"Gak usah protes lo!"

Una hanya berdecak pelan. Kembali menikmati pemandangan di hadapannya.

Saat ini ia dan Arsen berada di Pulau Maladewa. Tepatnya Gili Lankanfushi Maldives. Menyewa villa dengan fasilitas lengkap.

Anggap saja Una sedang melarikan diri dan memaksa Arsen ikut dengannya. Jaga-jaga saja, takutnya jika Una pergi sendiri, ia akan kehilangan akal sehat dan berakhir bunuh diri.

Dan yang lebih tepatnya mengajak Arsen karena ia tak punya uang.

Una tertawa sendiri.

Sekarang Una hidup miskin, meninggalkan semua fasilitas mewah, calon suami yang kaya raya, dan kehidupan yang glamor.

Bahkan uang sepersepun Una tak punya.

Una menoleh ke arah Arsen. "Sen, seminggu lagi kita tinggal di sini, ya?"

"Enggak! Enggak! Bisa tekor gue! Lo pikir nginep di sini bayar pake daun!"

Una cemberut, ia melangkah kakinya lebih dekat ke tepi teras tersebut membuat Arsen berdiri dan berteriak.

Una tertawa.

"Astaga nih anak! Gue ceburin lo, baru tau rasa!" gerutu pria itu.

Inilah kegiatan mereka selama dua hari berada di sini, akan adu mulut tiap waktu, tapi kemudian akan tertawa bersama. Menikmati setiap fasilitas yang disediakan di sana.

Dan di malam hari mereka akan sama-sama merenung, menikmati minuman yang disediakan di bar mini di villa tersebut. Duduk di teras villa seraya menikmati angin malam dan mendengar suara deburan ombak.

"Sen, nyokap lo udah meninggal, ya?" tanya Una.

Arsen mengangguk, lalu meneguk minumannya.

"Meninggal karena apa?"

"Sakit hati."

"Bokap lo selingkuh dan nyokap lo bunuh diri?"

Arsen langsung menjitak kepala Una membuat Una mengaduh sakit. "Enggak bego. Nyokap meninggal karena sakit hati, bukan karena bokap selingkuh."

"Hah?" Una tak mengerti membuat Arsen berdecak gemas.

"Nyokap kena kanker hati."

"Bilang dong dari tadi!"

"Elo sih langsung menyimpulkan. Bokap gue orangnya setia."

"Serius?"

Arsen mengangguk. "Kalau aja bukan karena Eyang gue yang jodohin bokap sama nyokapnya Erlang, dia kayaknya gak bakal nikah. Kata Eyang, biar ada yang urusin bokap dan gue yang waktu itu masih kecil."

"Tapi kok dua anaknya bajingan, ya?" ujar Una sinis membuat Arsen bedecak kesal.

Una tertawa. Lalu menopang kepalanya, masih menatap Arsen. "Terus kenapa lo kayak benci gitu sama nyokap tiri dan adik-adik tiri lo?"

Arsen tertawa pelan. "Gue gak benci kok. Ya, gak mau deket aja," katanya seraya mengendikkan bahu. "Kek apa, ya? Gue ngerasa bersalah aja ke nyokap, kalau sampai gue anggap Tante Ambar itu penggantinya dia. Pokoknya gak ada deh yang bisa gantiin nyokap gue."

Una mengangguk pelan kemudian meneguk minumannya.

"Kalau lo sendiri, Na. Bokap lo?"

Una tak langsung menjawab, diam menatap Arsen.

"Kalau lo gak mau jawab, gak pa-pa kok," sambung pria itu.

"Orang tua gue cerai pas umur gue tujuh tahun." Una memeluk kedua lututnya. Tatapannya menerawang. "Dan sejak itu gue gak pernah lagi ketemu bokap. Nelpon aja gak pernah. Gue gak tau dia masih hidup atau udah mati."

CERPENWhere stories live. Discover now