7. Sebuah Alasan

Mulai dari awal
                                    

Tak jarang, Rei berharap bahwa ibunya dan Samuel tidak bertemu. Karena mungkin dengan begitu, alur kehidupan mungkin akan berbeda. Namun, bukankah itu artinya Rei egois?

Ya, egois. Sebab jika Celine tak berjumpa dengan Samuel, mungkin hingga detik ini ia masih akan mendapati sang ibu termenung di depan bingkai foto ayahnya. Tidak meratap, ataupun berucap. Akan tetapi, hal itu sudah cukup untuk membuat Rei menyadari, betapa hancurnya sang ibu.

"Mau berangkat sekarang, atau tetep berdiri di situ?"

Sebuah teguran menyeret paksa sosok itu dari lamunan yang semakin runyam. Netranya beralih pada sosok berseragam yang tengah berdiri di depan pintu dengan lengan terlipat di depan dada.

"Feeling gue bener, lo pasti ngelamun sampai-sampai lupa waktu. Nggak capek apa dihukum terus?" celetuk sosok itu lagi. Ia berjalan mendekat, lantas menyambar tas milik Rei dan menyerahkan kepada si empunya.

"Bawel banget, lagian gue telat pun masih tetep peringkat pertama. Jangan remehin kekuatan orang ganteng, ya," sahut Rei sembari menerima tasnya.

Calvin tak membalas, lagi pula beginilah sosok Rei yang terkadang memiliki kepercayaan diri tinggi. Suasana hati yang cepat berubah membuat Calvin harus menyesuaikan dengan situasi.

"Btw, dua minggu ini bakal sibuk persiapan kenaikan kelas. Dan makanya kemarin lo putusin Chelsea?" celetuk Calvin ketika sang kawan tengah sibuk mengenakan dasi.

Sosok itu menggeleng pelan. "Nggak juga, sebenernya tetep pacaran selama ujian juga nggak masalah buat gue. Tapi kemarin itu si Chelsea sendiri yang ngajak putus," tukasnya kemudian.

"P–putus? Kalian putus, dan Chelsea duluan yang mutusin?"

Calvin terkesiap, sedikit tak percaya jika pihak gadis yang lebih dulu memutuskan hubungan. Pasalnya, sejauh ia mengenal Rei, remaja itulah yang lebih dulu mengakhiri. Dan sudah seperti sebuah kewajiban baginya untuk lebih dulu mengakhiri. Namun, kali ini seorang gadislah yang lebih dulu mengakhiri.

"Terserah mau percaya atau enggak. Yang jelas gue udah nggak ada hubungan sama Chelsea maupun cewek lain. Gue mau fokus belajar sampai kenaikan kelas. Lagian ribet banget jadi cewek, maunya diperhatiin terus. Dikira waktu gue cuma buat ngurus cewek apa?" gerutunya kesal.

Namun, meski begitu, dalam hati Rei merasa ucapan Chelsea tempo hari cukup menohoknya. Bahkan ia yang biasanya pintar beralasan menjadi bungkam saat gadis itu mengungkit soal betapa terobsesinya Rei dengan akademik. Seolah sifat santai dan kekanakan yang selama ini ia tunjukkan tidak bisa menutupi fakta bahwa Rei adalah seseorang yang memiliki ambisi tinggi.

"Perlu pamitan sama Om dan Tante nggak? Gue lihat mobil mereka ada di garasi, jadi mereka pulang, 'kan? Cuman gue nggak lihat tanda-tanda mereka ada di bawah, sih." Lagi-lagi Calvin bersuara dikala keduanya melangkah menuruni tangga.

Dengan singkat Rei menjawab, "Nggak usah. Langsung berangkat aja."

Diam-diam Rei merasa lega saat Calvin mengatakan itu. Artinya hari ini kedua orang tuanya tidak menghadiri sarapan, atau lebih tepatnya sarapan di ruang kerja masing-masing. Dengan begitu, Rei selamat. Karena mereka tidak akan melihat memar di pipinya akibat pukulan Theo semalam. Sebab, jika sampai hal itu terjadi, bukan tidak mungkin bagi Theo untuk kembali mendapatkan amukan dari Samuel.

"By the way, sorry kalo terkesan kepo. Tapi pipi lo lebam kayak gitu karena dipukul Bang Theo, ya?" celetuk Calvin saat keduanya tengah mengenakan helm dan bersiap menumpangi kendaraan masing-masing.

"Iya, dan kalo lo nggak mau dapet lebam juga, jangan ngadu ke nyokap gue," ancam si lawan bicara dengan nada ketus.

Sudah berdiri sejak Rei masih melamun, mustahil sang kawan tidak menangkap warna biru di pipi Rei. Dan dengan karakter Calvin, cowok itu pasti akan melaporkan kondisi ini pada Celine jika Rei tidak memberinya ancaman. Kemudian semua akan berimbas pada hubungan Rei dan Theo yang semakin memburuk.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang