Prolog

354 26 5
                                    


"Sosok sebelum tidur telah tercipta karena ingatanmu di masa lalu, tapi, aku bahkan tidak tahu bisa saja itu sebuah konsekuensimu di masa lalu."

• •


Aku membanting setir ke arah kanan guna menghindari pergesekan dan tabrakan dengan pengguna jalan lain, peluh ku menetes lima kali lebih cepat dari pada jantung ku-mobil yang ku kemudikan tidak dapat ku kendalikan, betul adanya aku berhasil menghindari tabrakan tapi justru membanting setir ke arah kanan adalah jalur yang salah. Aku sekuat tenaga menginjak pedal rem mobil, ban belakang amblas dan parahnya tangisan Oivie membuyarkan konsentrasi ku untuk menghentikan laju mobil.

Karena hujan dan suasana malam yang berkabut, aku kalap-mobil yang kukendalikan menabrak pembatas jalan, dalam kecepatan yang masih tidak diperhitungkan, mobil itu meloncat membawa aku dan Oivie membentur dasbor, kami juga terjungkal ke belakang-aku panik, terlebih lagi melihat Oivie terluka di bagian kepala. Mobil terasa terayun saat aku mencoba membenarkan posisiku sialnya kami lupa mengenakan sabuk pengaman-
hingga akhirnya aku paham, roda depan mobil masih terpaut dengan pembatas jalan yang ditafsirkan bisa saja kami jatuh ke bawah dasar jurang jika kami banyak bergerak.

Dengan tangan yang gemetar dan ketakutan aku berusaha mengambil ponselku, aku tahu sekarang sudah pukul sepuluh malam-itu ide buruk jika aku menelepon orang tuaku jika aku dan Oivie dalam keadaan darurat. Tanganku semakin gemetar, satu-satunya yang harus kulakukan adalah menghubungi nomor 911, belum sempat aku menekan tanda telepon Oivie sadar dari pingsannya-ia panik dan menangis sembari memanggil kedua orang tua dan juga anak sulung dikeluarga kami. Yang tidak kusadari adalah, pergerakan Oivie membuat mobil semakin terayun hingga mobil goyang dan menjatuhkan ponselku yang berada di tangan. Pupus sudah harapanku untuk menghubungi nomor darurat 911.

Aku frustrasi dan membentak Oivie agar dia diam, aku mengatakan jika dia sudah menghilangkan peluang. Apa yang kulakukan ternyata membuatnya semakin menangis dan ketakutan-aku menatap ke arah depan untuk mencari cara, aku memutuskan membuka pintu mobil dan menjelaskan maksudku pada Oivie. Aku meminta Oivie lebih dulu melompat dari mobil dan berpegangan pada bebatuan besar.

Aku semaksimal mungkin menyakinkan dirinya jika ia bisa melakukan apa yang sudah kujelaskan. Tapi, sungguh Oivie keras kepala, dan entah bagaimana aku lebih dulu melompat dari mobil dan berpegangan pada bebatuan-saat itu, Oivie mulai percaya jika ia bisa melakukannya, aku bersiap-siap untuk menangkap tangannya saat ia melompat dalam hitungan ketiga.

Oivie melompat tanpa perhitungan dariku, aku belum siap dan raib tidak dapat menangkap tangannya. Jantungku semakin berpacu lebih cepat, seluruh badanku gemetar tanpa henti-aku meneriaki namanya di antara kegelapan, aku panik dan benar-benar tidak bisa berpikir lebih waras pada saat itu. Aku naik ke tebing, aku menggigit ibu jariku, aku hendak meminta bantuan-firasatku, aku tahu Oivie masih hidup, aku tahu dia masih bisa bertahan.

Aku terkejut saat suara Oivie memantul memanggil namaku dari dinding tebing. Ia berteriak meminta tolong padaku, dan aku mengatakan jika aku sedang berusaha-syukurnya setelah apa yang kukatakan sebuah mobil tepat berhenti karena aku menghalangi perjalanan mereka-dia adalah seorang laki-laki berseragam Polisi, ia sedang berpatroli. Aku menjelaskan padanya jika saudariku berada di bawah dan dia membutuhkan bantuan. Aku meneriaki Oivie jika bantuan masih dalam perjalanan tapi, dia mengeluh jika kedua tangannya sudah perih dan sakit menopang tubuhnya di bebatuan besar.

Orang yang mengaku sebagai Polisi patroli kembali ke dalam mobilnya, ia memanggilku dan memberikan senter kepala-aku paham maksud orang ini, ia juga mengikat tali tambang di perutnya yang kutahu jika orang ini hendak turun dan menyelamatkan nyawa Oivie. Aku gelisah, aku memperhatikan orang itu turun perlahan tapi, secara mendadak aku tergelincir, kedua kakiku mengenai pembatas jalan yang rusak-mobil yang semula tergantung terayun dan jatuh, aku berteriak histeris pada malam itu-cahaya senterku berkedip dan teriakan Oivie terdengar mencekam.

Napasku terengah, kulirik jam weker di meja belajar. Aku menelan ludah, sudah pukul sebelas dan aku baru saja mencoba tidur sekitar setengah sebelas-aku mengusap keringat lalu kunyalakan lampu kamarku, aku mengusap wajahku gusar, mimpi buruk lagi. Aku tidak tahu kenapa belakangan ini aku mengalami beberapa hal yang mengganjal, aku tidak bisa tidur-semenjak kejadian satu tahun yang lalu aku sering mengalami insomnia dan panik berlebih.

Aku menelan ludah, aku mencoba merebahkan diriku lagi di atas kasur. Aku berusaha memejamkan mataku sekali lagi, berharap aku bisa tidur tapi apa yang kulakukan hanya sia-sia, jelas aku tidak pernah bisa tertidur sejak insiden itu. Suara detak jarum jam mengisi malamku yang kosong dan hampa, aku duduk bersandar di atasan ranjang sembari menekuk lutut dan memeluknya.

Kutatapi setiap sudut kamarku yang gelap, kuperhatian pintu kamarku yang berbunyi mengkriyet, aku menelan ludah-sudah sejak tahun lalu aku merasakan gangguan ini, yang awalnya kuanggap delusi tapi bisa jadi kenyataan yang kulihat. Dia datang, menangis, menatapku penuh kebencian ia memainkan lampu kamarku dan ia cekikan menertawakan rasa ketakutanku. Aku sering menyebut kehadirannya sebagai teman gelap, atau lebihnya tepatnya bunga sebelum aku tidur meski aku tidak pernah bisa tidur lagi.

Kurasakan tubuhku semakin gemetar, kedua telapak tanganku berkeringat. Aku berusaha memejamkan mata karena tidak ingin melihat wujud asli penganggu itu, aku merasakan bulu-bulu halus di sekitar leher, dan juga di pergelangan tanganku berdiri-aku menelan ludah, tidak kubiarkan mataku dengan telanjang menyaksikan kedatangan mahkluk gelap, aku menutup diriku dengan selimut deru napasku memburu dan terdengar menakuti diriku sendiri.

Aku merasakan jika sosok gelap itu hadir dan mungkin sedang berdiri di samping ranjangku. Aku semakin gemetar dan lunglai ketakutan, dua menit, enam menit hingga sepuluh menit-tidak lagi kurasakan tanda-tanda seseorang sedang mengawasiku, maka dari itu kuberanikan diriku untuk keluar dari selimut. Kuteguk ludahku yang pahit, aku melihat ke setiap jengkal kamarku-kuperhatikan pintu kamarku tertutup rapat, lampu kamarku masih menyala terang serta jendelaku yang tertutup begitu rapat.

Aku mendengus, aku terlalu bodoh. Memang betulkan, aku hanya sedikit ketakutan hingga menciptakan delusi yang kupikir akan menganggu diriku. Aku mengusap wajahku frustrasi, aku memilih berdiri dan melihat wajahku dipantulan cermin, kulihati wajahku yang kusam-mata panda yang begitu kentara dan tiga jerawat baru tumbuh di daerah dahiku, itu pertanda jika aku stress menghadapi kehidupanku sendiri.

Ku lirik lagi jam weker di atas meja belajar, sekarang sudah pukul dua belas malam. Sialnya aku masih belum bisa tidur, aku menghela napas, aku melangkahkan kakiku menuju loker meja belajar-kuambil pil tidurku dari wadahnya, aku berharap dengan ini bisa membantuku tertidur. Aku menuangkan beberapa pil itu ke telapak tangan kiri hingga salah satunya jatuh ke lantai, aku menekukkan tubuhku dan mengambilnya.

Entah bagaimana tas sekolahku jatuh dari penyangganya bahkan suara berisik seseorang sedang mencoret-coret buku tulisku, aku menelan ludah, mataku berusaha tidak berkeliaran tapi lambat laun aku melihat ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, lampu kamarku bahkan sudah padam. Hingga di dalam hati kukatakan, sosok sebelum tidur itu memang ada, tubuhku terseret ke bawah ranjangku sendiri-kurasakan tenaga tak kasat mata menindih tubuhku hingga aku sukar bernapas, kurasakan jika kedua kaki mengudara, ini menyiksaku tapi aku tidak tahu siapa gerangan sosok ini.

Aku berteriak keras saat tubuhku dihempas dari ketinggian, seolah-olah sosok tak kasat mata selalu menginginkan aku mati. Tapi, ini kali pertamanya ia bertindak padaku-biasanya hanya menertawakan dan menakutiku di dalam kamar. Aku berusaha memanggil anggota rumah saat tubuhku diseret menuruni tangga, tapi yang kurasakan mereka tidak mendengar jeritan malamku, aku berpegangan pada ganggang tangga-kurasakan kedua kakiku rasanya hampir putus saat tenaga itu menarikku dengan kuat, aku menjerit lagi ketika tubuhku terhempas dan aku gemetar sekaligus merasa aman saat kedua kakiku tidak lagi ditarik paksa.

Aku berlari menaiki tangga untuk menuju kamarku, aku menepis keringat yang sudah jelas membasahi seluruh wajah hingga bagian tubuhku yang lain, aku masuk ke dalam kamarku-kukunci dan kusandarkan tubuhku di pintu, benar adanya dan aku tidak tahu alibinya-sebelumnya tidak pernah seperti ini, semenjak insiden satu tahun lalu gangguan datang padaku.

Inilah diriku, dan rumah yang jelas tidak dapat membuat ku nyaman dan tenang, aku masih terus bertanya-tanya tentang bunga sebelum aku tidur.

-----

THE DIE  (REVISI) Where stories live. Discover now