"Aduh, tolong--" Suara laki-laki membuat Asmara mendekat. Dia segera melepas sepatunya lalu menaikkan celana olah raga yang dipakai.

"Tolong, Mbak, uch!"

Asmara melihat kondisi kedua korban yang masih belum bisa bergerak karena kakinya terjepit sepeda motor.

"Tahan ya--" kata Asmara.

Baru saja Asmara menarik sepeda motor yang menimpa keduanya, suara laki-laki itu terdengar mengaduh kembali dan lebih kencang.

"Maaf, maaf, saya cari bantuan dulu." Asmara memalingkan mukanya ke kiri dan ke kanan. Jalanan sudah mulai sepi sedangkan petani sudah tidak banyak melihat sawahnya karena musim tanam baru saja dilewati.

"Tolong, tolong, yang dengar suara saya. Ada kecelakaan orang tercebur sawah. Tolong, tolong mereka." Asmara berteriak di pinggir jalan hingga senyumnya terbit kala melihat ada sepeda motor yang akan melintas di depannya.

"Pak, tolong saya, ada orang--" Tidak sampai selesai bicara tetapi tangannya menunjuk ke arah sawah yang telah rusak.

"Astaghfirullah. Mengapa bisa tercebur begini?" Mendengar suaranya barulah Asmara tersadar siapa pemilik suara yang baru saja dia mintai tolong. Karena sebelumnya dia tidak terlalu memperhatikannya yang memakai helm full face saking paniknya.

"Subuh?!"

"Lho, kamu ngapain berdiri di situ. Ayo bantuin tidak bisa ini kalau sendiri." Setelah kedatangan Subuh, beberapa orang ikut membantu mengevakuasi kedua korban.

Tidak mengetahui siapa mereka sebelum akhirnya Subuh bersuara menanyakan nama, alamat tempat tinggal dan alasan mereka bisa sampai terjatuh di sawah.

"Ustaz, sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Sepertinya kaki mereka terkilir atau bisa jadi retak karena tertimpa motornya tadi," kata salah seorang warga yang membantu mereka.

"Buh, apa tidak sebaiknya dibawa ke rumah warga terdekat dulu. Supaya mereka bisa membersihkan diri sembari kita menghubungi orang tua mereka," kata Asmara yang masih memegang korban wanita yang tidak lagi kuat duduk.

Subuh tampak menimbang, lalu menyetujui usulan Asmara, tetapi dia bingung dengan apa mereka membawa keduanya ke rumah warga setempat.

"Kita bisa pinjamkan gerobak Ustaz, jika memang harus dibersihkan. Nanti biar dijemput keluarganya di sana sekaligus membawakan pakaian ganti untuk mereka," sambung warga lainnya.

Tidak sampai sepuluh menit, akhirnya sebuah gerobak datang mengangkut keduanya. Asmara yang sudah kotor pakaiannya kepalang tanggung. Dia memilih mengikuti mereka berjalan dengan kaki terbuka. Tetapi langkahnya terhenti ketika Subuh memanggilnya.

"Mar, bawa motorku ke rumah warga itu. Biar aku yang mendorong sepeda mereka." Subuh menyerahkan kunci motor matik miliknya kepada Asmara.

Keduanya saling berpandangan sampai Subuh memutus tatapan mereka. Asmara sampai salah tingkah sendiri menatap kepergian Subuh yang dengan sigap menyegerakan untuk mendorong sepeda motor yang juga sudah bermandikan lumpur di pagi hari.

"Jadi kalian berdua ini pacaran setelah sahur? Memangnya tidak salat subuh?" tanya Pak Santoso, ketua RT setempat.

"Apa ya ora eling yen kowe keloron ki isih sekolah? Sisi wae durung isa dewe wes pacaran," ucap Bu Risti.

"Pasa-pasa, bukane golek amalan malah pacaran, ra subuhan pisan. Jian bocah saiki, jane apa mergo saking pintere njur keblinger?" Tanpa tedeng aling-aling ibu-ibu yang berkerumun langsung mengghibah.

Asmara memakai sepatunya kembali setelah dia mencuci kakinya. Dia tidak ambil pusing dengan dua remaja yang sedang dihakimi warga.

"Jan-jane apa ta faedah e asmara subuh iki? Mbok ya nderes Qur'an e kana! Ora kakean penyakit hasad, yen wes kaya ngene apa ra kisinan wong tuane?" Suara ibu-ibu masih terus mencerca.

Asmara jelas sekali merasa tidak nyaman ketika namanya yang disatukan dengan nama Subuh berkali-kali disebutkan sebagai tema utama ibu-ibu mengghibah pagi ini. Dia memilih untuk pulang. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti karena suara Subuh memanggilnya.

"Pakai saja motorku, Mar," katanya.

"Terima kasih, sebenarnya tadi aku memang berniat jalan pagi tetapi kemudian melihat mereka tercebur sawah. Jadi ya sebaiknya aku pulang jalan kaki." Asmara melihat pakaiannya yang sudah terkena lumpur.

"Ustaz, bisa minta tolong mengantarkan ke rumah sakit? Ini mobilnya ada tapi tidak ada yang bisa mengendarai."

"Aku duluan, Buh," pamit Asmara.

Subuh bergeming di tempatnya, tetapi itu hanya sementara sebelum dia memaksa Asmara untuk ikut bersamanya ke rumah sakit.

"Yang benar saja, Buh?" tanya Asmara sedikit tinggi.

"Kemanusiaan, Mara. Orang tua mereka tidak memiliki kendaraan, ini dipinjami kendaraan tetapi tidak ada yang bisa mengemudikan."

"Tapi, Buh, pakaianku--"

"Aku pun sama, Mar. Ikut denganku, tunggu di sini aku akan ambil mobil di rumah Pak Rustam." Subuh mengendarai motornya, beberapa saat kemudian dia datang dengan mobil.

Orang tua kedua korban telah datang, mereka menggendong anak-anaknya ke mobil. Asmara menghela napas saat dia harus membuka pintu belakang dan duduk di jok paling belakang.

"Mbak Mara dan Ustaz Azlul, terima kasih sudah menolong anak kami."

"Sama-sama, Pak," jawab Asmara dan Subuh bersamaan.

Tidak ada percakapan setelah itu, sampai mereka tiba di rumah sakit. Beberapa perawat membawakan bed mobile untuk menolong Lita dan Indra.

"Semoga lekas sembuh, Pak, Bu, putra-putrinya. Kami berdua pamit dulu." Tanpa memberikan kode terlebih dulu Subuh pamit kepada orang tua korban yang membuat Asmara seketika mengekori langkahnya.

Helaan napas panjang sebelum Subuh melajukan mobil yang mereka tumpangi kembali.

"Kamu dapat pelajaran apa pagi ini, Mara?" tanya Subuh.

Asmara terdiam, dia lebih asyik menikmati pemandangan di luar daripada menanggapi Subuh. Padahal dalam hatinya Asmara sedang banyak menimbang, apa yang telah dia lakukan dalam Ramadan ini juga tidak jauh dari apa yang mereka lakukan. Bukankah harusnya dia lebih memilih membaca Al-Qur'an setelah kajian subuh tadi?

"Kamu ngapain tadi lewat jalan sawah. Memangnya mau ke mana?" tanya Asmara setelah banyak kalimat tanya dari Subuh yang tidak dia jawab.

"Mengambil infak dari Pak Satrio, beliau berhalangan hadir. Sedangkan istrinya tidak bisa naik motor untuk menyampaikan langsung ke masjid."

Subuh menolehkan kepala ke arah Asmara ketika lampu merah menyala.

"Kamu kenapa tidak mau berdamai dengan ayahmu, Mara?" tanya Subuh setelahnya.

"Kamu lihat kan, orang tua Lita tadi. Dia berani menanggung malu atas perbuatan anaknya karena rasa sayang sebagai orang tua." Asmara menundukkan kepalanya. Dari mana Subuh tahu dia marah kepada ayahnya.

"Pak Bani yang cerita kepadaku, karena beliau tahu kita pernah satu SMA dulu." Subuh mengemudikan mobil perlahan.

"Ketahuilah, tidak mungkin orang tua tidak memiliki alasan ketika melakukan semua itu. Dan tidak semua alasan harus diberitahukan kepada kita sebagai anak mereka."

"Buh, kamu--?" Belum sampai Asmara menyelesaikan kalimatnya, Subuh sudah memotong dengan tegas.

"Jangan berpikir Pak Bani memberiku uang untuk berbicara seperti ini kepadamu."

Asmara menelan ludahnya. "Untuk itu aku minta maaf, Buh. Bukan maksudku kemarin bertanya seperti itu."

"Tidak perlu minta maaf, aku paham tentang itu. Namun, sebagai sesama mukmin, kita wajib saling mengingatkan," jawab Subuh.

"Termasuk aku yang harus mengenakan jilbab, kan?" tanya Asmara.

"Apa kamu tidak ingin masuk surga, Mar?" Pertanyaan retorik yang tidak perlu Asmara jawab.

Dengan senyuman khasnya Subuh melanjutkan kalimat hingga membuat jantung Asmara seolah berhenti berdetak saat itu juga.

"Padahal aku ingin nanti bisa melihatmu di sana sebagai bidadari surgaku," jawab Subuh penuh dengan tekanan di setiap katanya.

Masihkah ada oksigen tersisa untuk membuat sesak di dada Asmara menghilang seketika?

04 Ramadan 1444H

Asmara SubuhTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon