sofa, meletakkan bungkusan buburnya di meja sementara Trinda segera menghampiri dengan kotak P3K.

"Sakit?" tanya si cewek sambil menotolkan Betadine ke luka di sudut bibir.

"Enggak."

Trinda berdecak. "Abis berantem sama siapa sih? Masa beneran luka gara-gara serobot-serobotan antre bubur?"

"Ya gitu."

"Itu gigi nggak apa-apa? Nggak ada yang copot atau patah?"

"Nggak apa-apa sih kayaknya. Ngilu doang."

"Udah tua ada-ada aja kelakuan."

Mail ketawa suram. Melihat Trinda mengobati lukanya membuat perutnya bergejolak.

He can't handle this.

"Ke Park Hyatt-nya ditunda kapan-kapan, mau? Ternyata Mas abis ini ada urusan. Dari tadi Oscar udah nelponin mulu." Mail sengaja menyuarakannya setelah selesai makan.

Satu alis Trinda terangkat. "Kok mendadak? Padahal semalem Mas yang ngajakin check in ke sana."

Mail senyum doang, nggak mau kebanyakan bohong.

"Nanti malem ke sini atau aku yang nyamper ke tempat Mas?"

"Lihat nanti, ya, Trinda .... Lihat nanti."


DIRECTOR'S CUT

[Mas Ehsan] Nduk, masmu jangan diajak mampir-mampir. Kita2 udah nungguin.

[Trinda] Maksudnya?

[Mas Ehsan Calling ....]

Jadilah Trinda tau kalau masnya dateng gara-gara Ehsan :(

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang