"Maaf, Pak--?" kata Asmara.

"Jadi begini, Mbak. Mas Azlul ini terpilih sebagai agen penyalur pupuk bersubsidi dari pemerintah untuk seluruh petani di Kabupaten Serah ini. Itu sebabnya beliau pun akan sering ikut kegiatan penyuluhan untuk memberikan informasi kepada petani-petani bagaimana caranya mereka memperoleh pupuk-pupuk itu," jawab Sanusi.

Kemarin Asmara kaget saar Subuh disebut sebagai ustaz sekarang dia lebih kaget lagi karena Subuhlah pemenang tander sebagai penyuplai pupuk sekabupaten. Itu bukan lagi berbicara tentang uang ratusan juta tetapi milyaran rupiah. Apakah Subuh sekaya itu? Padahal jaman SMA yang Asmara tahu, Subuh ini ke sekolah hanya dengan sepeda bututnya.

Sampai Asmara selesai mengatakan apa keperluannya dengan Pak Sanusi, Subuh masih tetap bersama mereka. Hingga Pak Sanusi harus pamit karena masih ada kegiatan yang lainnya, Asmara juga berniat meninggalkan Subuh yang masih betah duduk di kursinya.

"Terkadang untuk menjadi pohon itu tidak perlu menjadi pusat perhatian karena untuk menjadi kuat dan kaya itu tidak butuh pengakuan dari orang lain." Asmara menatap mata Subuh beberapa saat. Memastikan bahwa kalimat yang baru saja dia dengarkan itu benar-benar diucapkan oleh bibir Subuh.

Senyum Subuh kembali hadir, tangan kanannya menunjuk dada kirinya. "Kekayaan yang sesungguhnya itu ada di sini, jika kamu tidak mengkhianati apa katanya, kamu tidak akan terbelenggu oleh perputaran peradaban dunia dan seisinya."

Asmara bergeming, bibirnya tercekat untuk memberikan tanggapan. Sedangkan Subuh lebih dulu berjalan meninggalkannya tanpa kata perpisahan.

"Menyebalkan!" Asmara menunjuk dirinya sendiri. Demi apa dia mendengarkan ucapan Subuh yang justru semakin membuatnya sakit hati karena merasa terabaikan.

Kekesalan Asmara semakin memuncak ketika telepon genggamnya berdering. Nama Rubina menjadi tersangka yang membuat Asmara semakin membenci Subuh.

"Mengapa tidak menyampaikan secara langsung saja sih, Bin? Baru saja aku bertemu dengan Subuh--!" sewot Asmara.

"Subuh? Maksud Mbak Mara, Ustaz Azlul?" tanya Rubina.

"Iya siapa lagi yang punya nama Subuh selain dia!" terdengar kekehan suara Rubina dari ujung telepon Asmara.

"Hati-hati, Mbak Mar. Benci itu ada titik mula cinta yang tiada bertepi. Jangan sampai nanti sampean malah bucin akut sama Ustaz Azlul seperti remaja di desa kita loh." Rubina masih tertawa lirih setelah mengucapkan itu.

"Yang jelas, Mbak Mara masuk dalam kepanitiaan Remas Ussisalitaqwa. Nanti sore bakda asar kita kumpul untuk membuat jadwal kegiatan Ramadan termasuk ikhtikaf, buka bersama dan sahur bersama di masjid."

Tidak ada kesempatan untuk menolak, Rubina telah menutup panggilan setelah mengucapkan salam dan Asmara hanya bisa mendesah pasrah.

Sore harinya, saat Asmara tiba di masjid ketika azan asar berkumandang, belum ada satu orang pun yang tampak hadir kecuali melihat Subuh yang tengah berdiri di belakang muazin menunggunya selesai azan dan melaksanakan salat sunah.

Sekepala batunya Asmara, baginya sebuah amanat itu wajib dilaksanakan meski dia tidak ingin melakukannya. Tidak ada orang lain yang bisa dia mintai pertanggungjawaban kecuali sang ayah. Asmara yakin semua ini pasti karena permintaan ayahnya.

Pada akhirnya, Asmara hanya bisa duduk diam mendengarkan beberapa panitian inti berbicara dengan jadwal acara dan PIC yang telah tertulis dengan rapi. Asmara mencari namanya, keterkejutan itu tampak jelas sekali menghiasi matanya. Dia didapuk menjadi pembawa acara kajian nuzulul qur'an yang langsung berkolaborasi dengan Ustaz Azlul Subuh, B.Sc juga acara pengajian ibu-ibu yang rutin diadakan setiap hari minggu pagi.

Asmara SubuhWhere stories live. Discover now